AA Navis Dan Haji Saleh Menyentil Perilaku Ritual Ibadah Kita



Membaca novel religi “robohnya surau kami” bak membaca perilaku sebagian umat Islam tanah air. Bagaimana dengan cerdasnya AA Navis menciptakan tokoh H. Saleh sebagai gambaran dari realita kebanyakan umat Islam saat ini.

Digambarkan tokoh H. Saleh ialah tokoh yang religious dalam ritual (baca: Ibadah kepada Tuhan), tetapi kurang religious dalam sosial. Hari2-nya disibukkan dengan shalat, puasa sunnah, wirid dan baca Alquran. Sementara kemiskinan terhampar jelas di sekitarnya. Dan H. Saleh tak peduli dengan semua itu.

Kita banyak menemukan sosok individu seperti H. Saleh. Bukan tak mungkin H. Saleh adalah anda sendiri. Anda yang tekun dalam melaksanakan ritual saleh, tetapi melupakan ritual sosial.
Anda sibuk dengan ibadah kepada Tuhan, tetapi anda melupakan Ibadah kepada makhluk Tuhan. Anda boleh saja tertalar Alquran, tetapi anda tak mengamalkan nilai2 yang dikandung oleh Alquran.

Ketika agama menyuruh kita bersujud, sesungguhnya Tuhan ingin agar sujud tercermin dalam perilaku kita sehari-hari, yaitu merasa diri rendah. Takkala agama menyuruh kita berpuasa, sebenarnya agama menyuruh kita agar memiliki rasa keprihatinan terhadap sesama yang kurang mampu.

Seorang Rumi pernah mengatakan, bahwa Tuhan tak akan kalian temui di dalam masjid. Ucapan Rumi ini selaras dengan perkataan Bunda Teresa yang menyatakan “Tuhan hanya bisa ia temui saat mengusap orang2 yang kelaparan”.

Perkataan Rumi ini bukan menggampangkan syariat. Tapi Rumi menekankan agar ada keselarasan antara ritual saleh dengan ritual sosial. Seseorang, apapun agamanya, jangan pernah berharap surga Tuhan, bila ia tak memiliki keseimbangan perilaku, antara saleh dan sosial. Dan AA Navis dengan cerdasnya menangkap pesan Rumi ini, untuk Ia tuangkan ke dalam sebuah novel Religi “Robohnya Surau Kami”.

Bukankah Ali Syariati pada buku Haji-nya pernah berkata, “jika kita mengamati seluruh isi Alquran, niscaya kita akan menemukan bahwa yang terbanyak ialah penekanan pada kemanusian”. Dengan kata yang lain, Syariati menegaskan: Alquran 80 persen-nya berisi ritual sosial.
Rasulullah Muhammad SAW pun menegaskan, “Khoirun Nas Angfauhum Lin Nas”. Manusia yang terbaik ialah yang paling memberi manfaat kepada manusia lainnya. Beberapa hadist Nabi pun menegaskan betapa pentingnya ritual sosial yang harus diselaraskan dengan ritual ibadah individual. 

Sabda Nabi, “Aku sedang salat dan aku ingin memanjangkannya, tetapi aku dengar tangisan bayi, aku pendekkan salatku, karena aku menyadari kecemasan ibunya dengan tangisan anaknya” (HR. Bukhari & Muslim).

Dalam hadits lain juga Rasulullah mengingatkan para imam agar memperpendek salatnya bila di tengah jamaah ada orang yang sakit, orang lemah, orang tua, atau orang yang mempunyai keperluan.
Dengan hadits ini bisa kita simpulkan, bila ibadah individual bersamaan waktunya dengan urusan ibadah sosial yang penting, maka ibadah individual boleh diperpendek atau ditangguhkan, walaupun bukan untuk ditinggalkan.

Ibadah yang mengandung aspek sosial kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat individual perseorangan. Karena itu, salat jamaah lebih tinggi nilainya daripada salat munfarid (sendirian) dua puluh tujuh derajat menurut riwayat yang sahih dalam hadits Bukhari, Muslim.
Bila ibadah individual batal, maka tebusannya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan ibadah sosial. Contohnya, bila puasa tidak mampu dilakukan, maka menunaikan fidyah, yaitu memberi makanan bagi orang miskin harus dibayarkan.

Namun sebaliknya, bila kita melanggar ibadah sosial, maka aspek ibadah individualnya tidak bisa menutupinya. Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan salat tahajud. Orang-orang yang melakukan kezaliman tidak hilang dosanya dengan hanya membaca zikir atau wirid seribu kali.
Bahkan Rasulullah menegaskan bahwa ibadah individual tidak akan bermakna bila pelakunya melanggar norma-norma kesalehan sosial. “Tidak beriman kepadaku orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya kelaparan”, Dan tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahim”, demikian peringatan beliau.
Sedangkan dalam Al-Quran, orang-orang yang salat akan celaka, bila ia menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang-orang miskin, riya dalam amal perbuatan, dan tidak mau memberikan pertolongan kepada orang-orang lemah (Surat Al-Ma’un).

Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal kebajikan dalam bidang sosial kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungan ini, kita menemukan hadits yang senada yaitu, “Orang-orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang-orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah, dan seperti orang yang terus menerus salat malam dan terus menerus puasa” (HR. Bukhari & Muslim).
Nash-nash tersebut menunjukkan dengan transparan bahwa amal-amal kebajikan yang bersifat sosial kemasyarakatan, seperti menyantuni kaum fakir miskin, meringankan penderitaan orang lain, dan berusaha menuntut ilmu pengetahuan, mendapatkan ganjaran pahala yang lebih besar ketimbang ibadah-ibadah sunnah. Jadi dalam ajaran Islam, ibadah sosial memiliki nilai kemuliaan yang jauh lebih tinggi, besar, dan mulia ketimbang ibadah individual.

Tokoh Shaleh dalam “Robohnya Surau Kami” adalah cermin kebanyakan masyarakat kita yang cencerung mengutamakan keshalehan individu dan meninggalkan keshalehan sosial…

Jadi, sudahkah kita memberi manfaat kepada sesama makhluk Tuhan? Apapun manfaatnya, baik lidah, tangan maupun tindakan. Sehingga Nabi SAW dalam satu hadistnya pernah menegaskan: “Tidak akan masuk surga orang yang tidur nyenyak sementara tetangganya kelaparan di tengah malam”. Sudahkan anda memberi manfaat?

AA Navis Dan Haji Saleh Menyentil Perilaku Ritual Ibadah Kita AA Navis Dan Haji Saleh Menyentil Perilaku Ritual Ibadah Kita Reviewed by Himam Miladi on January 21, 2014 Rating: 5

No comments:

Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini

Powered by Blogger.