“Di antara orang-orang Mu’min itu terdapat sejumlah laki-laki
yang memenuhi janji-janji mereka terhadap Allah. Di antara mereka ada yang
memberikan nyawanya, sebagian yang
lain sedang menunggu gilirannya. Dan tak pernah mereka merubah pendiriannya
sedikit pun juga … ! “
Setelah Rasulullah saw. membacakan ayat yang mulia ini, beliau
menatap wajah para shahabatnya sambil menunjuk kepadaThalhah sabdanya:
“Siapa yang suka melihat seorang laki-laki yang masih berjalan
di muka bumi, padahal ia telah memberikan nyawanya, maka hendaklah ia
memandang Thalhah …
Tak ada satu kegembiraan yang paling didambakan oleh shahabat
Rasul, di mana hati mereka terbang merindukannya, melebihi kedudukan seperti
yang disandangkan Rasul kepada Thalhah bin Ubaidillah ini! Karena itu, tidak
heran bila Thalhah hatinya tenteram mendengar akhir hayatnya serta kesudahan
nasibnya dalam hidup ini . . . . Ia akan hidup dan mati dan termasuk salah seorang dari
mereka yang menepati benar apa, yang
telah mereka janjikan kepada Allah, dan ia tak terkena fitnah dan tidak
mendapat kesukaran …. la telah digembirakan Rasul akan beroleh surga. Nah,
bagaimanakah riwayat kehidupannya, orang yang telah diramalkan akan berbahagia
itu …. ?
Dalam perjalanannya berniaga ke kota Bashra, Thalhah sempat
berjumpa dengan seorang pendeta yang amat baik. Di waktu itu sang pendeta
memberi tahu padanya, bahwa Nabi yang akan muncul di tanah Haram, sebagaimana
telah diramalkan oleh para Nabi yang shaleh, masanya telah datang menampakkan
diri . . . . Diperingatkannya Thalhah agar tidak ketinggalan menyertai kafilah
kerasulan itu, yaitu kafilah pembawa petunjuk rahmat dan pembebasaan ….
Dan sewaktu Thalhah tiba kembali di negerinya Mekah sesudah
berbulan-bulan dihabiskannya di Bashra dan dalam perjalanan, ia menangkap
bisik-bisik penduduk . .. dan mendengar percakapan tentang “Muhammad al-Amin” .
. . dan tentang wahyu yang datang kepadanya . . . begitu pun tentang kerasulan
yang dibawanya kepada seluruh ummat manusia . . . .
Orang yang mula-mula ditanyakan Thalhah ialah Abu Bakar.
Maka diketahuinyalah bahwa ia baru saja pulang dengan kafilah
beserta barang perniagaannya, dan bahwa ia berdiri di samping Muhammad saw.
selaku Mu’min, sebagai pembela yang menyerahkan dirinya kepada Tuhan.
Thalhah berbicara kepada dirinya sendiri: ‘Muhammad saw. dan Abu
Bakar? Demi Allah, tak mungkin kedua orang ini akan bersekongkol dalam
kesesatan kapan pun!”
Muhammad saw. telah mencapai usia 40 tahun. Kita belum pernah
mengenal kebohongannya sekalipun dalam jangka usianya yang sekian lama itu ….
Apakah mungkin ia berdusta hari ini terhadap Allah, . . .. lalu mengatakan
bahwa Tuhan telah mengutusnya dan mengirimkan wahyu kepadanya . . . ? Suatu hal
yang tidak masuk akal … !
Thalhah mempercepat langkahnya menuju rumah Abu Bakar. Tak
berlangsung lama pembicaraan di antara keduanya, maka rindunya hendak menemui
Rasulullah saw. dan hasratnya hendak berjanji setia kepadanya serasa semakin
cepat dari debar jantungnya sendiri . . . . Ia ditemani Abu Bakar pergi kepada
Rasulullah saw. di mana ia menyatakan keislamannya dan mengambil tempat dalam
kafilah yang diberkati ini … dari angkatan pertama. Begitulah Thalhah termasuk
orang yang memeluk Islam pada angkatan terdahulu.
Sekalipun ia orang yang terpandang dalam kaumnya, dan seorang
hartawan besar dengan perniagaannya yang selalu meningkat, namun ia tidak
luput menderitakan penganiayaan dari orang-orang Quraisy karena Islam.
Untunglah ia dan Abu Bakar mendapat perlindungan dari Naufal bin Khuwailid, si
Singa Quraisy paman Khadijah istri Rasul …. Sehingga penganiayaan terhadap
keduanya tidak berlangsung lama, karena orang-orang musyrik Quraisy merasa segan kepadanya serta takut pula akan akibat perbuatan mereka . . . .
Thalhah hijrah ke Madinah sewaktu orang-orang Islam
diperintahkan hijrah. Kemudian ia selalu menyaksikan semua peperangan bersama
Rasulullah saw. kecuali perang Badar, karena waktu itu, Rasul mengutusnya
bersama Sa’id bin Zaid untuk suatu keperluan penting keluar kota Madinah ….
Sewaktu keduanya telah menyelesaikan tugas mereka dengan baik,
dan kembali ke Madinah, kebetulan Nabi dengan para shahabatnya yang lain sedang
kembali pula dari perang Badar. Alangkah sedih dan perih perasaan keduanya
kehilangan pahala karena tidak menyertai Rasulullah saw. berjihad dalam
peperangan yang pertama itu.
Tetapi Rasul telah menenteramkan hati mereka hingga tenang dan
mantap dengan memberitahukan bahwa mereka tetap memperoleh pahala dan ganjaran
yang sama seperti orang-orang yang berperang. Bahkan Rasul membagikan rampasan
perang kepada keduanya tidak kurang dari yang didapat oleh mereka yang
menyertainya ….
Sekarang datanglah masa perang Uhud yang akan memperlihatkan
segala kebengisan dan kekejaman Quraisy, yang tampil hendak membalas dendam
atas kekalahannya di perang Badar dan untuk mengamankan tujuan terakhirnya
dengan menimpakan kekalahan yang menentukan atas Muslimin yang menurut.
perkiraan mereka suatu soal mudah dan pasti dapat terlaksana … !
Peperangan dahsyat pun berlangsunglah dan korban-korban yang
berjatuhan segera menutupi muka bumi … serta kekalahan tampak berada di fihak
kaum musyrikin …. Kemudian sewaktu Kaum Muslimin melihat musuh mengundurkan
diri, mereka sama meletakkan senjata, dan para pemanah turun meninggalkan
kedudukan mereka, pergi memperebutkan harta rampasan ….
Tiba-tiba sewaktu mereka lengah pasukan Quraisy menyerang
kembali dari belakang hingga berhasil merebut prakarsa dan menguasai kendali
pertempuran ….
Sekarang peperangan mulai berkecamuk lagi dengan segala
kekejaman dan kedahsyatannya. Serangan mendadak yang tiba-tiba itu, rupanya
telah mengkucar-kacirkan barisan Kaum Muslimin . . . . Thalhah memperhatikan
daerah peperangan tempat Rasulullah saw. berdiri.
Dilihatnya Rasulullah menjadi sasaran empuk serbuan pasukan
penyembah berhala dan musyrik, maka ia pun dengan cepat segera ke arah Rasul ….
Thalhah r.a. terus maju menebas jalan yang walaupun pendek tetapi terasa
panjang . setiap jengkal jalan dihadang puluhan pedang yang bersilang dan
tombak-tombak yang mencari mangsanya….
Dari jauh dilihatnya Rasulullah saw. bercucuran darah dari
pipinya, sedang beliau menahan kesakitan yang amat sangat. Ia naik pitam dan
berang, lalu diambilnya jalan pintas, dengan satu atau dua lompatan dahsyat
dari kudanya, dan benarlah .. . di hadapan Rasul sekarang ia menemukan apa yang
ditakutinya . . . pedang-pedang musyrikin menyambar-nyambar ke arah Rasul,
mengepung dan hendak membinasakannya ….
Bagaikan satu peleton tentara jua, Thalhah berdiri kukuh, dan
mengayunkan pedangnya yang ampuh ke kiri dan ke kanan. Ia dapat melihat darah
Rasul yang mulia menetes dan mendengar rintihan kesakitannya. Maka diraihnya
Nabi dengan tangan kiri dari lobang tempat kakinya terperosok. Sambil memapah
Rasul yang mulia dengan dekapan tangan kiri ke dadanya, ia mengundurkan diri
ke tempat yang aman, sementara tangan kanannya , Allah memberkati tangan
kanannya mengayun-ayunkan pedangnya bagaikan kilat menusuk dan menyabet
orang-orang musyrik yang hendak mengerumuni Rasul bagaikan belalang memenuhi
medan pertempuran ….
Marilah kita dengarkan Abu Bakar Shiadiq r.a. menggambarkan
keadaan medan tempur kala itu: Kata Aisyah:
Bila disebutkan perang Uhud, maka Abu Bakar selalu berkata: “Itu
semuanya adalah hari Thalhah . . . ! Aku adalah orang yang mula-mula
mendapatkan Nabi saw., maka berkatalah Rasul kepadaku dan kepada Abu Ubaidah
ibnul Jarrah: “Tolonglah saudaramu itu . . . . (Thalhah)!” Kami lalu
menengoknya, dan ternyata pada sekujur tubuhnya terdapat lebih dari tujuh
puluh luka berupa tusukan tombak, sobekan pedang dan tancapan panah, dan
ternyata pula anak jarinya putus . . . maka kami segera merawatnya dengan
baik”.
Di semua medan tempur dan peperangan Thalhah selalu berada di
barisan terdepan mencari keridlaan Allah dan membela bendera Rasulnya. Thalhah
hidup di tengah-tengah jama’ah Muslimin, mengabdi kepada Allah bersama mereka yang
beribadat, dan berjihad pada jalan-Nye bersama mujahidin yang lain. Dengan
tangannya dikukuhkanlah bersama kawan-kawan yang lain tiang-tiang Agama yang
baru ini, Agama yang akan mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya
yang terang benderang ….
Dan bila ia telah melaksanakan haq Tuhannya, ia pergi berusaha
di muka bumi, mencari keridaan Allah, dengan mengembangkan perniagaannya yang
memberi laba, dan usaha-usaha lain yang membawa hasil. Thalhah r.a. adalah
seorang Muslim yang terbanyak hartanya dan paling berkembang kekayaannya ….
Semua harta bendanya dipergunakannya untuk berkhidmat kepada Agama Islam, yang
benderanya dipanggulnya, bersama Rasulullah saw . . . . Dinafqahkannya hartanya
tanpa batas . . . dan oleh sebab itu pula Allah menambahkan untuknya secara tak
berhingga pula.
Rasulullah saw. memberinya gelar “Thalhah si Baik Hati atau
“Thalhah si Pemurah” dan “Thalhah si Dermawan”, sebagai pujian atas
kedermawanannya yang melimpah-limpah. Dan setiap kali ia mengeluarkan hartanya
sebegitu banyak, maka ternyata
Allah yang Maha Pemurah menggantinya berlipat ganda.
Istrinya Su’da bin Auf menceriterakan kepada kita, katanya:
“Suatu hari saya menemukan Thalhah berdukacita, saya bertanya kepadanya: “Ada
apa dengan kanda … ?”
Maka jawabnya: “Soal harta yang ada padaku ini semakin banyak
juga, hingga menyusahkanku dan menyempitkanku . . !” Kataku: “Tidak jadi soal,
bagi-bagikan saja … !” Ia lalu berdiri memanggil orang banyak, kemudian
membagi-bagikannya kepada mereka, hingga tidak ada yang tinggal lagi walau satu dirham pun. . . .
Di suatu saat setelah ia menjual sebidang tanah dengan harga
yang tinggi, maka dilihatnya tumpukan harta, lalu mengalirlah air matanya,
kemudian katanya: “Sungguh, bila seseorang dibebani harta yang begini
banyaknya dan tidak tahu apa yang akan terjadi, pasti akan mengganggu
ketenteraman ibadah kepada Allah . . . !” Kemudian dipanggilnya sebagian
shahabatnya dan bersama-sama mereka membawa hartanya itu berkeliling melalui
jalan-jalan kota Madinah dan rumah-rumahnya sambil membagi-bagikannya sampai
Siang sehingga tak ada pula yang tinggal lagi walau satu dirham pun ….
Jabir bin Abdullah menggambarkan pula kepemurahan Thalhah dengan
berkata: “Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih dermawan dengan
memberikan hartanya yang banyak tanpa diminta lebih dulu, daripada Thalhah bin
Ubaidillah …!” Ia adalah seorang yang paling banyak berbuat baik kepada
keluarga dan kaum kerabatnya; ditanggungnya nafqah mereka semua sekalipun
demikian banyaknya . . . . Mengenai itu dikatakan orang tentang dirinya: “Tak
seorang pun dari Bani Taim yang mempunyai tanggungan, melainkan dicukupinya
perbelanjaan keluarganya. Dinikahkannya anak-anak yatim mereka, diberinya
pekerjaan keluarga mereka dan dilunasinya hutang-hutang mereka …. !.
As-Sa’ib bin Zaia, lain pula ceriteranya tentang Thalhah: “Aku
telah menemui Thalhah baik dalam perjalanan maupun waktu menetap, maka tak
pernah kujumpai seseorang yang lebih merata kepemurahannya, baik mengenai uang
atau makanan daripada Thalhah . . .!”
Timbul fitnah yang terkenal dalam masa Khilafat Utsman r.a.
Thalhah menyokong alasan mereka yang menentang Utsman dan membenarkan sebagian
besar tuntutan mereka mengenai perubahan dan perbaikan …. Tetapi dengan
pendirian itu, apakah ia mengajak orang membunuh Utsman atau ia merestuinya .
. . ? Oh, seandainya ia tahu bahwa fitnah itu akan berlarut-larut dan membawa
kepada permusuhan dan saling menuduh serta menimbulkan dendam kebencian yang
menyala-nyala hingga akhirnya jatuh qurban menemui ajalnya “Dzun Nurain” Utsman
bin ‘Affan dalam peristiwa berdarah dan kejam itu ….
Kita katakan: “Seandainya ia mengetahui bahwa fitnah itu akan
berakhir dengan pembunuhan seperti itu, pastilah ia akan menentangnya bersama
shahabat-shahabat yang mula-mula menyokong, karena anggapan dan dugaan bahwa
gerakan itu hanyalah sebagai gerakan perbaikan dan peringatan semata tidak
lebih … !”
Maka pendirian Thalhah ini berubah menjadi kemelut hidupnya,
yakni sesudah terjadinya cara kekerasan dan kekejaman di mana Utsman dikepung
lalu dibunuh orang ….
Tak lama setelah Imam Ali menerima bai’at dari Kaum Muslimin di
Madinah di antaranya Thalhah dan Zubair, keduanya telah meminta izin pergi
melaksanakan ‘umrah ke Mekah. Dari Mekah mereka menuju Bashrah dan di sana
telah berhimpun banyak kekuatan yang hendak menuntutkan bela kematian Utsman
….
“Waq’atul Jammal” atau peristiwa perang Berunta adalah perang,
di mana bertempur dua pasukan, yang satu menuntut bela atas terbunuhnya Utsman
dan yang lain pasukan pemerintah di bawah Khalifah Ali ….
Adapun Imam Ali dalam memikirkan situasi sulit yang sedang
melanda Agama Islam dan Kaum Muslimin, timbullah murung hatinya, melelehlah air
matanya, dan terdengar isak tangisnya . . .!!
Ia telah dipaksa untuk bertindak keras. Dalam kedudukannya
selaku Khalifah Muslimin, tak ada jalan lain, dan tidak sepantasnya ia
bersikap lunak terhadap pembangkangan atas pemerintahan, atau terhadap setiap
pemberontakan bersenjata melawan Khalifah yang telah dikukuhkah syari’at.
Di kala ia bangkit untuk memadamkan pemberontakan semacam ini,
maka ia selalu mencari jalan untuk menghindarkan tertumpahnya darah
saudara-saudaranya, para shahabat dan teman-temannya, para pengikut Rasul yang
seagama, yaitu mereka yang semenjak lama telah berperang bersamanya melawan
tentara syirik, menerjuni pertempuran bahu-membahu di bawah bendera tauhid yang
mempersatukan mereka sebagai satu keluarga, bahkan menjadikan mereka sebagai
saudara kandung yang saling membela.
Bencana apakah ini . . . ? Dan ujian sulit apa lagi yang lebih
dari itu . . . ? Dalam mencari jalan ke luar dari bencana ini, dan untuk
menjaga jangan sampai tertumpah darahnya Muslimin, Imam Ali selalu
mempergunakan setiap cara yang dapat dipakai dan harapan yang dapat diandalkan.
Tetapi orang-orang yang dahulu pernah menjadi intrik-intrik Romawi dan
kekaisaran Persi yang dahulu telah menemui kehancurannya di saat kejayaan Islam
di bawah Khalifah Utsman nan bijaksana, dengan sikap munafik telah menyebar
luaskan fitnah dan hasutan, maka kekalutan tambah menjadi-jadi.
Ali menangis mengucurkan air mata sewaktu ia melihat Ummul
Mu’minin Aisyiah dalam sekedup untanya, bertindak mengepalai balatentara yang
hendak memeranginya . . . . Dan ketika dilihatnya pula Thalhah dan Zubair,
pembela-pembela Rasulullah itu berada di tengah-tengah pasukan, Ali lalu
memanggil Thalhah dan Zubair agar keduanya muncul menghadapnya; keduanya pun
tampillah hingga leher kuda-kuda mereka bersentuhan, Ali berkata kepada
Thalhah: “Hai Thalhah, pantasklah engkau membawa-membawa istri Rasulullah untuk
berperang, sedangkan istrimu sendiri kau tinggalkan di rumah . . . !’ Kemudian
katanya kepada Zubair: “Hai Zubair, aku minta kau jawab karena Allah! Tidakkah
engkau ingat, di suatu hari Rasulullah lewat di hadapanmu sedang ketika itu
kita sedang berada di tempat Anu. Beliau berkata kepadamu: “Wahai Zubair,
tidakkah engkau cinta kepada Ali. . . !’ Maka jawabmu: “Masa kan aku tidak akan
cinta kepada saudara sepupuku, anak bibi dan anak pamanku, serta orang yang
satu Agama denganku . . . !’ Waktu itu beliau berkata lagi: “Hai Zubair demi
Allah, bila engkau memeranginya, jelas engkau berlaku dhalim kepadanya . . . !”
Waktu itu berkatalah Zubair r.a.: -“Yah,
sekarang aku ingat, hampir aku melupakannya! Demi Allah aku tak akan
memerangimu … !”
Thalhah dan Zubair menarik diri dari perang saudara ini
Mereka menghentikan perlawanan, segera setelah mengetahui
duduk persoalan, dan demi melihat Ammar bin Yasir berperang di fihak Ali.
Mereka teringat akan sabda Rasulullah saw. kepada Ammar: “Yang
akan membunuhmu ialah golongan orang durhaka . .. !”Seandainya Ammar terbunuh
dalam peperangan yang disertai Thalhah ini, tentulah ia termasuk golongan orang
yang durhaka … !
Thalhah dan Zubair mengundurkan diri dari peperangan, dan mereka
terpaksa membayar harga pengunduran itu dengan nyawa mereka. Tetapi mereka
beruntung dapat menemui Allah mereka dengan hati yang senang dan tenteram,
disebabkan karunia yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka, berupa petunjuk
dan fikiran yang benar ….
Adapun Zubair ia telah diikuti seorang laki-laki bernama Amru
bin Jarmuz yang membunuhnya di kala ia sedang lengah, yakni sewaktu ia sedang
bershalat … ! Dan mengenai Thalhah, ia dipanah oleh Marwan bin Hakam yang
menghabisi hayatnya….
Peristiwa terbunuhnya Utsman telah mendatangkan keresahan pada
jiwa Thalhah, hingga sebagaimana telah kami katakan dahulu menyebabkan kemelut
hidupnya. Padahal, ia tidaklah ikut dalam pembunuhan, tidak ‘pula menghasut orang untuk
membunuhnya, ia hanya membela orang yang menentang Utsman, di waktu belum ada
tanda-tanda bahwa penentangan itu akan berlanjut dan berlarut-larut hingga
berubah menjadi kejahatan atau tindak pidana yang kejam …
Dan sewaktu ia ikut mengambil bagian dalam perang Jamal bersama
pasukan yang menentang Ali bin Abi Thalib menuntut bela kematian Utsman, maka tujuannya
dengan tindakan itu, ialah untuk menebus dosa yang akan membebaskannya dari
tekanan bathinnya.
Sebelum memulai pertempuran, dengan suara yang tersekat oleh air
mata, ia berdu’a dan merendahkan diri, katanya: “Ya Allah ambillah sekarang
balasan kesalahanku terhadap Utsman hingga Engkau ridha kepadaku . . . . “.
Maka tatkala ia ditemui Ali seperti yang telah kita ceriterakan, kata-kata Ali
telah menerangi hatinya, sehingga bersama Zubair mereka melihat kebenaran
lalu meninggalkan medan perang.
Tetapi mati sebagai syahid telah disediakan untuk mereka ber
dua! Benar . . . ! Mati syahid adalah hak Thalhah yang dikejarnya dan mengejar
dirinya, di mana pun ia berada … karena bukanlah Rasulullah telah bersabda
tentang hal ini: “Inilah dia orang yang akan mengurbankan nyawanya! Siapa yang
ingin menyaksikan seorang syahid yang berjalan di muka bumi, maka lihatlah
Thalhah … !”
Karena itulah ia menemukan syahid, tempat kembalinya yang agung
dan yang telah ditentukan, dan dengan demikian berakhir pula perang Jamal . . .
. Ummul Mu’minin Aisyiah menyadari bahwa ia telah tergesa-gesa dalam menghadapi
persoalan itu, karena itu ditinggalkannya Bashrah menuju Baitul Haram dan
terus ke Madinah, tak hendak campur tangan lagi dalam pertarungan itu. la
dibekali oleh Imam Ali dalam perjalanannya dengan segala perbekalan dan
diiringi penghormatan ….
Sewaktu Ali meninjau orang-orang yang gugur sebagai syuhada di
medan tempur, semua mereka dishalatkannya, baik yang bertempur di fihaknya
maupun yang menentangnya. Dan tatkala selesai memakamkan Thalhah dan Zubair, ia
berdiri melepas keduanya dengan kata-kata indah dan mulia, yang disudahinya
dengan kalimat-kalimat berikut ini:
“Sesungguhnya aku amat mengharapkan agar aku bersama Thalhah dan
Zubair dan Utsman, termasuk di antara orang-orang yang difirmankan Allah:
“Dan Kami cabut apa yang bersarang dalam dada mereka dari kebencian sebagai layaknya
orang bersaudara, dan di atas
pelaminan mereka bercengkerama berhadap- hadapan“.(Q.S. 15 al-Hijr: 47)
Kemudian disapunya makam mereka dengan pandangan kasih sayang,
yang keluar dari hati bersih dan penuh belas kasih, seraya katanya:
“Kedua telingaku ini telah mendengar sendiri sabda Rasulullah
saw. Thalhah dan Zubair menjadi tetanggaku dalam surga…. “.
60 Sahabat Nabi: Thalhah bin Ubaidillah, Pahlawan Perang Uhud
Reviewed by Himam Miladi
on
May 09, 2014
Rating:
No comments:
Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini