60 Sahabat Nabi: Abdullah Ibnu Rawahah, Yang Bersemboyan: Wahai Diri Jika Kau Tidak Gugur Di Medan Juang, Kau Tetap Akan Mati Walau Diatas Ranjang
Waktu itu Rasulullah saw. sedang duduk di suatu tempat dataran tinggi kota Mekah, menghadapi
para utusan yang datang dari kota
Madinah, dengan bersembunyi-sembunyi dari kaum Quraisy. Mereka yang
datang ini terdiri dari duabelas orang utusan suku atau kelompok yang kemudian
dikenal dengan nama Kaum
Anshar (penolong Rasul). Mereka sedang dibai’at Rasul (diambil janji sumpah setia)
yang terkenal pula dengan Hama Bai’ah
al-Aqabah al-Ula (Aqabah pertama). Merekalah pembawa dan penyiar Islam pertama ke
kota Madinah, dan bai’at merekalah yang membuka jalan bagi hijrah Nabi beserta
pengikut beliau, yang pada gilirannya kemudian, membawa kemajuan pesat bagi
Agama Allah yaitu Islam …. Maka salah seorang dari utusan yang dibai’at Nabi itu,
adalah Abdullah bin Rawahah.
Dan sewaktu pada tahun berikutnya, Rasulullah saw. membai’at
lagi tujuhpuluh tiga orang
Anshar dari penduduk Madinah pada bai’at ‘Aqabah kedua, maka tokoh Ibnu Rawahah
ini pun termasuk salah seorang utusan
yang dibai’at itu.
Kemudian sesudah
Rasulullah bersama shahabatnya hijrah ke Madinah dan menetap di sana, maka Abdullah
bin Rawahah pulalah yang paling banyak usaha dan kegiatannya dalam membela
Agama dan mengukuhkan sendi-sendinya. Ialah yang paling waspada mengawasi sepak
terjang dan tipu muslihat Abdullah bin Ubay (pemimpin golongan munafik) yang
oleh penduduk Madinah telah dipersiapkan untuk diangkat menjadi raja sebelum
Islam hijrah ke sana, dan yang tak putus-putusnya berusaha menjatuhkan Islam
dengan tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ads. Berkat kesiagaan
Abdullah bin Rawahah yang terus-menerus mengikuti gerak-gerik Abdullah bin Ubay
dengan cermat, maka gagallah usahanya, dan maksud-maksud jahatnya terhadap
Islam dapat dipatahkan.
Ibnu Rawahah adalah seorang penulis yang tinggal di suatu
lingkungan yang langka dengan kepandaian tulis baca. Ia juga seorang penyair
yang lancar, yang untaian syair-syairnya meluncur dari lidahnya dengan kuat
dan indah didengar ….
Semenjak ia memeluk Islam, dibaktikannya kemampuannya bersyair
itu untuk mengabdi bagi kejayaan Islam . . . . Dan Rasulullah menyukai dan
meni’mati syair-syairnya dan sering beliau minta untuk lebih tekun lagi membuat
syair.
Pada suatu hari, beliau duduk bersama para shahabatnya,
tiba-tiba datanglah Abdullah bin Rawahah, lalu Nabi bertanya kepadanya: “Apa
yang anda lakukan bila anda hendak mengucapkan syair?”
Jawab Abdullah: “Kurenungkan dulu, kemudian baru kuucapkan”.
Lalu teruslah ia mengucapkan syairnya tanpa menunggu lama, demikian
kira-kira artinya secara bebas:
“Wahai
putera Hasyim yang baik, sungguh Allah telah melebihkanmu dari seluruh manusia
Dan memberimu keutamaan, dimana orang tak usah iri. Dan sungguh aku menaruh firasat baik yang kuyakini terhadap dirimu
Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka
Seandainya anda bertanya dan meminta pertolongan mereka. Dalam memecahkan persoalan, tiadalah mereka hendak menjawab atau membela Karena itu Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang anda bawa
Sebagaimana Ia telah mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa”.
Dan memberimu keutamaan, dimana orang tak usah iri. Dan sungguh aku menaruh firasat baik yang kuyakini terhadap dirimu
Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka
Seandainya anda bertanya dan meminta pertolongan mereka. Dalam memecahkan persoalan, tiadalah mereka hendak menjawab atau membela Karena itu Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang anda bawa
Sebagaimana Ia telah mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa”.
Mendengar itu Rasul menjadi
gembira dan ridla kepadanya, lalu sabdanya: “Dan engkau pun akan diteguhkan
Allah”.
Dan sewaktu Rasulullah sedang thawaf di Baitullah pada ‘umrah
qadla, Ibnu Rawahah berada di muka beliau sambil membaca syair dari
rajaznya:
“Oh Tuhan, kalaulah tidak karena Engkau, niscaya tidaklah kami
akan mendapat petunjuk, tidak akan bersedeqah dan shalat!
Maka mohon diturunkan sakinah atas kami dan diteguhkan pendirian kami jika musuh datang menghadang.
Sesungguhnya orang-orang yang telah aniaya terhadap kami, bila mereka membuat fitnah akan kami tolak dan kami tentang”.
Maka mohon diturunkan sakinah atas kami dan diteguhkan pendirian kami jika musuh datang menghadang.
Sesungguhnya orang-orang yang telah aniaya terhadap kami, bila mereka membuat fitnah akan kami tolak dan kami tentang”.
Orang-orang Islam pun sering mengulang-ulangi syair-syairnya
yang indah.
Penyair Rawahah yang produktif ini amat berduka sewaktu turun
ayat al-Quranul Karim :
“Dan para penyair, banyak
pengikut mereka orang-orang sesat
“.
(Q.S. 26 asy-Syu’ara: 224)
(Q.S. 26 asy-Syu’ara: 224)
Tetapi
kedukaannya jadi terlipur waktu turun pula ayat lainnya:
“Kecuali orang-orang (penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak ingat kepada Allah, dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya “.
(Q.S. 26 asy-Syu’ara; 227 )
Dan
sewaktu Islam terpaksa terjun ke medan perang karena membela diri, tampillah
Abdullah ibnu Rawahah membawa pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandak,
Hudaibiah dan Khaibar, seraya menjadikan kalimat-kalimat syairnya dan
qashidahnya menjadi slogan perjuangan:
“Wahai
diri! Seandainya engkau tidak tewas terbunuh, tetapi engkau pasti akan mati
juga!”
Ia juga menyorakkan teriakan perang:
`Menyingkir kamu, hai anak-anak kafir, dari jalannya.
Menyingkir kamu, setiap kebaikan akan ditemui pada RasulNya”.
Dan datanglah waktunya perang Muktah …. Abdullah bin Rawahah
adalah panglima yang ketiga dalam pasukan Islam, sebagaimana telah kita
ceriterakan dalam riwayat Zaid dan Ja’far.
Ibnu Rawahah berdiri dalam keadaan siap bersama pasukan Islam
yang akan berangkat meninggalkan kota Madinah …. Ia tegak sejenak lalu berkata,
mengucapkan syairnya;
“Yang kupinta kepada Allah Yang Maha Rahman Keampunan dan
kemenangan di medan perang. Dan setiap ayunan pedangku memberi ketentuan
Bertekuk lututnya angkatan perang syetan
Akhirnya aku tersungkur memenuhi harapan …. Mati syahid di medan
perang . .!!”
Benar, itulah cita-citanya kemenangan dan hilang terbilang
pukulan perang atau tusukan tombak, yang akan membawanya ke alam syuhada yang
berbahagia .. !!
Balatentara Islam maju bergerak ke medan perang Muktah. Sewaktu
orang-orang Islam dari kejauhan telah dapat melihat musuh-musuh mereka, mereka
memperkirakan besarnya balatentara Romawi sekitar duaratus ribu orang ….
karena menurut kenyataan barisan tentara mereka seakan tak ada ujung akhir dan
seolah-olah tidak terbilang banyaknya … !
Orang-orang Islam melihat jumlah mereka yang sedikit, lalu
terdiam . . . . dan sebagian ada yang menyeletuk berkata: “Baiknya kita kirim
utusan kepada Rasulullah, memberitakan jumlah musuh yang besar. Mungkin kita
dapat bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju maka kita
patuhi”.
Tetapi Ibnu Rawahah, bagaikan datangnya Siang bangun berdiri di antara
barisan pasukan-pasukannya lalu berucap:
“Kawan-kawan sekalian! Demi Allah, sesungguhnya kita berperang
melawan musuh-musuh kita bukan berdasar bilangan, kekuatan atau banyaknya
jumlah . . . ! Kita tidak memerangi mereka, melainkan karena mempertahankan Agama
kita ini, Yang dengan memeluknya kita telah dimuliakan Allah . . . ! Ayohlah
kita maju . . . ! Salah satu dari dua kebaikan pasti kita capai, kemenangan
atau syahid di jalan Allah … !”
Dengan bersorak sorai Kaum Muslimin yang sedikit bilangannya,
tetapi besar imannya itu menyatakan setuju. Mereka berteriak: “Sungguh, demi
Allah, benar yang dibilang Ibnu Rawahah. . !”
Demikianlah, pasukan terus ke tujuannya, dengan bilangan yang
jauh lebih sedikit menghadapi musuh yang berjumlah 200.000 yang berhasil
dihimpun orang Romawi untuk menghadapi suatu peperangan dahsyat yang belum ada
taranya.
Kedua pasukan balatentara itu pun bertemu, lalu berkecamuklah
pertempuran di antara keduanya, sebagaimana telah kita sebutkan dahulu ….
Pemimpin yang pertama Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid
yang mulia, disusul oleh pemimpin yang kedua Ja’far bin Abi Thalib, hingga ia
memperoleh syahidnya pula dengan penuh kebesaran, dan menyusul pula sesudah itu
pemimpin yang ketiga ini, Abdullah bin Rawahah. Di kala itu ia memungut panji
perang dari tangan kanan Ja’far, sementara peperangan sudah mencapai puncaknya.
Hampir-hampirlah pasukan Islam yang kecil itu, tersapu musnah di antara.
pasukan-pasukan Romawi Yang datang membanjir laksana air bah, yang berhasil
dihimpun oleh Heraklius untuk maksud ini.
Ketika ia bertempur sebagai seorang prajurit, Ibnu Rawahah
menerjang ke muka dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-ragu dan
perduli. Sekarang setelah menjadi panglima seluruh pasukan, yang akan dimintai
tanggung jawabnya atas hidup mati pasukannya, demi terlihat kehebatan tentara
Romawi, seketika seolah terlintas rasa kecut dan ragu-ragu pada dirinya. Tetapi
saat itu hanya sekejap, kemudian ia membangkitkan seluruh semangat dan
kekuatannya dan melenyapkan semua kekhawatiran dari dirinya, sambil berseru:
“Aku telah bersumpah wahai diri, maju ke medan laga Tapi kenapa
kulihat, engkau menolak surga ….
Wahai diri, bila kau tak tewas terbunuh, kau kan pasti mati
Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti ….
Tibalah waktunya apa yang engkau idam-idamkan selama ini Jika
kau ikuti jejak keduanya, itulah kesatria sejati …. ! “
(Maksudnya, kedua shahabatnya Zaid dan Ja’far yang telah
mendahului gugur sebagai syuhada).
“Jika kamu berbuat seperti keduanya, itulah kesatria sejati”” la
pun maju menyerbu orang-orang Romawi dengan tabahnya . . . . Kalau tidaklah
taqdir Allah yang menentukan, bahwa hari itu adalah saat janjinya akan ke
surga, niscaya ia akan terus menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat
menewaskan sejumlah besar dari mereka Tetapi lonceng keberangkatan sudah
berdenting, yang memberitahukan awal perjalanannya pulang ke hadlirat Allah,
maka naiklah ia sebagai syahid ….
Jasadnya jatuh terkapar, tapi rohnya yang suci dan perwira naik
menghadap Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, dan tercapailah puncak
idamannya:
“Hingga dikatakan, yaitu bila mereka meliwati mayatku: Wahai
prajurit perang yang dipimpin Allah, dan benar ia telah terpimpin!”
“Benar engkau, ya Ibnu Rawahah … ! Anda adalah seorang prajurit
yang telah dipimpin oleh Allah . . . !
Selagi pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi Balqa’ di
Syam, Rasulullah saw. sedang duduk beserta para shahabat di Madinah, sambil
mempercakapkan mereka. Tiba-tiba percakapan yang berjalan dengan tenang
tenteram, Nabi terdiam, kedua matanya jadi basah berkaca-kaca. Beliau
mengangkatkan wajahnya dengan mengedipkan kedua matanya, untuk melepas air mata
yang jatuh disebabkan rasa duka dan belas kasihan … !
Seraya memandang
berkeliling ke wajah para shahabatnya dengan pandangan haru, beliau berkata:
“Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia bertempur bersamanya hingga
ia gugur sebagai syahid . . . . Kemudian diambil alih oleh Ja’far, dan ia
bertempur pula bersamanya sampai syahid pula ……. Beliau berdiam sebentar, lalu
diteruskannya ucapannya: “Kemudian panji itu dipegang oleh Abdullah bin Rawahah
dan ia bertempur bersama panji itu, sampai akhirnya ia pun syahid pula”.
Kemudian Rasul diam lagi seketika, sementara mata beliau
bercahaya, menyinarkan kegembiraan, ketenteraman dan kerinduan, lalu katanya
pula: “Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku ke surga “
Perjalanan mana lagi yang lebih mulia …. Kesepakatan mana lagi
yang lebih berbahagia …. Mereka maju ke medan laga bersama-sama …. Dan mereka
naik ke surga bersama-sama pula ….
Dan penghormatan terbaik yang diberikan untuk mengenangkan jasa
mereka yang abadi, ialah ucapan Rasulullah saw. yang berbunyi: “Mereka telah
diangkatkan ke tempatku ke surga ….
60 Sahabat Nabi: Abdullah Ibnu Rawahah, Yang Bersemboyan: Wahai Diri Jika Kau Tidak Gugur Di Medan Juang, Kau Tetap Akan Mati Walau Diatas Ranjang
Reviewed by Himam Miladi
on
May 03, 2014
Rating:
No comments:
Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini