60 Sahabat Nabi: Umeir bin Sa'ad, Tokoh Yang Tak Ada Duanya


Masih ingatkah anda sekalian akan Sa’id bin Amir . .. ? Yaitu seorang zahid dan abid yang selalu melindungkan dirinya kepada Allah, yang telah diminta oleh Amirul Mu’minin Umar untuk menjadi gubernur dan kepala daerah Syria. . . ?
Pada bagian pertama dari buku ini telah kita bicarakan dan kita saksikan hal-hal mena’ajubkan mengenai keshalehan, ketinggian akhlak dan sifat zuhudnya … !
Nah, sekarang pada lembaran-lembaran ini kita akan ber­temu pula dengan saudara, bahkan saudara kembarnya, baik dalam keshalehan, maupun dalam ketinggian akhlak dan sifat zuhud itu, begitupun dalam kebesaran jiwa yang jarang tan­dingannya … !

la adalah Umeir bin Sa’ad! Kaum Muslimin memberinya gelar “Tokoh yang tak ada duanya”. Cukup kiranya meyakin­kan, bahwa gelar ini diberikan secara bulat oleh para shahabat Rasul yang sama-sama mempunyai kelebihan, pengertian dan cahaya kebenaran …. !

Ayahnya Sa’ad al-Qari r.a. ikut menyertai Rasulullah dalam perang Badar dan peperangan-peperangan lain sesudahnya, serta setia memegang janjinya, sampai ia kembali menemui Allah karena gugur sebagai syahid di pertempuran Qadiaiah melawan Perri. Dibawanya anaknya sewaktu datang kepada Rasulullah hingga anak itu pun turut bai’at dan masuk Islam ….
Semenjak Umeir memeluk Islam, dan menjadi ahli ibadah yang tidak berpisah dari mihrab mesjid, ia meninggalkan segala kemewahan dan pergi bernaung ke bawah sakinah atau ke­tenangan.

Sukarlah anda akan menemukannya di barisan pertama . . . , kecuali pada jama’ah shalat, memang ia mempertahankan shaf yang pertama itu untuk mengejar pahala barisan muka … ; dan di medan jihad, ia selalu bergegas mengejar barisan terdepan, karena ia selalu mendambakan diri untuk mendapatkan syahid. Selain dari hal-hal seperti itu, maka ia tetap tekun memperbanyak amal kebaikan, kepemurahan, keutamaan serta ketaqwa­an….

Ia seorang yang cepat menyadari kesalahan dan sering menangisi dosanya . . . ! Seorang yang tiada terpikat oleh harta dunia dan selalu mencari jalan kembali kepada Tuhannya …. Seorang musafir yang merindukan pulang kepada Allah, dalam setiap perjalanan dan di setiap pemukiman ….

Sungguh, Allah telah menjadikan hati para shahabat lainnya kasih-sayang kepadanya, hingga ia pun menjadi buah hati dan tumpuan kasih mereka. Semua itu karena kekuatan imannya, kebersihan jiwanya, ketenangan jalan hidupnya, keharuman akhlaqnya, dan kecemerlangan penampilannya, menerbitkan kegembiraan dan kenangan bagi setiap orang yang menggauli atau melihatnya. Dan tak seorang atau satu pun yang diutama­kannya lebih dari Agamanya . . . !

Pada suatu hari didengarnya Jullas bin Suwaid bin Shamit, yang masih jadi kerabatnya, sedang berbincang-bincang di rumah­nya, katanya: “Seandainya laki-laki ini memang benar, tentulah kita ini lebih jelek dari keledai-keledai … !” Yang dimaksudkan dengan laki-laki di sini ialah Rasulullah saw. sedang Jullas sendiri termasuk di antara orang-orang yang memeluk Islam karena terbawa-bawa keadaan.

Sewaktu Umeir bin Sa’ad mendengar kata-kata tersebut, bangkitlah kemarahan dan kebingungan dalam hatinya yang biasa tenang dan tenteram itu. Kemarahan disebabkan oleh seorang yang telah mengaku menganut Islam berani merendah­kan Rasul dengan kata-kata yang keji itu …  Dan kebingungan karena fikirannya berjalan cepat tentang tanggung jawabnya terhadap apa yang telah didengarnya dan tak dapat diterimanya . . .. Akan disampaikannyalah segala apa yang telah didengarnya kepada Rasulullah saw.? Bagaimana caranya, padahal ia harus bersifat jujur dalam mengemukakannya .. . ? Ataukah ia akan berdiam diri saja lalu memendam di dalam dadanya semua yang didengarnya . . . ? Bagaimana …Dan di mana letak kebenaran penunaian dan cinta setianya kepada Rasul, yang telah membimbing mereka dari kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan ? Tetapi kebingungannya tidaklah berjalan lama, karena jiwa yang tulus selalu menemukan jalan keluar bagi penyelesaiannya . . . ! Dan dengan segera Umeir berubah menjadi seorang laki-laki perkasa dan Mu’min yang taqwa . . . , maka ia pun menghadapkan pembicaraan kepada Jullas bin Suwaid, katanya: “Demi Allah, hai Jullas! Engkau adalah orang yang paling kucintai, dan yang paling banyak berjasa kepadaku, dan yang paling tidak kusukai akan ditimpa sesuatu yang tidak menyenangkan . . . ! Sungguh, engkau telah melontarkan sesuatu ucapan, seandainya ucapan itu kusebarkan dan sumbernya daripadamu, niscaya akan menyakitkan hatimu. Tetapi andainya kubiarkan saja kata-kata itu, tentulah Agamaku akan binasa padahal haq Agama itu lebih utama ditunaikan. Dari itu aku akan menyampaikan apa yang kudengar kepada Rasul­ullah … !”

Demikianlah Umeir telah memenuhi keinginan hatinya yang shaleh secara sempurna …. Pertama ia telah menunaikan haq majlis sesuai dengan amanat, dan dengan jiwanya yang besar membebaskan diri dari berperan sebagai orang yang mendengar­-dengarkan kata orang lalu menyampaikannya kepada orang lain. Kedua itu telah menunaikan haq Agamanya yaitu dengan menyingkapkan sifat kemunafikan yang meragukan. Dan ketiga ia telah memberi kesempatan kepada Jullas untuk kembali dari kesalahan dan memohon ampun kepada Allah atas keke­liruannya, yakni sewaktu secara terus terang dikatakannya kepadanya, bahwa persoalan ini akan disampaikannya kepada Rasulullah saw. Seandainya ia sedia bertaubat dan memohon ampun, maka hati Umeir akan lega karena tak perlu lagi menerus­ kannya kepada Rasulullah saw.

Tetapi rupanya Jullas telah dipengaruhi betul-betul oleh rasa sombong dengan dosanya itu, dan tidak ada perasaan menyesal sedikitpun atau keinginan untuk bertaubat. Hingga ter­paksalah Umeir meninggalkan mereka, katanya: “Akan kusampaikan kepada Rasulullah sebelum Tuhan menurunkan wahyu yang melibatkan diriku dengan dosamu …
Rasulullah setelah mendapat laporan dari Umeir mengirimkan orang mencari Jullas, tetapi setelah Jullas dihadapkan ia mengingkari katanya itu, bahkan ia mengangkat sumpah palsu atas nama Allah . . . ! Tetapi ayat al-Quran telah datang memisahkan antara yang haq dengan yang bathil:
“Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengatakan sesuatu (yang menyakitkan hatimu). Padahal mereka telah mengucapkan kata-kata kufur, dan mereka telah kafir sesudah Islam, serta mereka mencita-citakan sesuatu yang tak dapat mereka capai …. Dan tak ada yang menimbulkan  dendam kemarahan mereka hanyalah lantaran Allah dan Rasulnya telah menjadikan mereka berkecukupan disebabkan karunia-Nya . . . . Seandainya mereka bertaubat, maka itulah yang terlebih baik bagi mereka, dan seandainya mereka berpaling, Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih di dunia dan akhirat. Mereka tidak akan mempunyai pembela maupun penolong di muka bumi … ! “(Q.S. 9 at-Taubah:74)

Dengan turunnya ayat Quran ini, terpaksalah Jullas meng­akui pembicaraannya, dan meminta ampun atas kesalahannya, teristimewa di kala diperhatikannya ayat yang mulia yang memutuskan menghinakannya, tetapi di saat yang sama menjanjikan rahmat Allah seandainya ia bertaubat dan mencabut kata-kata­nya: “Maka seandainya mereka bertaubat, itulah yang terlebih baik untuk mereka… !”
Dan karenanya tindakan Umeir ini menjadi kebaikan dan berkat kepada Jullas, hingga ia bertaubat dan setelah itu ke­Islamannya menjadi baik . . . . Nabi memegang telinga Umeir dan berkata kepadanya sambil memuaskan hatinya dengan pujian-pujian:
“Hai anak muda, sungguh nyaring telingamu . . . dan Tuhanmu membenarkan tindakanmu … !”

Aku (penulis) sungguh beruntung sekali dapat menemukan Umeir untuk pertamakali, semenjak aku menulis buku mengenai Umar bin Khatthab mulai empat tahun yang lalu. kisahnya bersama Amirul Mu’minin Umar sungguh mempesonakanku, hingga rasanya tak ada lagi cerita lain yang lebih mempesona dari itu . . . . Nah, cerita inilah sekarang yang akan kupaparkan kepada anda sekalian, agar anda ikut menyaksikan suatu kebesaran istimewa dalam kecemerlangan yang mengagumkan.

Anda tahu bahwa Amirul Mu’minin Umar r.a. selalu berhati-­hati memilih para gubernurnya, seolah-olah ia memilih orang-­orang yang sama mutunya dengan dirinya …. la selalu memilih­nya dari orang-orang yang zuhud dan shaleh, dan orang-orang yang dipercaya dan jujur . . . yang tidak mengejar pangkat atau kedudukan bahkan tak hendak menerima jabatan tersebut kecuali karena Amirul Mu’minin memaksanya untuk men­jabatnya ….

Sekalipun pandangan tajam dan pengalamannya luas, namun dalam memilih gubernur-gubernur dan pembantu-pembantu utamanya ini beliau selalu menimbangnya dalam waktu yang panjang dan mengamatinya dengan teliti. Beliau selalu meng­ulang-ulang pesan atau fatwanya yang mengesankan itu sebagai berikut:
“Aku menginginkan seorang laki-laki bila ia berada dalam suatu kaum, padahal ia adalah rakyat biasa, tetapi menonjol seolah-olah ia lah pemimpinnya .. .. Dan bila ia berada di antara mereka sebagai pemimpinnya, ia menampakkan diri sebagai rakyat biasa . . . . Aku menghendaki seorang gubernur yang tidak membedakan dirinya dari manusia kebanyakan dalam soal pakaian, makanan dan tempat tinggal . . . . Di­tegakkannya shalat di tengah-tengah mereka . . . berbagi rata dengan mereka berdasarkan yang haq , dan tak pernah ia menutup pintunya untuk menolak pengaduan mereka … !”

Maka berdasarkan norma-norma dan peraturan yang keras inilah, ia di suatu hari memilih Umeir bin Sa’ad untuk menjadi gubernur di Homs. Umeir berusaha menolak dan melepaskan diri dari jabatan tersebut tetapi sia-sia, karena Amirul Mu’minin tetap mengharuskan dan memaksanya untuk menerimanya ….
Umeir pun memohon kepada Allah petunjuk dengan shalat istikharah, dan kemudian melaksanakan tugas kewajibannya …. Dan setelah berjalan setahun masa jabatannya di Homs itu, tak ada hasil pemungutan pajak yang sampai ke Madinah …. Bah­kan tak ada sepucuk surat pun yang datang kepada Amirul Mu’minin daripadanya ….
Amirul Mu’minin memanggil penulisnya, katanya: “Tulislah surat kepada Umeir agar ia datang pada kita!”
Maka di sinilah saya akan meminta keidzinan anda untuk melaporkan pertemuan di antara Umar dan Umeir, sebagaimana tercantum dalam buku saya “Di hadapan Umar”, sebagai berikut: “Di suatu hari jalan-jalan kota Madinah menyaksikan seorang laki-laki dengan rambut kusut dan tubuh berdebu. Ia diliputi kelelahan karena berjalan jauh. Langkah-langkahnya seakan‑akan tercabut dari tanah disebabkan lamanya kepayahan dalam perjalanan, dan tenaganya yang sudah habis terkuras . . . . Di atas pundak kanannya terdapat buntil kulit dan sebuah piring … sedang di pundak kirinya kendi beriai air … ! Ia bertelekan pada sebuah tongkat, yang tidak akan terasa berat bila dibawa oleh orang yang kurus dan lemah . . . . Ia menghampiri majlis Umar dengan langkah yang gontai, lalu ucapnya:

 “Assalamu­’alaikum ya Amirul Mu’minin . . . !” Umar membalas salamnya, kemudian menanyainya. Hatinya sedih melihatnya dalam ke­adaan payah dan letih itu. “Apa kabar hai Umeir?” 
Jawab Umeir: “Keadaanku sebagaimana yang anda lihat sendiri . . . . Bukankah anda melihat aku berbadan sehat dan berdarah bersih, dan dunia di tanganku yang dapat kukendalikan semauku . . .” "Apa yang kamu bawa itu"? "Yang kubawa ialah buntil atau bungkusan tempat membawa bekal . .. , piring tempat aku makan, kendi tempat air minum dan wudlu, kemudian tongkat untuk bertelekan dan guna melawan musuh jika datang menghadang .. .. Demi Allah, dunia ini tak lain hanyalah pengikut bagi bekal kehidupanku . . . ! — Apakah anda datang dengan berjalan kaki? — Benar! — Apa tak ada orang yang mau mem­berikan binatang kendaraannya untuk kamu tunggangi . . . ? — Mereka tidak menawarkan dan aku tidak pula memintanya. —Apa yang kamu lakukan mengenai tugas yang kami berikan padamu? — Aku telah mendatangi negeri yang anda titahkan itu. Orang-orang shaleh di antara penduduknya telah kukumpulkan. .Kuangkat mereka mengurus pemungutan pajak dan kekayaan negara. Bila telah terkumpul, kupergunakan. kembali pada tempatnya yang wajar untuk kepentingan mereka. Dan kalau ada kelebihan, tentulah sudah kukirimkan ke sini … ! — Kalau begitu kau tak membawa apa-apa untuk kami? — Tidak … !”

Maka berserulah Umar dalam keadaan bangga dan berbaha­gia: “Tetapkan kembali jabatan gubernur bagi Umeir yang dijawab oleh Umeir dengan mengelakkan diri secara bersungguh­ sungguh, katanya: “Masa yang demikian itu telah berlalu … aku tak hendak menjadi pegawai anda lagi, atau pegawai pejabat setelah anda … !”
Cerita ini bukanlah skenario yang kami atur sendiri, dan bukan pula cerita yang dibuat-buat … tetapi benar-benar peristiwa sejarah yang pada suatu masa pernah disaksikan oleh bumi Madinah selaku ibu kota Islam yakni di saat-saat kejayaan dan kebesarannya. Maka dari tipe golongan manakah tokoh-tokoh utama dan luar biasa itu … ?

Umar r.a. selalu berang-angan dan mengatakan: “Aku ingin sekali mempunyai beberapa orang laki-laki yang seperti Umeir akan jadi pembantuku untuk melayani Kaum Muslimin .. . . “. Sebabnya, Umeir yang dilukiskan oleh para shahabatnya sebagai “tokoh yang tak ada duanya” benar-benar telah meningkat naik dan dapat mengatasi kelemahan dirinya selaku manusia berhadapan dengan harta benda dunia dan kehidupan yang penuh dengan onak dan duri ini …. Di waktu ia diharus­kan melaksanakan pemerintahan dan pemimpin, maka keduduk­annya yang tinggi itu hanya semakin menambah sifat wara’ dari orang suci ini, dengan perkembangan, pertumbuhan dan kecemerlangan ….

Ketika ia menjabat sebagai gubernur di Homs itu ia telah menggariskan tugas kewajiban seorang kepala pemerintahan Islam dalam kata-kata yang selalu diutarakannya dalam meng­gembleng Kaum Muslimin dari atas mimbar. Kata-kata itu demikian bunyinya:
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Islam mempunyai dinding teguh dan pintu yang kukuh . . . . Dinding Islam itu ialah keadilan . . . sedang pintunya ialah kebenaran . . . . Maka apabila dinding itu telah dirobohkan, dan pintunya didobrak orang, Islam pun akan dapat dikalahkan. Islam akan senan­tiasa kuat selama pemerintahannya kuat. Kekuatan peme­rintah tidak terletak dalam angkatan perang, atau keperkasa­an angkatan kepulisian . . . . Tetapi dalam realita pelaksana, melaksanakan segala ketentuan dengan jujur dan benar disertai menegakkan keadilan . . !”

Dan sekarang dalam kita melepas Umeir dan menghor­matinya dengan penuh kebesaran dan hati yang khusyu’, marilah kita menundukkan kepala dan kening kita: —
Bagi sebaik-baik guru, yaitu Nabi Muhammad  .
Bagi ikutan orang-orang taqwa, yakni Nabi Muhammad
Bagi pembawa rahmat Allah yang dilimpahkan kepada umat manusia sepanjang hayatnya
. Semoga shalawat dan salam-Nya terlimpah kepadanya – . – - Begitu pun ucapan selamat dan berkah-Nya . . . . Semoga ter­limpah pula salam atas keluarganya yang suci . .. . Begitupun terlimpah atas para shahabatnya yang terpuji …


60 Sahabat Nabi: Umeir bin Sa'ad, Tokoh Yang Tak Ada Duanya 60 Sahabat Nabi: Umeir bin Sa'ad, Tokoh Yang Tak Ada Duanya Reviewed by Himam Miladi on May 12, 2014 Rating: 5

No comments:

Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini

Powered by Blogger.