Dari Hujung Galuh Sampai Ke Surabaya

Dengan perasaan tak menentu, Meng Khi (ada yang menulis, Meng Qi) pulang kembali ke negerinya. Utusan kaisar Kubilai khan ini merasa harga diri dan bangsanya seakan ditampar, dicampakkan, dihina, direndahkan dan diinjak-injak oleh Kertanegara, raja Singashari. Dengan muka penuh luka dan daun telinga terpotong, Meng Khi melaporkan kegagalan misinya di Jawadwipa. Pesan yang dibawa Meng Khi untuk Kubilai Khan sangat jelas, Singashari menolak untuk tunduk dan patuh kepada kekaisaran Mongol ! Melihat utusannya diperlakukan dengan begitu keji oleh Kertanegara, amarah Kubilai Khan langsung memuncak. Segera dia memerintahkan ekspedisi besar-besaran untuk kembali ke Jawadwipa. Tujuan ekspedisi ini juga sangat jelas, memberi palajaran, menghukum dan menaklukkan Kertanegara !

Kubilai Khan mengutus tiga panglima perangnya sekaligus untuk memimpin ekspedisi besarnya ini, Shih Pi (ada yang menulis, Shin Bi), Ike Mese (ada yang menulis, Yikomusu) dan Kau Hsing (ada yang menulis, Gao Xing). Awal tahun 1293, armada prajurit Mongol merapat di palabuhan Tuban (ada yang menulis, sempat merapat di Rembang). Dari Tuban, prajurit Mongol berpencar. Ada yang masuk ke Singshari lewat darat, ada yang lewat pelabuhan Ujung Galuh (ada yang menulis, Hujung Galuh).
Ketika pasukan Mongol dalam perjalanan menuju Jawadwipa, di Singashari terjadi perebutan kekuasaan. Kertanegara ditaklukkan oleh Jayakatwang dan mengangkat dirinya sebagai raja baru Singashari. Raden Wijaya, salah satu menantu Kertanegara, mengungsi ke hutan Tarik (sekarang daerah Trowulan, Mojokerto) untuk menyusun kekuatan merebut singgasana Jayakatwang. Meskipun penguasa Singashari sudah berpindah dari Kertanegara ke Jayakatwang, hal ini tidak menyurutkan niat pasukan Mongol untuk memberi pelajaran raja Singashari, siapa pun dia. Hal ini dimanfaatkan oleh Raden Wijaya. Raden Wijaya mengajak pasukan Mongol “berkoalisi” untuk menyerang Jayakatwang, dengan imbalan -jika berhasil- Raden Wijaya akan tunduk kepada kekaisaran Mongol. Pasukan Mongol setuju dengan ajakan Raden Wijaya. Akhirnya pasukan koalisi dengan cepat dapat mengalahkan Jayakatwang. Merasa tujuan misinya ke Jawadwipa telah berhasil, pasukan Mongol merayakan kemenangannya di Ujung Galuh. Di tengah kemeriahan pesta kemenangan tersebut, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh serangan mendadak dari pasukan Raden Wijaya. Serangan mendadak ini membuat pasukan Mongol kocar-kacir dan akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Mongol. Dengan perginya pasukan Mongol, Raden Wijaya muncul sebagai penguasa baru Jawadwipa dan mendirikan kerajaan Majapahit.

Menurut G. Coedes dalam bukunya “The Indianized State of South East Asia”, pengusiran pasukan Mongol ini terjadi pada tanggal 31 Mei 1293. Mungkin catatan inilah yang dijadikan dasar penentuan hari jadi kota Surabaya. Lalu dari mana asalnya nama Ujung Galuh berubah menjadi Surabaya ?

Beragam versi mengenai asal usul nama Surabaya ini. Dalam bukunya yang berjudul “Asal Usul Surabaya”, (penerbit Bintang Indonesia, Jakarta) MB Rahimsyah AR menulis, antara lain :

Surabaya berasal dari binatang hiu Sura dan buaya Baya yang memperebutkan wilayah kekuasaan masing-masing. Hiu menginginkan berkuasa di air dan buaya berkuasa di darat. Perebutan kekuasaan terjadi di sungai. Hiu menganggap sungai merupakan wilayah kekuasaannya karena sungai sama dengan air, sedangkan buaya menganggap sungai ada di daratan. Karena sama-sama tidak mau mengalah, maka terjadilah pertarungan yang sangat seru antara hiu dan buaya. Pertarungan diakhiri dengan kembalinya hiu ke laut lepas.
Sura berarti jaya atau selamat, sedangkan baya berarti bahaya. Selamat dari bahaya. Hal ini didasarkan pada peristiwa Ujung Galuh di atas. Raden Wijaya berhasil menyelamatkan tanah Jawadwipa dari bahaya penjajahan bangsa Mongol.
Terkait dengan nomor 2 di atas. Sura (ikan hiu) dilambangkan sebagai bahaya dari laut (pasukan Mongol) dan baya (buaya) dilambangkan sebagai prajurit Raden Wijaya yang berhasil mengusir pasukan Mongol.
Konon pada saat peperangan melawan pasukan Mongol tersebut terdapat dua orang prajurit Raden Wijaya yang bernama Jaka Sura dan Jaka Baya. Kedua prajurit tersebut sangat sakti dan beranggapan berkat kontribusi mereka berdualah pasukan Mongol berhasil diusir keluar Jawadwipa. Baik Jaka Sura dan Jaka Baya menganggap dirinya yang paling kuat dan sakti. Karena kesombongannya, oleh seorang tua yang sakti mereka berdua dikutuk, Jaka Sura berubah jadi ikan hiu dan Jaka Baya berubah jadi buaya. Hiu dan buaya itu akhirnya berkelahi sampai akhirnya keduanya mati.
Selain beberapa versi di atas, ada juga yang mengatakan bahwa kata Surabaya itu berasal dari gabungan kata Sura dan Baya, yang diartikan secara bebas sebagai Sura ing Baya (baca Suro ing Boyo) atau “berani menghadapi bahaya atau tantangan”.

Dalam bukunya yang berjudul “Menjelajahi Jaman Bahari Indonesia : Mitos Cura-Bhaya” (Balai Pustaka, 1983), Soenarto Timoer menuliskan bahwa nama Surabaya tidak bisa dilepaskan dari nama Hujung Galuh, karena perubahan nama menunjukkan suatu motif. Motif dapat pula menunjukkan perkiraan kapan perubahan itu terjadi. Bahwa Hujung Galuh itu adalah Surabaya yang sekarang dapat diteliti dan ditelusuri berdasarkan makna namanya, lokasi dan arti kedudukannya dalam percaturan negara.

Dilihat dari nama “Hujung” atau ujung tanah yang menjorok ke laut atau tanjung. Dapat dipastikan wilayah ini berada di tepi laut atau pantai. “Galuh” artinya emas. Dalam bahasa Jawa tukang emas dan pengrajin perak disebut “Wong Anggaluh” atau “Kemasan”. Dalam purbacaraka “Galuh” sama artinya dengan perak. Hujung Galuh atau Hujung Emas bisa juga disebut dengan Hujung Perak yang kemudian menjadi “Tanjung Perak” yang terletak di muara sungai atau kali emas (Kalimas). Kemungkinan besar Tanjung Perak sekarang itulah yang dulunya bernama Hujung Galuh. Prasasti Klagen juga menyebutkan bahwa Hujung Galuh sebagai jalabuhan atau tempat bertemunya pedagang antar pulau yang melakukan bongkar muat barang dengan perahu.

Sejak kapan nama Hujung Galuh berubah menjadi Surabaya ? Tidak ada yang bisa memastikan karena sampai sekarang belum ditemukan prasasti atau data otentik yang menyebutkan perubahan nama Hujung Galuh menjadi Surabaya. Mitos dan mistis sudah sejak lama berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Maka mitos cura-bhaya yang dikaitkan dengan nama Surabaya sekarang tentunya dapat dihubungkan pula dengan mitologi dalam mencari hari jadi kota Surabaya.

Bencana alam meletusnya gunung Kelud tahun 1334 membawa korban cukup banyak. Peristiwa ini mengakibatkan terjadinya perubahan di muara Sungai Brantas dan anak sungainya, Kalimas. Garis pantai Hujung Galuh bergeser ke utara. Kemudian timbul pikiran mistis yang mengingatkan kembali pada pertarungan penguasa lautan melawan penguasa daratan, hiu cura melawan buaya (bhaya). Dalam dunia mistis untuk mengakhiri pertarungan antara penguasa lautan dengan penguasa daratan, maka digabungkan namanya dalam satu kata Cura-bhaya atau Surabaya.

Bagaimana pun juga, mitos ikan hiu dan buaya yang sekarang menjadi lambang kota Surabaya, hanyalah merupakan sepercik versi lokal. Jadi mitos cura-bhaya hanya berlaku di Hujung Galuh. Cura-bhaya adalah nama baru pengganti Hujung Galuh sebagai wujud pujian kepada sang Cura mwang Bhaya, yang menguasai lautan dan daratan. Demikian tulis Soenarto Timoer.

Terlepas dari versi mana yang dianggap betul, yang jelas hari ini kota Surabaya merayakan hari jadinya.

“Selamat Merayakan Hari Jadi Yang ke 721, Surabaya. Semoga Dirgahayu”

sumber: kompasiana
Dari Hujung Galuh Sampai Ke Surabaya Dari Hujung Galuh Sampai Ke Surabaya Reviewed by Himam Miladi on May 30, 2014 Rating: 5

No comments:

Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini

Powered by Blogger.