Serombongan orang Quraisy mempercepat langkah mereka menuju
rumah Khabbab, dengan maksud hendak mengambil pedang-pedang pesanan mereka.
Memang, Khabbab seorang pandai besi yang ahli membuat alat-alat senjata
terutama pedang, yang dijualnya kepada penduduk Mekah dan dikirimnya ke
pasar-pasar.
Berbeda dengan biasa, Khabbab yang hampir tidak pernah
meninggalkan rumah dan pekerjaannya, ketika itu tidak dijumpai oleh rombongan
Quraisy tadi di rumahnya. Mereka pun duduklah menunggu kedatangannya.
Beberapa lama antaranya, datanglah Khabbab, sedang pada wajahnya
terlukis tanda tanya yang bercahaya dan pada kedua matanya tergenang air alamat
sukacita . . . , maka diucapkannya salam kepada teman-temannya itu lalu duduk
di dekat mereka.
Mereka
segera menanyakan kepada Khabbab:
“Sudah
selesaikah pedang-pedang kami itu, hai Khabbab?”
Sementara itu air mata Khabbab sudah kering, dan pada kedua
matanya tampak sinar kegembiraan, dan seolah-olah berbicara dengan dirinya
sendiri, katanya: “Sungguh, keadaannya amat mena’jubkan!”
Orang-orang itu kembali sertanya kepadanya:”Hai Khabbab, keadaan
mana yang kamu maksudkan? Yang kami tanyakan kepadamu adalah soal pedang
kami, apakah sudah selesai kamu buat?
”Dengan pandangannya yang
menerawang seolah‑olah mimpi, Khabbab lalu bertanya: “Apakah tuan-tuan sudah
melihatnya … ? Dan apakah tuan-tuan sudah pernah mendengar ucapannya … !’
Mereka saling pandang diliputi tanda tanya dan keheranan.
Dan salah seorang di antara mereka kembali sertanya, kali ini
dengan suatu muslihat, katanya: “Dan kamu, apakah kamu sudah melihatnya, hai
Khabbab … ?”
Khabbab menganggap remeh siasat lawan itu, maka ia berbalik
sertanya: “Siapa maksudmu … ?”
“Yang saya tuju ialah orang yang kamu katakan itu!” ujar orang
tadi dengan marah.
Maka Khabbab memberikan jawabannya setelah memperlihatkan
kepada mereka bahwa ia tak dapat dipancing-pancing. Jika ia mengakui keimanannya
sekarang ini di hadapan mereka, bukanlah karena hasil muslihat dan termakan
umpan mereka, tetapi karena ia telah meyakini kebenaran itu serta menganutnya,
dan telah mengambil putusan untuk menyatakannya secara terus terang . . . .
Maka dalam keadaan masih terharu dan terpesona, serta kegembiraan jiwa dan
kepuasannya, disampaikanlah jawaban, katanya:
“Benar… , saya telah melihat dan mendengarnya …
Saya saksikan kebenaran terpancar daripadanya, dan cahaya
bersinar-sinar dari tutur katanya…!
Sekarang orang-orang Quraisy pemesan senjata itu mulai mengerti,
dan salah seorang di antara mereka berseru: “Siapa dia orang yang kau katakan
itu, hai budak Ummi Anmar . . . !’
Dengan ketenangan yang hanya dimiliki oleh orang suci, Khabbab
menyahut:
“Siapa lagi, hai Arab shahabatku Siapa lagi di antara kaum anda
yang daripadanya terpancar kebenaran, dan dari tutur katanya bersinar-sinar
cahaya selain ia. seorang … ?”
Seorang lainnya yang bangkit terkejut mendengar itu berseru
pula: “Rupanya yang kamu maksudkan ialah Muhammad . . .”. Khabbab menganggukkan
kepalanya yang dipenuhi kebanggaan serta katanya:
“Memang, ia adalah utusan Allah kepada kita, untuk membebaskan
kita dari kegelapan menuju terang benderang.
Dan setelah itu Khabbab tidak ingat lagi apa yang diucapkannya,begitupun
apa yang diucapkan orang kepadanya . . . . Yang diingatnya hanyalah bahwa
setelah beberapa saat lamanya ia sadarkan diri dan mendapati tamu-tamunya telah
bubar dan tak ada lagi, sedang tubuh bengkak-bengkak dan tulang-tulangnya
terasa sakit, dan darahnya yang mengalir melumuri pakaian dan tubuhnya.
Kedua matanya memandang berkeliling dengan tajam …. kiranya
tempat itu amat sempit untuk dapat melayani pandangan tembusnya. Maka dengan
menahan rasa sakit, ia bangkit menuju tempat yang lapang, dan di muka pintu
rumahnya ia berdiri sambil bersandar pada dinding, sedang kedua matanya yang
mulia berkelana panjang menatap ufuk lalu berputar ke arah kanan kiri ….
Dan tiadalah ia berhenti sampai jarak yang biasa dikenal oleh
manusia, tetapi ia ingin hendak menembus jarak jauh yang tidak terjangkau ….
Memang . . . , kedua matanya itu ingin menyelidiki kejauhan yang
tidak terjangkau dalam kehidupannya, begitu pun dalam kehidupan orang-orang di
kota Mekah, orang-orang di setiap tempat serta pada segala masa umumnya ….
Wahai, mungkinkah pembicaraan yang didengarnya dari Muhammad
saw. pada hari itu, merupakan cahaya yang dapat menerangi jalan menuju kejauhan
ghaib dalam kehidupan seluruh ummat manusia?
Demikianlah Khabbab tenggelam dalam renungan tinggi dan
pemikiran mendalam, dan setelah itu ia kembali masuk rumahnya untuk membalut
luka tubuhnya dan mempersiapkannya untuk menerima siksaan dan penderitaan baru
. . . . ! Dan mulai saat itu Khabbab pun mendapatkan kedudukan yang tinggi di
antara orang-orang yang tersiksa dan teraniaya . .. ! Didapatkannya kedudukan
itu di antara, orang-orang yang walau pun mereka miskin dan tak berdaya, tetapi
berani tegak menghadapi ke‑ sombongan Quraisy, kesewenangan dan kegilaan mereka
. . . ! Diperolehnya kedudukan yang mulia itu di antara orang-orang yang telah
memancangkan dalam jiwanya tiang bendera yang mulai berkibar di ufuk luas
sebagai pernyataan tenggelamnya masa pemujaan berhala dan kekaisaran. la
berdampingan dengan orang yang menyampaikan berita gembira munculnya kejayaan
Agama Allah, yakni Tuhan satu-satunya yang berhak diibadahi dan segala
peraturannya dengan ikhlas ditaati, Serta menyampaikan tibanya saat jaya bagi
orang tertindas yang tidak berdaya. Ia akan duduk sama rendah berdiri sama
tinggi di bawah bendera tersebut dengan orang-orang yang tadinya telah memeras
dan menganiayanya ….
Dan dengan keberanian luar biasa, Khabbab memikul tanggung
jawab semua itu sebagai seorang perintis.
“Berkatalah Sya’bi:
Khabbab menunjukkan ketabahannya, hingga tak sedikit pun hatinya
terpengaruh oleh tindakan biadab orang-orang kafir. Mereka menindihkan batu
membara ke punggungnya, hingga terbakarlah dagingnya!”
Kafir Quraisy telah merubah semua besi yang terdapat di rumah
Khabbab yang dijadikannya sebagai bahan baku untuk membuat pedang, menjadi
belenggu dan rantai besi. Lalu mereka masukkan ke dalam api hingga menyala dan
merah membara, kemudian mereka lilitkan ke tubuh, pada kedua tangan dan kedua
kaki Khabbab . . . . Dan pernah pada suatu hari ia pergi bersama kawan-kawannya
sependeritaan menemui Rasulullah saw. tetapi bukan karena kecewa dan kesal atas
pengorbanan, hanyalah karena ingin dan mengharapkan keselamatan, kata mereka:
“Wahai Rasulullah, tidakkah anda hendak memintakan pertolongan
bagi kami … ?”
Yah, marilah kita dengarkan Khabbab menceritakan langsung kepada
kita kisah itu dengan kata-katanya sendiri:
“Kami pergi mengadu kepada Rasulullah saw. yang ketika itu sedang tidur berbantalkan
kain burdahnya di bawah naungan Ka’bah. Permohonan kami kepadanya: “Wahai
Rasulullah, tidakkah anda hendak memohonhan kepada Allah pertolongan bagi kami
. . . . ?” Rasulullah saw. pun duduk, mukanya jadi merah, lalu sabdanya: “Dulu
sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang disiksa, tubuhnya dikubur kecuali
leher ke atas, lalu diambil sebuah gergaji untuk menggergaji kepalanya, tetapi
siksaan demikian itu tidak sedikit pun dapat memalingkannya dari Agamanya . .
. ! Ada pula yang disikat antara daging dan tulang-tulangnya dengan sikat
besi, juga tidak dapat menggoyahkan keimanannya …. Sungguh Allah akan
menyempurnakan hal tersebut, hingga setiap pengembara yang bepergian dari
Shan’a ke Hadlramaut, tiada takut kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jalla, walaupun
serigala ada di antara hewan gembalaannya, tetapi saudara-saudara terburu-buru!”
Khabbab dengan kawan-kawannya mendengarkan kata-kata itu,
bertambahlah keimanan dan keteguhan hati mereka, dan masing-masing mereka
berikrar akan membuktikan kepada Allah dan Rasul-Nya hal yang diharapkan dari
mereka, ialah ketabahan, keshabaran dan pengurbanan.
Demikianlah Khabbab menanggung penderitaan dengan shabar, tabah
dan tawakkal. Orang-orang Quraisy terpaksa meminta bantuan Ummi Anmar, yakni
bekas majikan Khabbab yang telah membebaskannya dari perbudakan. Wanita
tersebut akhirnya turun tangan dan turut mengambil bagian dalam menyiksa dan
menderanya.
Wanita itu mengambil besi panas yang menyala, lalu menaruhnya
di atas kepada dan ubun-ubun Khabbab, sementara Khabbab menggeliat kesakitan.
Tetapi nafasnya ditahan hingga tidak keluar keluhan yang akan menyebabkan
algojo-algojo tersebut merasa puas dan gembira … !
Pada suatu hari Rasulullah saw. lewat di hadapannya, sedang besi
yang membara di atas kepalanya membakar dan menghanguskannya, hingga kalbu
Rasulullah pun bagaikan terangkat karena pilu dan iba hati ….
Tetapi apa yang dapat diperbuat oleh Rasulullah saw. untuk
menolong Khabbab waktu itu . . . ? Tidak ada . . . , kecuali meneguhkan hatinya
dan mendu’akannya. Pada saat itu Rasulullah mengangkat
kedua belah telapak tangannya terkembang ke arah langit, sabdanya memohon:
“Ya Allah, limpahkanlah pertolongan-Mu kepada Khabbab!”
Dan kehendak Allah pun berlakulah, selang beberapa hari Ummi
Anmar menerima hukuman qishas, seolah-olah hendak dijadikan peringatan oleh
Yang Maha Kuasa baik bagi dirinya maupun bagi algojo-algojo lainnya. Ia
diserang oleh semacam penyakit panas yang aneh dan mengerikan. menurut
keterangan ahli sejarah ia melolong seperti anjing……………
Dan dinasihatkan orang mengenai dirinya bahwa satu-satunya jalan
atau obat yang dapat menyembuhkannya ialah menyeterika kepalanya dengan besi
menyala . . . ! Demikianlah kepalanya yang angkuh itu menjadi sasaran besi
panas, yang disetrikakan orang kepadanya tiap pagi dan petang.
Jika orang-orang Quraisy hendak mematahkan keimanan dengan siksa
maka orang-orang beriman mengatasi siksaan itu dengan pengurbanan. Dan
Khabbab adalah salah seorang yang dipilih oleh taqdir untuk menjadi guru besar
dalam ilmu tebusan dan pengurbanan …. Boleh dikata seluruh waktu dan masa
hidupnya dibaktikannya untuk Agama yang panji-panjinya mulai berkibar ….
Di masa-masa da’wah pertama, Khabbab r.a. tidak merasa cukup
dengan hanya ibadat dan shalat semata, tetapi ia juga memanfaatkan kemampuannya
dalam mengajar. Didatanginya rumah sebagian temannya yang beriman dan
menyembunyikan keislaman mereka karena takut kekejaman Quraisy, lalu dibacakannya
kepada mereka ayat-ayat al-Quran dan diajarkannya.
Ia mencapai kemahiran dalam belajar al-Quran yang diturunkan
ayat demi ayat dan surat demi surat. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan mengenai
dirinya, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
“Barangsiapa ingin membaca
al-Quran tepat sebagaimana diturunkan, hendaklah ia meniru bacaan Ibnu Ummi‘ Abdin!, hingga Abdullah bin Mas’ud menganggap Khabbab
bagai tempat bertanya mengenai soal-soal yang bersangkut paut dengan al-Quran,
baik tentang hafalan maupun pelajarannya.
Khabbab adalah juga yang mengajarkan al-Quran kepada Fathimah
binti Khatthab dan suaminya Sa’id bin Zaid ketika mereka dipergoki oleh Umar
bin Khatthab yang datang dengan pedang di pinggang untuk membuat perhitungan
dengan Agama islam dan Rasulullah saw. Tetapi demi dibacanya ayat-ayat Quran
yang termaktub pada lembaran yang dipergunakan oleh Khabbab untuk mengajar, ia pun
berseru dengan suaranya yang barkah: “Tunjukkan kepadaku di mana Muhammad!"
Dan ketika Khabbab mendengar ucapan Umar itu, ia pun segera
keluar dari tempat persembunyiannya, serunya:
“Wahai Umar! Demi Allah, saya berharap kiranya ‘kamulah yang
telah dipilih oleh Allah dalam memperkenankan permohonan Nabi-Nya saw. Karena
kemarin saya dengar ia memohon:
“Ya Allah, kuatkanlah Agama Islam dengan salah seorang di antara
dua lelaki
yang lebih Engkau sukai: Abul Hakam bin Hisyam dan Umar bin Khatthab . . . ! “
Umar segera. menyahut: “Di mana saya dapat menemuinya orang ini,
hai Khabbab?” “Di Shafa”, ujar Khabbab, “yaitu rumah Arqam bin Abil Arqam”.
Maka pergilah Umar mendapatkan keuntungan yang tidak terkira, menemui awal
nasibnya yang bahagia . . . . !
Khabbab ibnul Arats menyertai Rasulullah saw. dalam semua peperangan
dan pertempurannya, dan selama hayatnya ia tetap membela keimanan dan
keyakinannya ….
Dan ketika Baitulmal melimpah ruah dengan harta kekayaan di masa
pemerintahan Umar dan Utsman radliyallahu ‘anhuma, maka Khabbab beroleh gaji
besar, karena termasuk golongan Muhajirin yang mula pertama masuk Islam.
Penghasilannya yang cukup ini memungkinkannya untuk membangun
sebuah rumah di Kufah, dan harta kekayaannya disimpan pada suatu tempat di
rumah itu yang dikenal oleh para shahabat dan tamu-tamu yang memerlukannya,
hingga bila di antara mereka ada sesuatu keperluan, ia dapat mengambil uang
yang diperlukannya dari tempat itu ….
Walaupun demikian, Khabbab tak pernah tidur nyenyak dan tak
pernah air matanya kering setiap teringat akan Rasulullah saw. dan para
shahabatnya yang telah membaktikan hidupnya kepada Allah. Mereka beruntung
telah menemui-Nya sebelum pintu dunia dibukakan bagi Kaum Muslimin dan sebelum
harta kekayaan diserahkan ke tangan mereka.
Dengarkanlah pembicaraannya dengan para pengunjung yang datang
menjenguknya ketika ia r.a. dalam sakit yang membawa ajalnya. Kata mereka
kepadanya: “Senangkanlah hati anda wahai Abu Abdillah, karena anda akan dapat
menjumpai teman-teman sejawat anda !”
Maka ujarnya sambil menangis:
“Sungguh, saya tidak merasa kesal atau kecewa, tetapi tuan-tuan
telah mengingatkan saya kepada para shahabat dan sanak saudara yang telah pergi
mendahului kita dengan membawa semua amal bakti mereka, sebelum mereka mendapatkan
ganjaran di dunia sedikit pun juga . . . ! Sedang kita .. , kita masih tetap
hidup dan beroleh kekayaan dunia, hingga tak ada tempat untuk menyimpannya lagi
kecuali tanah.”
Kemudian ditunjuknya rumah sederhana yang telah dibangunnya itu,
lalu ditunjuknya pula tempat untuk menaruh harta kekayaan, Serta katanya:
“Demi Allah, tak pernah saya menutupnya walau dengan sehelai
benang, dan tak pernah saya halanginya terhadap yang meminta …!
Dan setelah itu ia menoleh kepada kain kafan yang telah
disediakan orang untuknya. Maka ketika dilihatnya mewah dan berlebih-lebihan,
katanya sambil mengalir air matanya:
“Lihatlah ini kain kafanku …!
Bukankah kain kafan Hamzah paman Rasulullah saw. ketika gugur
sebagai salah seorang syuhadah hanyalah burdah berwarna abu-abu, yang jika
ditutupkan ke kepalanya terbukalah kedua ujung kakinya, sebaliknya bila
ditutupkan ke ujung kakinya, terbukalah kepalanya …!”
Khabbab berpulang pada tahun 37 Hijriah. Dengan demikian ahli
membuat pedang di masa jahiliyah telah tiada lagi. Demikian halnya guru besar
dalam pengabdian dan pengurbanan dalam Islam telah berpulang …. !
Laki-laki yang termasuk dalam jama’ah yang diturunkan Al Quran
untuk membelanya, dan yang dilindungi sewaktu sebagian para bangsawan Quraisy
menuntut agar Rasulullah saw. menyediakan untuk menerima mereka pada suatu
hari tertentu, sedang bagi orang-orang miskin seperti Khabbab, Shuhaib dan
Bilal suatu hari tertentu pula ….
Kiranya al-Quranul Karim merangkul laki-laki hamba Allah itu
dengan penuh kemuliaan dan kehormatan, sementara ayat-ayatnya berkumandang
menyatakan kepada Rasul yang mulia seperti berikut:
Dan janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya
sepanjang pagi dan petang, mereka itu menghamp keridlaan-Nya . – . ! Engkau
sedikit pun tidak diminta pertanggungjawaban – yang menjadi perhitungan bagi
mereka. Begitu pun perhitungan bagimu tidak akan dimintakan tanggung jawab
mereka sedikit pun. Apabila engkau mengusir mereka, pasti engkau termasuk orangorang
dhalim.
Demikianlah Kami uji sebagian mereka dengan sebagian lainnya,
sehingga mereka berkata: Itukah orang-orang yang diberi karunia oleh Allah di
antara kita … ? (Allah berfirman): Tidakkah Allah lebih mengetahui orang-orang
yang bersyukur … ?
Dan jika datang kepadamu orang-orang yang beriman kepada
ayat-ayat Kami, ucapkanlah kepada mereka: Selamat bahagia bagi kalian, Tuhan
kalian telah mewajibkan diri-Nya rasa kasih sayang.
(Q.s.6 al-An’am: 52 — 54)
Demikianlah setelah turunnya ayat ini, maka Rasulullah saw. amat
memuliakan mereka, dibentangkannya untuk mereka kainnya, dan dirangkulnya bahu
mereka Serta sabdanya:
“Selamat datang bagi orang-orang yang diriku diberi washiat oleh
Allah untuk memperhatikan mereka!”
Sungguh, salah seorang putera terbaik dari masa wahyu dan
generasi pengurbanan telah wafat. Mungkin kata-kata terbaik yang kita ucapkan untuk melepas tokoh
ini, ialah apa yang diucapkan oleh Imam Ali karamallahu wajhah ketika ia
kembali dari perang Shiffin dan kebetulan pandangannya jatuh atas sebuah makam
yang basah dan segar, maka tanyanya: “Makam siapa ini . . . ?” “Makam Khabbab”,
ujar mereka. Maka lama sekali ia merenunginya dengan hati khusyu‘ dan duka, lalu katanya:
“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Khabbab, Yang dengan ikhlas menganut
Islam dengan penuh semangat ….
Mengikuti
hijrah sernata-mata karena taat ….
Seluruh
hidupnya dibaktikan dalam perjuangan membasmi ma’siat …. “
60 Sahabat Nabi: Khabbab bin Arats, Guru Besar Dalam Berqurban
Reviewed by Himam Miladi
on
April 27, 2014
Rating:
No comments:
Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini