Sewaktu
telah berada di puncak usianya yang tinggi, ia berbicara:Saya telah bai’at kepada Rasulullah saw
Maka sampai saat ini, saya tak pernahbelot atau mungkir janji . . . . Dan saya
tak pernah bai’at kepada pengobar fitnah …. Tidak pula membangunkan orang
Mu’min dari tidurnya….
Dalam
kalimat-kalimat di atas tersimpul secara ringkas tapi padat kehidupan seorang
laki-laki shalih yang lanjut usia, melebihi usia 80 tahun, dan telah memulai
hubungannya dengan Rasulullah dan Agama Islam semenjak berusia 13 tahun, yaitu
ketika ia ingin menyertai ayahandanya dalam Perang Badar, dengan harapan akan
beroleh tempat dalam deretan para pejuang, kalau tidak ditolak oleh Rasulullah
disebabkan usianya yang masih terlalu muda ….
Semenjak
saat itu bahkan sebelumnya lagi, yakni ketika ia menyertai ayahandanya dalam
hijrahnya ke Madinah, hubungan anak yang cepat matang kepribadiannya itu
dengan Rasulullah dan Agama Islam, telah mulai terjalin ….
Dan
semenjak hari itu, sampai
saat ia menemui Allah, yakni setelah ia mencapai usia 85 tahun, akan kita
dapati ia sebagaimana adanya; seorang yang tekun beribadat dan mendekatkan
diri kepada Allah, dan tak hendak bergeser dari pendiriannya walau agak seujung
rambut, serta tak hendak menyimpang dari bai’at yang telah diikrarkannya atau
melanggar janji yang telah diperbuatnya ….
Keistimewaan-keistimewaan
yang memikat perhatian kita terhadap Abdullah bin Umar ini tidak sedikit.
Ilmunya, kerendahan hatinya, kebulatan tekad dan keteguhan pendirian, kedermawanan
keshalihan dan ketekunannya dalam beribadah serta berpegang teguhnya kepada
contoh yang diberikan oleh Rasulullah. Semua sifat dan keutamaan itu telah
berjasa dalam menempa kepribadiannya yang luar biasa dan kehidupannya yang
suci lagi benar ….
Dipelajarinya
dari bapaknya — Umar bin Khatthab — berbagai macam kebaikan; dan bersama
bapaknya itu, dipelajarinya pula dari Rasulullah semua macam kebaikan dan semua
macam kebesaran . . . . Sebagaimana bapaknya, ia pun telah berhasil mencapai
keimanan yang baik terhadap Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu,
kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah, merupakan suatu hal yang amat
mena’jubkan ….
Diperhatikannya
apa kiranya yang dilakukan oleh Rasulullah mengenai sesuatu urusan, maka
ditirunya secara cermat dan teliti . . . . Misalnya Rasulullah saw pernah
melakukan shalat di suatu tempat, maka Ibnu Umar melakukannya pula di tempat
itu. Di tempat lain umpamanya Rasulullah saw. pernah berdu’a sambil berdiri,
maka Ibnu Umar berdu’a di tempat itu sambil berdiri pula. Di sana Rasulullah
pernah berdu’a sambil duduk, maka Ibnu Umar berdu’a di sana sambil duduk pula.
Di sini — di jalan ini — Rasulullah pernah turun dari punggung untanya pada
suatu hari dan melakukan shalat dua raka’at, maka Ibnu Umar tak hendak
ketinggalan melakukannya, jika dalam perjalanannya ia kebetulan lewat di daerah
itu dan tempat itu.
Bahkan
ia takkan lupa bahwa unta tunggangan Rasulullah berputar dua kali di suatu
tempat di kota Mekah sebelum Rasulullah turun dari atasnya untuk melakukan
shalat dua raka’at, walaupun barangkali unta itu berkeliling dengan suatu
maksud untuk mencari tempat baginya yang cocok untuk bersimpuh nanti. Tapi
Abdullah ibnu Umar baru saja sampai di tempat itu, ia segera membawa untanya
berputar dua kali kemudian baru bersimpuh, dan setelah itu ia shalat dua
raka’at, sehingga persis sesuai dengan perbuatan Rasulullah yang telah disaksikannya
… !
Kesetiaannya
yang amat sangat dalam mengikuti jejak langkah Rasulullah ini, telah
mengundang pujian dari Ummul Mu’- minin ‘Aisyah r.a. sampai ia mengatakan:
“Tak
seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. di tempat-tempat pemberhentiannya,
sebagai dilakukan oleh Ibnu Umar …
Sungguh,
usia lanjutnya yang dipenuhi barkah itu telah dijalaninya untuk membuktikan
kecintaannya yang mendalam terhadap Rasulullah, hingga pernah terjadi suatu
masa, Kaum Muslimin yang shalihnya berdu’a: “Ya Allah, lanjutkanlah kiranya usia
Ibnu Umar sebagai Allah melanjutkan usiaku, agar aku dapat mengikuti jejak
langkahnya, karena aku tidak mengetahui seorang pun yang menghirup dari sumber
pertama selain Abdullah bin Umar.
Dan
karena kegemarannya yang kuat tak pernah luntur dalam mengikuti sunnah dan
jejak langkah Rasulullah, maka Ibnu Umar bersikap amat hati-hati dalam
penyampaian Hadits dari Rasulullah. la tak hendak menyampaikan sesuatu Hadits
daripadanya, kecuali jika ia ingat seluruh kata-kata Rasulullah.
Orang-orang
yang semasa dengannya mengatakan: “Tak seorang pun di antara shahabat -shah
abat Rasulullah yang lebih berhati-hati agar tidak terselip atau terkurangi
sehuruh pun dalam menyampaikan Hadits Rasulullah sebagai halnya Ibnu Umar!”
Demikian
pula dalam berfatwa, ia amat berhati-hati dan lebih suka menjaga diri . . . .
Pada suatu hari seorang penanya datang kepadanya untuk meminta fatwa. Dan
setelah orang itu memajukan pertanyaan, Ibnu Umar menjawab “Saya tak tahu tentang masalah yang anda
tanyakan itu . . .” Orang itu pun berlalulah, dan baru beberapa langkah
ia meninggalkannya, Ibnu Umar bertepuk tangan seraya berkata dalam
hatinya: “Ibnu Umar ditanyai orang tentang yang tidak diketahuinya, maka
dijawabnya bahwa ia tidak tahu . . .”
Ia
tidak hendak berijtihad untuk memberikan fatwa, karena takut akan berbuat
kesalahan. Dan walaupun pola hidupnya mengikuti ajaran dari suatu Agama besar,
yang menyediakan satu pahala bagi orang-orang yang tersalah dan dua pahala bagi
yang benar hasil ijtihadnya, tetapi demi menghindari berbuat dosa
menyebabkannya tidak berani untuk berfatwa ….
Juga ia
menghindarkan diri dari jabatan qadli atau kehakiman, padahal jabatan ini
merupakan jabatan tertinggi di antara jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan; di
samping menjamin pemasukan keuangan, diperolehnya pengaruh dan kemuliaan. Apa
perlunya kekayaan, pengaruh dan kemuliaan itu bagi Ibnu Umar… !
Pada
suatu hari Khalifah Utsman r.a. memanggilnya dan meminta kesediaannya untuk
memegang jabatan kehakiman itu, tetapi ditolaknya. Utsman mendesaknya juga,
tetapi Ibnu Umar bersikeras pula atas penolakannya. “Apakah anda tak hendak
menta’ati perintahku?” tanya Utsman. Jawab Ibnu Umar:
“Sama
sekali tidak . . . , hanya saya dengar para hakim itu ada tiga macam:
Pertama
hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka. Kedua yang mengadili
berdasarkan nafsu, maka ia juga dalam neraka. Dan ketiga yang berijtihad sedang
hasil ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tapi
tidak pula beroleh pahala. Dan saya atas nama Allah memohon kepada anda agar
dibebaskan dari jabatan itu . .
Khalifah
Utsman menerima keberatan itu setelah mendapat jaminan bahwa ia tidak akan
menyampaikan hal itu kepada siapa pun juga. Sebabnya ialah karena Utsman
menyadari sepenuhnya kedudukan Ibnu Umar dalam hati masyarakat, karena jika
orang-orang yang taqwa lagi shalih mengetahui keberatan Ibnu Umar menerima
jabatan tersebut pastilah mereka akan mengikuti langkahnya, sehingga khalifah
takkan menemukan seorang taqwa yang bersedia menjadi qadli atau hakim.
Mungkin
pendirian Abdullah bin Umar ini tampaknya sebagai suatu hal negatif yang
terdapat pada dirinya. Tetapi tidaklah demikian halnya! Ibnu Umar tidak akan
menolak jabatan tersebut apabila tidak ada lagi orang lain yang pantas
menduduki jabatan itu, karena masih banyak di antara shahabat-shahabat
Rasulullah yang shalih dan wara’ yang juga pantas memegang jabatan kehakiman
dan mampu memberikan fatwa secara praktis maka ia menolaknya.
Maka
dengan penolakannya itu tidaklah akan menyebabkan lowongnya kursi jabatan
tersebut atau mengakibatkannya jatuh ke tangan orang-orang yang tidak
berwenang. Telah tertanam dalam kehidupan pribadi Ibnu Umar untuk selalu
membina dan meningkatkan diri agar lebih sempurna ketaatan dan ibadahnya
kepada Allah.
Apalagi
bila dikaji kehidupan Agama Islam di waktu itu, ternyata bahwa dunia telah
terbuka pintunya bagi Kaum Muslimin, harta kekayaan melimpah ruah, pangkat dan
kedudukan bertambah-tambah. Daya tarik harta dan kedudukan itu telah merangsang
dan mempesona hati orang-orang beriman, menyebabkan bangkitnya sebagian
shahabat Rasulullah — di antaranya Ibnu Umar — mengibarkan bendera perlawanan
terhadap rangsangan dan godaan itu. Caranya ialah dengan menyediakan diri
mereka sebagai contoh teladan dalam yuhud dan keshalihan, menjauhi
kedudukan-kedudukan tinggi, mengatasi fitnah dan godaannya ….
Boleh
dikata bahwa Ibnu Umar adalah “Penyerta malam” yang biasa diisinya dengan
melakukan shalat …. atau “kawan dinihari” yang dipakainya untuk menangis dan
memohon diampuni. Di waktu remajanya ia pernah bermimpi yang oleh Rasulullah
dita’birkan bahwa qiyamul lail itu nantinya akan menjadi campuran tumpuan cita
Ibnu Umar, tempat tersangkut‑ nya kesenangan dan kebahagiaannya. Nah, marilah
kita dengar ceritera tentang mimpinya itu:
“Di
masa Rasulullah saw. saya bermimpi seolah-olah di tanganku ada selembar kain
beludru. Tempat mana saja yang saya ingini di surga, maka beludru itu akan
menerbangkanku ke sana…
Lalu
tampak pula dua orang yang mendatangiku dan ingin membawaku ke neraka. Tetapi
seorang Malaikat menghadang mereka,
katanya: Jangan ganggu! Maka kedua orang itu pun meluangkan jalan bagiku ….
Oleh
Hafshah, yaitu saudaraku, mimpi itu diceriterakannya kepada Rasulullah saw.
Maka sabda Rasulullah saw.:
“Akan
menjadi laki-laki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia sering shalat malam
dan banyak melakukannya! “
Maka
semenjak itu sampai ia pulang dipanggil Allah, Ibnu Umar tidak pernah
meninggalkan qiyamul lail baik di waktu ia mukim atau musafir. Yang
dilakukannya ialah shalat, membaca al-Quran dan banyak berdzikir menyebut nama
Allah . . . , dan yang
sangat menyerupai ayahnya ialah airmatanya bercucuran bila mendengar ayat-ayat
peringatan dari al-Quran .
Berkata
‘Ubeid bin ‘Umeir: “Pada suatu hari saya bacakan ayat berikut ini kepada
Abdullah bin Umar:
Betapakah
bila Kami hadapkan dari setiap ummat seorang saksi, dan Kami hadapkan pula kamu
sebagai saksi atas mereka semua . . . ? Padahari itu orang-orang kafir dan yang
mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka ditelan bumi, dan tiada pula suatu
pembicaraan pun yang dapat mereka sembunyikan dari Allah … ! “(Q.S. 4 an-Nisa: 41 — 42)
Maka
Ibnu Umar pun menangis, hingga janggutnya basah oleh airmata. Pada suatu hari
ketika ia duduk di antara kawan-kawannya, lalu membaca:
Maka
celakalah orang-orang yang berlaku curang dalam takaran! Yakni orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain meminta dipenuhi, tetapi
mengurangkannya bila mereka yang menakar atau menimbang untuk orang lain. Makkah
mereka merasa bahwa mereka akan dibangkitkan nanti menghadapi suatu hari yang
dahsyat… , yaitu ketika manusia sama berdiri di hadapan Tuhan Rabbul ‘alamin … (Q.S. 83 at-Tathfif: 1— 6).
Terus
saja ia mengulang-ulang ayat:
Ketika
manusia sama berdiri di hadapan Rabbul ‘alamin
sedang airmatanya mengucur bagai hujan
…. hingga akhirnya ia jatuh disebabkan
duka dan banyak menangis itu ….
Kemurahan,
sifat zuhud dan wara’ bekerja sama pada dirinya dalam suatu paduan seni yang
agung membentuk corak kepribadian mengagumkan
dari manusia besar ini . . . . Ia banyak memberi karena ia seorang pemurah . .
. . Yang diberikannya ialah barang halal karena ia seorang yang wara’ atau
shalih . . . . Dan ia tidak peduli, apakah kemurahannya itu akan menyebabkannya miskin karena ia zahid, tidak
ada minat terhadap dunia….
Ibnu
Umar termasuk orang yang hidup ma’mur dan berpenghasilan banyak. Ia adalah
seorang saudagar yang jujur dan berhasil dalam sebagian benar dari
kehidupannya. Di samping itu gajinya dari Baitulmal tidak sedikit pula: Tetapi
tunjangan itu tidak sedikit pun disimpannya untuk dirinya pribadi, tetapi
dibagi-bagikan sebanyak-banyaknya kepada orang-orang miskin, yang kemalangan
dan peminta-minta.
Ayub
bin Wa-il ar-Rasibi pernah menceriterakan kepada kita salah satu contoh
kedermawanannya. Pada suatu hari Ibnu Umar menerima uang sebanyak empat ribu
dirham dan sehelai baju dingin. Pada hari berikutnya Ibnu Wa-il melihatnya di
pasar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya secara berutang. Maka
pergilah Ibnu Wa-il mendapatkan keluarganya, tanyanya: Bukankah kemarin Abu
Abdurrahman — maksudnya Ibnu Umar — menerima kiriman empat ribu dirham dan
sehelai baju dingin? ” “Benar”, ujar mereka.
Kata
Ibnu Wa-il: “Saya lihat ia tadi di pasar membeli makanan untuk hewan
tunggangannya dan tidak punya uang untuk membayarnya . . . “
Ujar
mereka: “Tidak sampai malam hari, uang itu telah habis dibagi-bagikannya.
Mengenai baju dingin, mula-mula dipakainya, lalu ia pergi ke luar. Tapi ketika
kembali, baju itu tidak kelihatan lagi; dan ketika kami tanyakan, jawabnya
bahwa baju itu telah diberikannya kepada seorang miskin . ! “
Maka
Ibnu Wa-il pun pergilah sambil menghempas-hempaskan kedua belah telapak
tangannya satu sama lain, dan pergi menuju pasar. Di sana ia naik ke suatu
tempat yang tinggi dan berseru kepada orang-orang pasar, katanya: “Hai kaum
pedagang ! Apa yang tuan-tuan lakukan terhadap dunia . . . .? Lihat Ibnu Umar,
datang kiriman kepadanya sebanyak empat ribu dirham, lalu dibagi-bagikannya
hingga esok pagi ia membelikan hewan tunggangannya makanan secara utang . . .!
“
Memang,
seorang yang gurunya Muhammad saw. dan bapaknya Umar, adalah seorang yang luar
biasa dan cocok untuk hal-hal istimewa . . A Sungguh, kedermawanan, sifat zuhud
dan wara’, ketika unsur ini membuktikan secara gamblang, bagaimana Abdullah bin
Umar menjadi seorang pengikut terpercaya dan seorang putera teladan ….
Bagi
orang yang ingin melihat kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah,
cukuplah bila diketahuinya bahwa Ibnu Umar akan berhenti dengan untanya di
suatu tempat itu, karena pada suatu hari dilihatnya Rasulullah berhenti dengan
untanya di tempat itu, seraya katanya: “Semoga setiap jejak akan menimpa di
atas jejak sebelumnya … !”
Begitu
pula dalam baktinya kepada orang tua, penghormatan dan kekagumannya, Ibnu Umar
mencapai suatu taraf yang mengharuskan agar kepribadian Umar itu diteladani
oleh pihak musuh, apatah lagi oleh kaum kerabat, dan kononlah oleh putera-putera
kandungnya sendiri … !
Terlintas
pada kita: Tiada masuk akal, orang yang mengaku sebagai pengikut Rasul ini dan
penganut ayah yang terkenal al-Faruk . . . , akan menjadi budak atau hamba
harta . . . . Memang harta itu datang kepadanya secara berlimpah ruah .
. . , tetapi ia hanya sekedar lewat, atau mampir ke rumahnya sebentar saja … !
Dan
kedermawanan ini, baginya bukanlah sebagai alat untuk mencari nama, atau agar
dirinya menjadi buah bibir dan sebutan orang. Oleh sebab itu pemberiannya hanya
ditujukannya kepada fakir miskin dan yang benar-benar membutuhkan. Jarang
sekali makan seorang diri, karena pasti disertai oleh anak-anak yatim dan
golongan melarat. Sebaliknya ia seringkali memarahi dan menyalahkan sebagian
putera-puteranya, ketika mereka menyediakan jamuan untuk orang-orang hartawan,
dan tidak mengundang fakir miskin, katanya: “Kalian mengundang orangorang yang
dalam kekenyangan, dan kalian biarkan orang-orang yang kelaparan!”
Dan
fakir miskin itu kenal benar siapa Ibnu Umar, mengetahui sifat santunnya dan
merasakan akibat kedermawanan dan budi baiknya. Sering mereka duduk di jalan
yang akan dilaluinya pulang, dengan maksud semoga tampak olehnya hingga dibawanya
ke rumahnya. Pendeknya mereka berkumpul sekelilingnya tak ubah bagai kawanan
lebah yang berhimpun mengerumuni kembang demi untuk menghisap sari madunya … !
Bagi
Ibnu Umar harta itu adalah sebagai pelayan, dan bukan sebagai tuan atau
majikan! Harta hanyalah alat untuk mencukupi keperluan hidup dan bukan untuk
bermewah-mewahan. Dan hartanya itu bukanlah miliknya semata, tapi padanya ada
bagian tertentu haq fakir miskin, jadi merupakan hak yang serupa tak ada hak istimewa bagi dirinya.
Kedermawanan
yang tidak terbatas ini disokong oleh sifat zuhudnya. Ibnu Umar tak hendak
membanting tulang dalam mencari dan mengusahakan dunia. Harapan dari dunia itu
hanyalah hendak mendapatkan pakaian sekedar penutup tubuhnya dan makanan
sekedar penunjang hidup.
Salah
seorang shahabatnya yang baru pulang dari Khurasan menghadiahkan sehelai baju
halus yang indah kepadanya, serta katanya: “Saya bawa baju ini dari Khurasan
untukmu! Dan alangkah senangnya hatiku melihat kamu menanggalkan pakaianmu
yang kasar ini, lalu menggantinya dengan baju baru yang indah ini!”
“Coba
lihat dulu”, jawab Ibnu Umar. Lalu dirabanya baju itu dan tanyanya: “Apakah ini
sutera?” “Bukan”, ujar kawannya itu, “itu hanya katun”. Ibnu Umar mengusap-usap
baju itu sebentar, kemudian diserahkannya kembali, katanya: “Tidak, saya
khawatir terhadap diriku ! Saya takut ia akan menjadikan diriku sombong dan
megah, sedang Allah tidak menyukai orang-orang
sombong dan bermegah diri … I “
Pada
suatu hari, seorang shahabat memberinya pula sebuah kotak yang berisi penuh.
“Apa
isinya ini … ?”, tanya Ibnu Umar.
Jawab
shahabatnya: “Suatu obat istimewa, saya bawa untukmu dari Irak!”
“Obat
untuk penyakit apa”, tanya Ibnu Umar pula.
“Obat
penghancur makanan untuk membantu pencernaan”.
Ibnu
Umar tersenyum, katanya kepada shahabat itu: “Obat penghancur makanan . . . ?
Selama empat puluh tahun ini saya tak pernah memakan sesuatu makanan sampai
kenyang … !”
Nah,
seseorang yang tak pernah makan sampai kenyang selama 40 tahun bukanlah
maksudnya hendak menjauhi ke kenyangan itu semata, tetapi pastilah karena zuhud
dan wara’- nya, serta usahanya hendak mengikuti jejak langkah Rasulullah dan
bapaknya! Ia cemas akan dihadapkan pada hari qiamat dengan pertanyaan sebagai
berikut: Telah kamu habiskan segala keni’matan di waktu hidupmu di dunia, kamu
bersenang-senang dengannya! Ia menyadari
bahwa di dunia ini ia hanyalah tamu atau seorang musafir lalu . . . Dan pernah
ia berceritera tentang dirinya, katanya: “Tak pernah
saya membuat tembok dan tidak pula menanam sebatang kurma semenjak wafatnya
Rasulullah saw.
Berkata Maimun bin Mahran: “Saya masuk
ke rumah Ibnu Umar dan menaksir harga barang-barang yang terdapat di sana
berupa ranjang, selimut, tikar
. . . , pendeknya apa juga yang terdapat di sana,
maka saya dapati harganya tidak sampai seratus dirham . . . !” Dan demikian itu
bukanlah karena kemiskinan, karena Ibnu Umar adalah seorang kaya … ! Bukan pula
karena kebakhilan, karena ia seorang pemurah dan dermawan . . .! Sebabnya tidak
lain hanyalah karena ia seorang zahid tidak terpikat oleh dunia, tidak suka
hidup mewah dan tak senang menyimpang dari kebenaran dan keshalihan dalam
menempuh hidup ini.
Ibnu
Umar dikaruniai umur panjang dan mengalami masa Bani Umaiyah, di mana harta
melimpah ruah, tanah tersebar luas dan kemewahan meraja-lela di
kebanyakan rumah, bahkan katakanlah di mahligai-mahligai dan istana-istana . .
.! Tapi walau demikian, namun gunung yang mulia ini tetap tegak dan tak
tergoyahkan, tak hendakberanjak dari tempatnya dan tak hendak bergeser dari
sifat wara’ dan zuhudnya.
Dan
bila disebut orang kebahagiaan dunia dan kesenangannya yang dihindarinya itu,
ia berkata: “Saya bersama shahabat-shahabatku
telah sama sepakat atas suatu perkara, dan saya khawatir jika menyalahi mereka,
takkan bertemu lagi dengan mereka untuk selama-lamanya
Dan
kepada yang lain diberitahukannya bahwa ia meninggalkan dunia itu bukanlah
disebabkan ketidak mampuan; ditadahkannya kedua tangannya ke langit, katanya; “Ya
Allah, Engkaumengetahui bahwa kalau tidaklah karena takut kepada-Mu, tentulah
kami akan ikut berdesakan dengan bangsa kami Quraisy memperebutkan dunia ini. .
Benar …
! Seandainya ia tidak takut kepada Allah, tentulah ia akan ikut merebut dunia
dan tentulah ia akan berhasil. Tetapi ia tidak perlu berebutan, karena dunia
datang sendiri kepadanya, merayunya dengan berbagai kesenangan dan daya
perangsangnya….
Adakah
lagi yang lebih menarik dari jabatan khalifah? Berkali-kali jabatan itu
ditawarkan kepada Ibnu Umar, tetapi ia tetap menolak. Bahkan ia pernah diancam
jika tak mau menerimanya, tetapi pendiriannya semakin teguh dan penolakannya
semakin kerns lagi …
Berceritakan
Hasan r.a.:
“Tatkala
Utsman bin Affan dibunuh orang, ummat mengatakan kepada Abdullah bin Umar:
“Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah, agar kami minta orang-orang bai’at
pada anda!’ Ujarnya: ‘Demi Allah? seandainya dapat, janganlah ada walau setetes
darah pun yang tertumpah disebabkan daku!’ Kata mereka pula: ‘Anda harus
keluar! Kalau tidak akan kami bunuh di tempat tidurmu!’ Tetapi jawaban Ibnu
Umar tidak berbeda dengan yang pertama. Demikianlah mereka membujuk dan
mengancamnya, tetapi tak satu pun hasil yang mereka peroleh . . . .!”
Dan
setelah itu, ketika masa telah berganti masa dan fitnah telah menjadi-jadi,
Ibnu Umar tetap merupakan satu-satunya harapan. Orang-orang mendesaknya agar
sedia menerima jabatan khalifah dan mereka akan bai’at kepadanya, tetapi ia
selalu menolak. Penolakan ini menyebabkan timbulnya masalah yang ditujukan
kepada Ibnu Umar. Tetapi ia mempunyai logika dan alasan pula.
Sebagai
dimaklumi setelah terbunuhnya Utsman r.a. keadaan tambah memburuk dan
berlarut-larut yang akan membawa bencana dan malapetaka. Dan walaupun ia tidak
mempunyai ambisi untuk jabatan khalifah tersebut, tetapi Ibnu Umar bersedia
memikul tanggung jawab dan menanggung resikonya dengan syarat ia dipilih oleh
seluruh Kaum Muslimin dengan kemauan sendiri tanpa dipaksa. Adapun jika bai’at
itu dipaksakan oleh sebagian atas lainnya di bawah ancaman pedang, maka inilah
yang tidak disetujui oleh Ibnu Umar, dan la menolak jabatan khalifah yang
dicapai dengan cara seperti itu.
Dan
ketika itu, syarat tersebut tidaklah mungkin. Bagaimanapun kebaikan Ibnu Umar
dan kekompakan Kaum Muslimin dalam mencintai dan menghormatinya, tetapi luasnya
daerah dan letaknya yang berjauhan, di samping pertikaian yang sedang
berkecamuk di antara Kaum Muslimin, menyebabkan mereka terpecah-pecah kepada
beberapa golongan yang saling berperang dan mengangkat senjata, maka suasana
tidaklah memungkinkan tercapainya konsensus atau persesuaian yang diharapkan
oleh Ibnu Umar itu.
Seorang
laki-laki mendatanginya pada suatu hari, katanya: “Tak seorang pun yang lebih
buruk perlakuannya terhadap ummat manusia daripadamu !”
“Kenapa
? , ujar Ibnu Umar;”demi Allah, tak pernah saya menumpahkan darah mereka,
tidak pula berpisah dengan jama’ah mereka apalagi memecah-belah kesatuan
mereka!”
Kata
laki-laki itu pula: “Andainya kamu mau, tak seorang pun yang akan menentang …
!13
Jawab
Ibnu Umar: “Saga tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang
lainnya tidak!”
Bahkan
setelah peristiwa berkembang sedemikian rupa, dan kedudukan Muawiyah telah
kokoh, dan setelah itu beralih pula kepada puteranya Yazid . . . , lalu
Muawiyah II putera Yazid setelah beberapa hari menduduki jabatan khalifah
meninggalkannya karena tidak menyukainya. Sampai saat itu Ibnu Umar telah
menjadi seorang tun berusia lanjut, ia masih menjadi harapan ummat untuk
jabatan tersebut. Marwan datang kepadanya, katanya: “Ulurkanlah tangan anda
agar kami bai’at! Anda adalah pemimpin Islam dan putera dari pemimpinnya!”
Ujar
Ibnu Umar: “Apa yang kita lakukan terhadap orang-orang masyriq?”
“Kita
gempur mereka sampai mau bai’at!”
“Demi
Allah,”ujar Ibnu Umar Pula: “saya tak sudi dalam umur saya yang
tujuh puluh tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan saya …
Marwanpun
pergi berlalu sambil berdendang:
“Api
fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila,
Dan
kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa”.
Yang
dimaksud dengan Abu Laila ialah Muawiyah bin Yazid.
Penolakan
untuk menggunakan kekerasan dan alat senjata inilah yang menyebabkan Ibnu Umar
tak hendak campur tangan dan bersikap netral dalam kekalutan bersenjata yang
terjadi di antara pengikut Ali dan penyokong Muawiyah dengan mengambil
kalimat-kalimat berikut sebagai semboyan dan prinsipnya:
“siapa
yang berkata: ‘Marilah shalat!’ akan saya penuhi….
Dan
siapa yang berkata: ‘Marilah menuju kebahagiaan!’ akan saya turuti pula ….
Tetapi
siapa yang mengatakan: ‘Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas
hartanya!’ maka saya akan katakan tidak . . . .”
Hanya
dalam sikap netral dan tak hendak campur tangan ini, Ibnu Umar tak mau
membiarkan kebathilan. Telah lama sekali Mu’awiyah yang ketika itu berada di
puneak kejayaannya melakukan tindakan-tindakan yang menyakitkan dan membingungkannya,
sampai-sampai Mu’awiyah mengancam akan membunuhnya. Padahal dia selalu
bersemboyan: “Seandainya di antaraku dengan seseorang ada hubungan walau agak
sebesar rambut, tidaklah ia akan putus … !”
Dan
pada suatu hari Hajjaj’) tampil berpidato, katanya: “Ibnu Zubair telah merubah
Kitabullah!”
Maka
berserulah Ibnu Umar menentangnya: “Bohong bohong . . . . , kamu
bohong . ! “
Hajjaj
yang selama ini ditakuti oleh siapa pun juga, merasa terpukul mendapat serangan
tiba-tiba ….Tetapi kemudian dia melanjutkan pembicaraan dengan mengancamnya
akan memberi balasan yang seburuk-buruknya. Ibnu Umar mengacungkan tangannya ke
muka Hajjaj, dan di hadapan orang-orang yang sama terpesona dijawabnya: “Jika
ancamanmu itu kamu laksanakan, maka sungguh tak usah heran, kamu adalah
seorang diktator yang biadab!” Tetapi bagaimana juga keras dan beraninya,
sampai akhir hayatnya Ibnu Umar selalu ingin agar tidak terlibat dalam fitnah
bersenjata itu dan menolak untuk berpihak kepada salah satu golongan ….
Berkatalah
Abul ‘Aliyah al-Barra:
“Pada
suatu hari saya berjalan di belakang Ibnu Umar tanpa diketahuinya. Maka saya
dengar ia berbicara kepada dirinya: ‘Mereka letakkan pedang-pedang mereka
di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu berkata: “Hai Abdullah
bin Umar ikutlah dan berikan bantuan . sungguh sangat menyedihkan.”
la amat
menyesal dan duka melihat darah Kaum Muslimin tertumpah oleh sesamanya. Dan
sebagai kita baca dalam kata pengantar mengenai riwayatnya. ini, “tiadalah ia
hendak mernbangunkan orang Muslimin yang sedang tertidur”.
Dan
sekiranya ia mampu menghentikan peperangan dan menjaga darah tertumpah pastilah
akan dilakukannya, tetapi suasana ternyata tidak mengidzinkan, oleh sebab itu
dijauhinya.
Sebetulnya
hati kecilnya berpihak kepada Ali r.a., bahkan pada lahirnya Ibnu Umar yakin
bahwa Ali r.a. di pihak yang benar, hingga diriwayatkan bahwa setelah ia
menganalisa semua peristiwa dan situasi pada akhir hidupnya itu ia berkata: “Tiada
sesuatu pun yang saya sesalkan karena tidak kuperoleh, kecuali suatu hal, aku
sangat menyesal tidak mendampingi Ali dalam memerangi golongan pendurhaka . .
.!”
Penolakannya
berperang di pihak Ali yang sebenarnya mempertahankan haq dan berada di pihak
yang benar, dilakukannya bukan dengan maksud hendak lari atau menyelamatkan
diri,
tetapi
adalah karena tidak setuju dengan semua perselisihan dan fitnah itu, serta
menghindari peperangan yang terjadi bukan di antara Muslim dengan musyrik,
tetapi antara sesama Muslimin yang saling menerkam saudaranya ….
Hal itu
dijelaskannya dengan gamblang ketika ia ditanyai oleh Nafi’: “Hai Abu
Abdurrahman, anda adalah putera Umar dan shahabat Rasulullah saw., dan anda
adalah serta
anda . . .! Tetapi apa yang menghalangi anda bertindak?” — maksudnya membela Ali. Maka ujarnya:
anda . . .! Tetapi apa yang menghalangi anda bertindak?” — maksudnya membela Ali. Maka ujarnya:
“Sebabnya
ialah karena Allah Ta’ala telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim!
Firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
Perangilah
mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang beragama itu
semata ikhlas karena Allah. (Q.S. 2 al-Baqarah: 193).
Nah,
kita telah melakukan itu dan memerangi orang-orang musyrik, hingga agama itu
semata bagi Allah! Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang . . .? Saya telah
mulai berperang semenjak berhala-berhala masih memenuhi Masjidil Haram dari
pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua itu dibasmi Allah dari
bumi Arab … ! Sekarang, apakah saya akan memerangi orang yang mengucapkan “Lah
ilaaha illallaah”, tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah?”
Demikianlah
logika dan alasan dari Ibnu Umar, dan demikianlah pula keyakinan dan
pendiriannya! Jadi ia menghindari peperangan dan tak hendak turut mengambil
bahagian padanya, bukanlah karena takut atau hal-hal negatif lainnya, tetapi
adalah karena tak menyetujui perang saudara antara sesama ummat beriman, dan
menentang tindakan seorang Muslim yang menghunus pedang terhadap Muslim
lainnya.
Ibnu
Umar menjalani usia lanjut dan mengalami saat-saat dibukakannya pintu keduniaan
bagi Kaum Muslimin. Harta melimpah ruah,. jabatan beraneka ragam dan kehendak
serta keinginan berkobar-kobar. Tetapi kemampuan mentalnya yang luar
biasa, telah merubah khasiat zamannya!
Masa
yang penuh dengan segala macam keinginan, dengan fitnah dan harta benda itu,
dirubahnyalah bagi dirinya menjadi suatu masa yang diliputi oleh zuhud dan
keshalihan, kedamaian dan kesejahteraan yang dijalani oleh pribadi; tekun dan
melindungkan diri ini dengan segala keyakinan, telah dibentuk dan ditempa oleh
Agama Islam di masa-masa pertamanya yang gemilang dan tinggi menjulang itu,
tidak tergoyahkan sedikit pun juga.
Dengan
bermulanya masa Bani Umayah, corak kehidupan mengalami perubahan, suatu
perubahan yang tak dapat dielakkan. Masa itu boleh disebut sebagai masa
kelonggaran dalam segala hal, kelonggaran yang tidak Baja sesuai dengan
keinginan keinginan pemerintah, tetapi juga dengan keinginan-keinginan pribadi
dan golongan.
Dan di
tengah badai rangsangan masa yang terpukau oleh kelonggaran-kelonggaran itu,
oleh hasil perolehan dan kemegahannya, Ibnu Umar tetap bertahan dengan segala
keutamaannya, tidak menghiraukan semuanya itu, dengan melanjutkan pengembangan
jiwanya yang besar. Sungguh, ia telah berhasil menjaga tujuan mulia dari
kehidupannya sebagai diharapkannya, hingga orang-orang yang semata dengannya
melukiskannya sebagai berikut: “Ibnu Umar telah meninggal dunia, dan dalam
keutamaan tak ubahnya ia dengan Umar”.
Bahkan
ketika menyaksikan sifat dan akhlaqnya yang mengagumkan itu, mereka
membandingkannya dengan Umar, yaitu bapaknya yang berpribadi besar, kata
mereka:
“Umar
hidup di suatu masa di mana banyak tokoh-tokoh yang menjadi saingannya, tetapi
Ibnu Umar hidup di suatu zaman, di mana tidak ditemui yang menjadi tolak
bandingannya … !”
Perbandingan
itu terlalu berlebihan, tetapi dapat dima’afkan terhadap orang seperti Ibnu
Umar . . . . Adapun Umar, tak seorang pun dapat disejajarkan dengannya. Tak
mungkin ada bandingannya di setiap masa dari kaum mana pun juga!
Suatu
hari dari tahun 73 H . . . , ketika sang surya telah condong ke Barat hendak
memasuki peraduannya, salah sebuah kapal keabadian telah mengangkat jangkar dan
mulai berlayar, bertolak menuju rafiqul a’la di alam barzakh, dengan membawa
suatu sosok tubuh salah seorang tokoh teladan terakhir mewakili zaman wahyu di
Mekah dan Madinah, yaitu jasad Abdullah bin Umar bin Khatthab -
60 Sahabat Nabi: Abdullah bin Umar, Tekun Beribadah dan Mendekatkan Diri Pada Allah
Reviewed by Himam Miladi
on
April 16, 2014
Rating:
No comments:
Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini