Keadaannya memang aneh. Dia lah yang dulunya menjadi pembunuh
kejam yang menggentarkan Kaum Muslimin dalam perang Uhud, kemudian ia pula yang
jadi komandan perang yang mengecutkan hari setiap penentang Islam di belakang
hari … !
Marilah kita ceriterakan kiaahnya dari bermula. Tetapi dari
permulaan yang mana, ya? Karena ia sendiri hampir tak tahu di mana kehidupannya bermula, kecuali
di hari itu, di mana ia bersalaman dan
berjabatan tangan dengan Rasulullah, berjanji dan bersumpah setia ….
Kalau sekiranya ia mampu, ia ingin sekali mengikia habis dari
sejarah hidupnya semua periatiwa dan kejadian di hari-hari dan tahun-tahun yang
telah berlalu ….
Kalau begitu, marilah kita mulai saja dari peristiwa yang mengesankannya
. . . , saat-saat gemilang yang membahagiakan, di mana kalbunya tunduk kepada
Allah, jiwanya menemukan sentuhan rahmat Allah Maha Rahman, Tuhan yang
daripadaNya datang segala rahmat karunia. Jiwanya memancarkan kerinduan kepada
Agama-Nya, kepada Rasul-Nya dan kepada keinginan mempertaruhkan nyawa sebagai
syahid dalam membela kebenaran guna menanggalkan dan membuang jauh-jauh dari
pundaknya semua dosa dan kekeliruannya di masa yang lalu dalam mempertahankan
yang bathil.
Di suatu hari ia melakukan dialog dengan dirinya pribadi dan
menggunakan fikiran sehat untuk merenungkan Agama baru, Yang panji-panji
kebenarannya selalu bertambah cemerlang hari demi hari, semakin tinggi
menjulang. Ia bermohon kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib,
kiranya Ia mengulurkan jalan petunjuk . . . , lalu bercahayalah ke dalam
hatinya keyakinan yang menggembirakan. Ia berkata kepada dirinya: “Demi Allah,
sungguh telah nyata bukti-buktinya … !
Sungguh laki-laki itu adalah Rasul . . . ! Lalu, sampai kapan …
?? Ah, aku akan pergi berangkat, demi Allah, aku akan masuk Islam. . . .”.
Nah, marilah kita dengarkan ia radhiallahu ‘anhu menceriterakan
perjalanannya penuh berkat kepada Rasulullah saw. dan keberangkatannya dari
Mekah ke Madinah, guna mengambil tempatnya kelak dalam kafilah Kaum Muslimin:
“Aku menginginkan seseorang yang akan menjadi teman
seperjalanan, lalu kujumpai Utsman bin Thalhah; kuceriterakan kepadanya apa
maksudku, dan ia pun segera menyetujuinya. Kami ke luar berangkat bersama-sama
waktu mendekati siang …. Sewaktu kami sampai di suatu dataran tinggi, tiba-tiba
kami bertemu dengan ‘Amr bin ‘Ash.
Ia mengucapkan salam dan kami membalasnya. Kemudian ia bertanya:
“Mau ke mana tuan-tuan ini?” Maka kami beritakan kepadanya maksud tujuan kami;
ia balik memberitakan maksudnya hendak menjumpai Nabi pula, hendak masuk
Islam.
Maka berangkatlah kami bersama-sama sehingga sampai ke kota
Madinah di awal hari bulan Safar tahun yang kedelapan Hijriyah. Di kala aku
telah dekat dengan Rasulullah saw, aku segera memberi salam kenabiannya, Nabi
pun membalas salamku dengan muka yang cerah. Aku pun masuk Islam dan mengucap
kan syahadat yang haq.
Maka sabda Rasul: “Sungguh aku telah mengetahui bahwa anda
mempunyai akal sehat, dan aku mengharap, akal sehat itu hanya akan menuntun
anda kepada jalan yang baik . . .”. “Aku berjanji setia (bai’at) kepada
Rasulullah, lalu kataku: “Mohon anda mintakan ampun untukku terhadap semua
tindakan masa laluku yang menghalangi jalan Allah . . .”.
Beliau menjawab:
“Sesungguhnya keIslaman itu telah menghapuskan segala perbuatan
yang lampau. “
Kataku pula: “Sekalipun demikian ya Rasulallah Maka beliau pun
mengucapakn do’a:
“Ya Allah, aku mohon engkau ampuni dosa Khalid ibnul Walid terhadap tindahannya
menghalangi jalan-Mu di masa lalu. “
Sesudah itu datang pula ‘Amr bin Ash, kemudian Utsman bin
Thalhah keduanya sama-sama memeluk Islam dan berjanji setia kepada Rasulullah”.
Adakah anda perhatikan ucapannya kepada Rasul: “Mohon anda
mintakan ampun terhadap semua dosa-dosaku masa lalu dalam menghalangi jalan
Allah?” Orang yang memperhatikan ucapan tersebut dengan mata lahir maupun mata
bathinnya, akan dapat memahami dengan jelas apa yang belum diketahuinya dari
riwayat hidup orang yang sekarang menjadi pahlawan Islam dan Pedang Allah ini
…. !
Dan setelah sampai ke taraf-taraf tersebut dalam kiaah kehidupan
Khalid, maka ucapannya itulah yang akan menjadi dalil dan alasan kita untuk
memahami pendirian itu dan menafsirkannya ….
Adapun sekarang, Khalid yang telah masuk Islam dibawa oleh
kesadarannya, tadinya kita lihat sebagai seorang penunggang dan penjinak kuda
yang cekatan dari suku Quraiay. Kita saksikan ia sebagai seorang ahli siasat
perang dari seluruh dunia Arab, Yang telah meninggalkan berhala pujaan nenek
moyangnya dan kebanggaan kuno milik bangsanya. Kemudian sekarang tampil seiman,
dan satu derap dengan perjuangan Rasul dan Kaum Muslimin sebagai seorang ahli
di bawah naungan benderanya yang baru.
Taqdir Allah telah menentukannya akan bangkit berjuang di bawah
panji-panji Nabi Muhammad saw. menegakkan kalimat tauhid …. Sekarang bersama
Khalid, yang telah memeluk Islam, akan kita saksikan hal-hal yang menakjubkan .
. .
Masih ingatkah anda, tiga orang syuhada pahlawan perang Muktah?
Mereka ialah Zaid bin Haritsah, Ja’Iar bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah
. . . . Mereka semuanya pahlawan perang Muktah di tanah Syria. Untuk keperluan
peperangan ini orang-orang Romawi telah mengerahkan sekitar dua ratus ribu
prajurit dan di sana pula Kaum Muslimin menunjukkan prestasi gemilang.
Dan masih ingatkah anda akan kata-kata Rasulullah saw. melipur
duka ketika kematian mereka sebagai syuhada; tiga orang pahlawan perang Muktah,
sewaktu beliau bersabda: “Panji perang di tangan Zaid bin Haritsah. Ia
bertempur bersama panjinya sampai ia tewas. Kemudian panji tersebut diambil
Ja’Iar yang bertempur pula bersama dengan panjinya sampai ia gugur pula.
Kemudian giliran Abdullah bin Rawahah memegang panji tersebut sambil bertempur
maju, hingga ia gugur sebagai syahid pula”.
Sebenarnya ada dari pemberitaan Rasulullah ini yang masih
ketinggalan, sengaja kami simpan untuk mengisi lembaran berikut ini ….
Dan sisa yang ketinggalan itu ialah:
“Kemudian panji itu pun diambil alih oleh suatu pedang dari
pedang Allah, lalu Allah membukakan kemenangan di tangannya”.
Siapakah kiranya pahlawan itu, Ia adalah Khalid ibnul Walid.
Sebenarnya Khalid bin Walid yang segera ikut menerjunkan diri ke dalam perang
Muktah sesudah masuk Islam ini hanyalah prajurit biasa saja, di bawah pimpinan
panglima yang bertiga yang telah diangkat Rasul: Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawahah
yang telah menemui syahidnya menurut urutan tersebut di medan perang yang
dahsyat itu.
sesudah panglima yang ketiga tewas menemui syahidnya, dengan
cepat Tsabit bin Arqam menuju bendera perang tersebut lalu membawanya dengan
tangan kanannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi di tengah-tengah pasukan Islam
agar barisan mereka tidak kacau balau dan agar semangat pasukan tetap tinggi ….
Tak lama sesudah itu, dengan gesit ia melarikan kudanya ke arah Khalid, sembari
berkata kepadanya:
“Peganglah panji ini, wahai Abu Sulaiman …
Khalid merasa dirinya sebagai seorang yang baru masuk Islam,
tidak layak memimpin pasukan yang di dalamnya terdapat orang-orang Anshar dan
Muhajirin yang telah lebih dulu masuk daripadanya. Sopan, rendah hati, arif
bijaksana dan kelebihan-kelebihan akhlaq lainnya, memang miliknya dan
sewajarnya ada padanya.Ketika itu ia menjawab: “Tidak . . . tak usah aku yang
memegang panji, andalah yang berhak memegangnya, anda lebih tua, dan telah
menyertai perang Badar!”
Tsabit menjawab pula: “Ambillah, sebab anda lebih tahu muslihat
perang dari aku, dan demi Allah aku tak akan mengambilnya, kecuali untuk
diserahkan kepada anda!” Kemudian ia berseru kepada seluruh anggota pasukan
Islam: “Sediakah kamu sekalian di bawah pimpinan Khalid . . . Mereka menjawab:
“Setuju!”
Dengan gesit panglima baru ini melompati kudanya; didekapnya
panji itu dan mencondongkannya ke arah depan dengan tangan kanannya, tak
ubahnya hendak memecahkan semua pintu yang terkunci selama ini dan sudah datang
saatnya buat didobrak dan diterjang melalui jalan panjang . .. , dari saat
itulah baik selagi Rasul masih hidup maupun sesudah beliau waIat,
kepahlawanannya yang luar biasa, mencapai titik puncak yang telah ditentukan
Allah baginya . . . .
Pimpinan tentara sekarang berada di tangan Khalid, sesudah hasil
pertempuran ditentukan. Korban dari fihak Kaum Muslimin banyak berjatuhan,
tubuh-tubuh mereka berlumuran darah, sedang balatentara Romawi dengan
bilangannya yang jauh lebih besar, terns maju laksana banjir yang menyapu
medan.
Dalam situasi yang demikian, tak ada jalan dan taktik perang
yang bagaimanapun, akan mampu merobah kesudahan pertempuran berbalik 180
derajat, yang menang jadi kalah dan yang kalah jadi menang. Dan satu-satunya
yang dapat diharapkan dari seorang pahlawan, ialah bagaimana melepaskan tentara
Islam ini dari kemusnahan total, dengan menghentikan korban-korban yang terus
berjatuhan, dan keluar dengan sisa-sisa yang ada dengan selamat, mengundurkan
diri secara tepat dan teratur, yang dapat menghalangi kehancuran masaal di
medan tempur itu.
Hanya pengunduran seperti itu termasuk barang mustahil . . . .
Tetapi, bila benarlah apa yang dikatakan orang, bahwa tak ada yang mustahil
bagi hati yang pemberani, maka siapa pula orang yang lebih berani hatinya dari
Khalid, kepahlawanannya lebih hebat, dan pandangannya lebih tajam daripadanya?
Di saat itu tampillah Pedang Allah menyorot seluruh medan tempur
yang luas itu dengan kedua matanya yang tajam laksana mata burung elang,
diaturlah rencana dan langkah yang akan diambil secepat kilat, dan
dibagi-baginya pasukannya ke dalam kelompok-kelompok besar dalam suasana perang
berkecamuk terus. Setiap kelompok diberinya tugas sasarannya. Lalu dipergunakannya
seni yudhanya yang membawa mukjizat, dan kecerdikan akalnya yang luar biasa,
sehingga akhirnya dengan idzin Allah jua, ia berhasil membuka jalur luas di
antara barisan pasukan Romawi. Dari jalur tersebut seluruh sisa pasukan Islam
dapat ke luar meloloskan diri dengan selamat. Keberhasilan ini adalah berkat
kepahlawanannya, berkat keberanian disertai kecerdikan dan kecepatan bertindak
yang tepat yang tak dapat dilupakan dalam sejarah . . . . Dan disebabkan
pertempuran inilah Rasulullah menganugerahkan padanya gelar: “Si Pedang Allah
yang selalu terhunus”.
Dalam periatiwa lain . . . . pada saat orang-orang Quraisy menodai perjanjian damainya dengan Rasulullah. Maka bergeraklah Kaum Muslimin
di bawah pimpinan beliau untuk membebaskan kota Mekah …. Di bagian sayap kanan
pasukan, Rasul mengangkat Khalid ibnul Walid sebagai pemimpinnya.
Maka masuklah Khalid ke kota Mekah sebagai salah seorang
pemimpin pasukan Ummat Islam, sesudah selama ini dataran dan gunung-gunungnya
menyaksikannya sebagai pemimpin tentara watsani (penyembah berhala) dan
penganut syirik. Teringatlah ia akan kenangan masa kanak-kanaknya, di mana ia
bermain-main dengan manjanya, dan kenangan masa muda remajanya selagi ia
berhandai-handai menghabiskan waktu. Kemudian datang kembali padanya segala
kenangan masa lalu Yang
panjang di mana usianya hilang percuma untuk pengorbanan sia-sia bagi
berhala-berhala yang lemah tak berdaya ….
Sebelum penyesalannya kian parah, hatinya bangun tersadar oleh
himbauan kesaksian hebat dan kebesarannya, yaitu kesaksian dari nur yang
menerangi kota Mekah . . . . , kesaksian nyata bagaimana orang-orang lemah yang
diperlakukan semena-mena, menanggung adzab derita dan ancaman, sekarang
kembali ke kampung halaman mereka dari tempat mereka diusir secara aniaya dan
kejam. Mereka kembali ke sana mengendarai kuda-kuda mereka yang meringkik
berdengusan serta di bawah panji-panji dan bendera-bendera Islam yang
berkibaran. Suara-suara yang mereka membisikkan di Darul Arqarn dulu, sekarang
berubah menjadi takbir yang gemuruh yang menggegarkan kota Mekah, disertai
bahana tahlil kemenangan. Alam pun seperti ikut menyertai suasana gembira
mereka, semuanya seolah-olah berhari raya.
Bagaimanakah kesudahannya mu’jizat itu? Dan ulasan apakah
kiranya yang dapat diberikan oleh periatiwa ini? Tak ada yang lain, kecuali
yang sedang diucapkan oleh mereka yang sedang berjalan berduyun-duyun di
sela-sela suara tahlil dan takbir mereka, di kala mereka berpandangan satu sama
lain dengan gembira:
“Janji Allah …. Allah tak pernah memungkiri janji-Nya (Q.S. 30
ar-Rum:6)
Ia mengangkat kepala serta menengadahkannya, lalu memandang
penuh bangga dan ridla kepada bendera-bendera Islam yang memenuhi angkasa . . .
seraya berkata kepada dirinya sendiri: “Benarlah . . . bahwa itu janji
Allah, dan Allah tak pernah menyalahi janji-Nya . . . !”
Kemudian ditundukkannya pula kepalanya karena rasa syukur dan
haru terhadap ni’mat Ilahi yang telah memberinya petunjuk masuk Islam dan yang
telah membuatnya pada hari kemenangan yang besar ini, menjadi salah seorang
pembawa Agama Islam ke kota Mekah, dan bukannya dari golongan orang-orang yang masuk
Islam karena terbawa-bawa kemenangan Islam.
Khalid selalu berada di samping Rasulullah, menyerahkan semua
tenaga dan kemampuannya yang tinggi untuk berbakti kepada Agama yang telah
diimaninya dengan penuh keyakinan, dan yang seluruh kehidupannya akan
didermakan untuknya.
Sesudah Rasul wafat, memenuhi panggilan Allah Maha Pengasih lagi
Maha Tinggi, Abu Bakar Shiddiq memikul segala tanggung jawab KhilaIah. Gelora
angin kemurtadan bertiup kencang dengan tipu dayanya, hendak
menghancurkan Agama yang baru dengan semboyannya yang berbiaa dan propagandanya
yang merusak binasa . . . . Di awal kegemparan yang mengejutkan ini, Abu Bakar
menolehkan mata dan perhatiannya yang pertama kepada seorang pejuang yang
tepat, seorang laki-laki pilihan …. Abu Sulaiman, si Pedang Allah’, Khalid bin
Walid.
Memang benar, bahwa Abu Bakar telah mulai memerangi kaum murtad
dengan pasukan yang dipimpinnya sendiri, tetapi hal ini tidak bertentangan
dengan rencananya untuk mempersiapkan Khalid untuk suatu hari yang menentukan
nanti, yakni menentukan kalah menangnya dalam peperangan terseru menghadapi
orang-orang murtad itu, di mana ia merupakan bintang lapangan dan pahlawan yang
ulung ….
Di kala golongan kaum murtad bersiap-siap hendak melaksanakan
hasil keputusan persekongkolan mereka yang besar, Khalifah Abu Bakar bertekad
memimpin sendiri pasukan Muslimin. Para shahabat utama berusaha menghalangi
maksudnya itu, tetapi sia-sia, malah menambah kebulatan tekadnya ….
Dan mungkin maksud Khalifah dengan cara ini, untuk mewarnai pertempuran
dengan corak khusus dan arti yang penting, yang dapat mendorong orang-orang
untuk menyertainya. Hal ini hanya dapat dikuatkan dengan partisipasi nyata dari
beliau dalam perang yang dahsyat, yakni dengan memimpinnya langsung, baik atas
sebagian maupun atas seluruh kekuatan ummat. Sungguh, jalannya peperangan
tersebut akan menentukan timbul tenggelamnya kekuatan iman menghadapi kekuatan
murtad yang sesat!
Dan sesungguhnya munculnya kemurtadan di mana-mana secara
serentak ini sangat mengkhawatirkan sekali, walaupun pada mulanya tampaknya sebagai pembangkangan saja. Dan dalam situasi seperti ini, kabilah-kabilah yang
selama ini ingin membalas dendam terhadap Islam, maupun yang selalu mengintai-intai
kelemahannya, sekarang mendapat kesempatan iatimewa atau peluang baru untuk
berontak, tanpa kecuali apakah mereka kabilah Arab pedalaman, atau yang tinggal
di perbatasan, di mana masih bercokol kekuasaan dan pengaruh kerajaan Persi dan
Romawi. Kerajaan-kerajaan tersebut telah merasakan timbulnya kekuatan Islam
yang menjadi bahaya dan ancaman terhadap kekuasaannya. Oleh sebab itulah
sebagai dalang di belakang layar, mereka dengan sengaja mengobar dan
menyebarkan berbagai macam fitnah.
Demikianlah, api dan nyala fitnah berkobar di kalangan suku-suku
Asad, GhatIan, ‘Abas, Thay’ dan Dzibyan …. juga di antara kabilah-kabilah Bani
‘Amir, Hawazin, Salim, dan Bani Tamim . . . . Mula-mula diawali dengan
terjadinya bentrokan-bentrokan bersenjata yang kecil, yang kemudian berobah
menjadi pertempuran besar yang melibatkan kekuatan pasukan sampai berpuluh ribu
tentara.
Pemberontakan-pemberontakan ini segera pula mendapat dukungan
dari penduduk Bahrain, Oman, dan Muhrah. Sekarang Islam benar-benar menghadapi
bahaya besar, dan api peperangan itu telah dinyalakan sekeliling Kaum Muslimin.
Untunglah di sana ada Abu Bakar …
.
Beliau menyiapkan pasukan Muslimin dan sekaligus memimpinnya
menuju kabilah-kabilah Bani Abbas, Bani Muhrah dan Dzibyan yang tampil sebagai
pasukan kuat. Pertempuran pun terjadilah, dan akibatnya Islam dapat mencatat
kemenangan besar dan mantap. Tetapi pasukan yang menang ini tidak sempat
lama beriatirahat di Madinah, karena Khalifah terpaksa mengerahkannya lagi
untuk menghadapi pertempuran berikutnya ….
Berita‘-berita tentang pembangkangan kaum-kaum dan
suku-suku, setiap saat nampaknya semakin berbahaya. Abu Bakar sendiri maju
memimpin pasukan yang kedua ini Tetapi, para shahabat utama jadi hilang
keshabaran mereka. Semuanya sepakat untuk meminta Khalifah agar tetap tinggal
di Madinah.
Imam Ali terpaksa menghadang Abu Bakar dan memegang tali kekang
kuda yang sedang ditungganginya untuk mencegah keberangkatannya bersama
pasukan, sembari berkata kepadanya: “Hendak ke mana anda, wahai Khalifah
Rasulullah? Akan kukatakan kepada anda, apa yang pernah diucapkan Rasulullah di
hari Uhud: “Simpanlah pedangmu wahai Abu Bakar, jangan engkau cemaskan kami
dengan dirimu!”
Di hadapan desakan dan suara bulat Kaum Muslimin, Khalifah
terpaksa menerima untuk tinggal di kota Madinah. Maka dibaginya tentara Islam
menjadi sebelas kesatuan, masing-masing kesatuan dibebani tugas tertentu,
sedang sebagai kepala dari’ keseluruhan kesatuan tersebut diangkatnya Khalid
ibnul Walid. Dan setelah menyerahkan bendera pasukan kepada masing-masing
komandannya, Khalifah mengarahkan mukanya kepada Khalid, lalu katanya:
“Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: Bahwa sebaik-baik hamba Allah dan
kawan sepergaulan, ialah Khalid ibnul Walid, sebilah pedang di antara pedang-pedang
Allah yang ditebaskan kepada orang-orang kafir dan munafik. ..!’
Maka Khalid pun segera menjalankan tugasnya, berpindah-pindah
bersama pasukannya dari suatu medan tempur, ke pertempuran yang lain, dari
suatu kemenangan ke kemenangan berikutnya, sampai berakhir dengan pertempuran
yang menentukan.
Di sanalah yakni di Yamamah, Bani HaniIah bersama kabilah-kabilah
yang telah bergabung dengan mereka telah membangun suatu gabungan aneka ragam
tentara murtad yang paling berbahaya dikepalat oleh Musailamatul Kaddzab . . .
. Sudah ada sebagian kesatuan Islam yang mencoba kekuatan mereka, tetapi tidak
berhasil.
Sekarang datanglah perintah Khalifah kepada panglimanya “yang
tak terkalahkan” agar berangkat kepada Bani Hanifah itu. Khalid pun maju
berangkat dan demi Musailamah mengetahui bahwa Khalid sedang di tengah
perjalanan menuju tempatnya, kembali ia memperkuat susunan pasukannya, karena
ia benar-benar menganggapnya sebagai bahaya dahsyat dan musuh yang amat kuat.
Kedua pasukan tentara itu telah berhadap-hadapan Dan di waktu
anda membaca buku-buku riwayat dan sejarah tentang jalannya pertempuran yang
sengit itu, tentu anda akan merasa ngeri karena seolah-olah diri anda sedang
menyaksikan suatu pertempuran yang menyerupai perang masa kini dalam kekerasan
dan kekejamannya, sekalipun berbeda jenis senjata dan sarana perang yang dipergunakan
. . . .
Khalid mengambil posisi dengan pasukannya di dataran bukit-bukit
pasir Yamamah, sementara Musailamah menghadapinya dengan segala kecongkakan
dan kedurhakaannya bersama barisan tentaranya yang banyak seakan-akan tak
habis-habisnya.
Khalid segera menyerahkan bendera dan panji-panji perang kepada
komandan-komandan pasukannya. Kedua kelompok balatentara itu pun
serang-menyerang dan bertempur rapat. Perang berkecamuk tiada hentinya, korban
dari pihak Muslimin susul-menyusul berguguran laksana bunga-bunga dan kembang
di taman yang, ditiup
angin topan … !
Khalid telah melihat keunggulan musuh, ia lalu memacu kudanya ke
suatu tanah tinggi yang terdekat, lalu ia layangkan pandangannya ke seluruh
medan tempur, pandangan cepat yang diliputi ketajaman dan keariIan. Dengan
cepat pula ia dapat menangkap dan menyimpulkan titik-titik kelemahan
pasukannya.
Ia dapat merasakan rasa tanggung jawab yang melemah di kalangan
prajuritnya di bawah serbuan-serbuan mendadak yang dilakukan pasukan
Musailamah. Maka diputuskannya secepat kilat untuk memperkuat semangat tempur
Kaum Muslimin dan tanggung jawab mereka setinggi mungkin. Dipanggilnya komandan-komandan
teras dan sayap, ditertibkannya posisi masing-masing di medan tempur, kemudian
ia berteriak dengan suaranya yang mengesankan kemenangan: “Tunjukkanlah
kelebihanmu. masing-masing …. akan kita lihat hari ini jasa setiap suku!”
Lalu setiap suku tampillah dengan kelebihannya sendiri-sendiri.
Orang-orang Muhajirin maju dengan panji-panji perang mereka dan
orang-orang Anshar pun maju di bawah panji-panji mereka, seterusnya tiap
kelompok suku dengan panji-panji tersendiri. Demikianlah, hingga jelas nanti,
dari mana datangnya kekalahan itu. Semangat juang jadi bergelora lebih panas
membakar, penuh dengan kebulatan tekad dan mengejutkan musuh. Dan Khalid dari
saat ke saat menggemakan tahlil dan takbir atau mengeluarkan perintah yang
menentukan, maka berubahlah pedang-pedang pasukannya bagai tangan-tangan
Malaikat maut yang tidak dapat ditolak kehendaknya, dan tidak dapat dirubah
tujuannya. Dan dalam waktu yang singkat saja berubahlah arah pertempuran,
prajurit-prajurit Musailamah mulai gugur berjatuhan dari puluhan, jadi ratusan
kemudian ribuan, laksana nyamuk-nyamuk yang menggelepar bermatian.
Khalid telah menyalakan semangat keberaniannya seperti aliran
listrik kepada setiap prajuritnya; jiwanya telah menempati setiap prajurit
pasukannya itulah salah satu keistimewaannya yang menakjubkan. Dan demikianlah
jalan pertempuran yang paling mencemaskan dan menyeramkan melawan orang-orang
murtad itu. Musailamah tewas dan mayat-mayat anak buah dan para prajuritnya
bergelimpangan memenuhi seluruh medan perang, dan dikubur pulalah di sana
selama-lamanya bendera- bendera yang menyerukan kebohongan dan kepalsuan.
Di Madinah Khalifah shalat syukur kepada Yang Maha Agung dan
Maha Tinggi, karena dikarunisi kemenangan tersebut dan pahlawan perkasa ini …
Khalifah Abu Bakar dengan kecerdasan dan ketajaman pandangannya
telah mengetahui kekuatan-kekuatan jahat yang masih bercokol di belakang
sekitar negerinya yang merupakan bahaya besar yang mengancam kelangsungan
hidup Islam dan pemeluknya . . . , yaitu Persi di Irak dan Romawi di Syria.
Imperium-imperium yang sudah tua dan lemah ini yang selalu
mengintai kelemahan ummat Islam dan menjadi pusat dan penyebar kekacauan,
keduanya saling berhubungan dengan ikatan yang lapuk dengan kejayaan mereka di
masa lampau. Mereka memeras dan menyiksa rakyat Irak dan Syria, serta
merendahkan martabat mereka, bahkan mengerahkan rakyat yang sebagian besar di
antaranya adalah orang-orang Arab untuk memerangi Kaum Muslimin.
Dengan panji-panji Agama baru yang dibawanya, Kaum Muslimin
bermaksud meruntuhkan benteng-benteng peradaban kuno serta mengikia habis
segala bentuk kejahatan dan kekejamannya.
Ketika itulah, Khalifah Abu Bakar menjatuhkan pilihannya kepada
Khalid untuk berangkat dengan pasukannya menuju Irak . . . . Maka berangkatlah
pahlawan ini ke Irak. Sayang lembaran ini tidak cukup untuk memuliakan setiap
kemenangan pasukannya di segala tempat. Andainya cukup, tentulah akan kita
lihat hal-hal yang amat mengagumkan saja.
Ia memulai operasi militernya di Irak
dengan mengirim Surat-Surat ke seluruh pembesar Kisra (Kaisar Persi) dan
gubemur-gubernurnya di semua wilayah Irak dan kota-kotanya, sebagai berikut:
“Dengan nama Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari
Khalid ibnul Walid kepada pembesar-pembesar Persi. Keselamatan bagi siapa yang
mengikuti petunjuk.
Kemudian segala puji kepunyaan Allah yang telah memporak-porandakan
kaki tangan kalian, dan merenggut kerajaan kalian, serta melemahkan tipu
muslihat kalian.
Siapa yang shalat seperti shalat kami, dan menghadap kiblat
kami, dan memakan sembelihan kami, jadilah ia seorang Muslim, ia akan mendapat
hak seperti hak yang kami dapatkan, dan ia berkewajiban seperti kewajiban kami.
Bila telah sampai kepada kalian suratku ini, maka hendaklah kalian kirimkan
kepadaku jaminan, dan terimalah daripadaku perlindungan.
Dan jika tidak, maka demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia,
akan kukirimkan kepada kalian satu kaum berani mati, padahal kalian masih
sangat mencintai hidup … !”
Para mata-mata yang disebarkannya ke seluruh penjuru datang
menyampaikan berita tentang keberangkatan pasukan. balatentara yang besar, yang
dipersiapkan oleh panglima-panglima Persi di Irak.
Khalid tidak membuang-buang waktu, dengan cepat ia pergi
mempersiapkan pasukannya untuk menumpas kebathilan, sedangkan jarak perjalanan
dapat ditempuhnya dalam waktu singkat.
Kemenangan demi kemenangan dicapai oleh pasukan ekspedisinya,
sejak dari Ubullah ke as-Sadir, disusul oleh an-Najaf, lalu al-Hirsh, kemudian
al-Anbar sampai ke Kadhimiah. Di setiap tempat ia disambut oleh wajah berseri
karena gembira. Bendera dan panji-panji Islam pun naik, di bawahnya berlindung
orang lemah yang tertindas penjajah Persia.
Memang, rakyat yang lemah dan terjajah mengalami derita
perbudakan dan penyiksaan selama ini dari orang Persi. Bandingkan dengan
peringatan keras dari Khalid kepada seluruh anggota pasukannya setiap kali akan
berangkat:
“Jangan kalian sakiti para petani, biarkanlah mereka bekerja
dengan aman, kecuali bila ada yang hendak menyerang kalian. Perangilah orang
yang memerangi kalian . . .”.
Ia meneruskan perjalanannya dengan pasukannya yang telah
memenangkan peperangan seperti mata pisau tajam mengiris permukaan susu yang
membeku, hingga sampailah ia ke perbatasan negeri Syam.
Ketika itu berkumandanglah suara takbir dari muadzin disertai
takbir orang yang menang perang. Bagaimana dugaanmu, sudahkah orang-orang
Romawi mendengarnya di Syam ini? Apakah mereka menyadari bahwa takbir ini
merupakan bunyi lonceng kematian dan akhir dunia kekejaman? Benar, mereka telah
mendengarnya, mereka dikagetkan dan menjadi kecut … mereka telah memutuskan
dengan membabi buta untuk terjun ke medan perang, disebabkan rasa putus asa dan
sia-sia.
Kemenangan yang diperoleh orang-orang Islam di Irak dari orang
Persi, menimbulkan harapan diperolehnya kemenangan yang sama dari orang Romawi
di Syria.
Abu Bakar Shiddiq mengerahkan sejumlah pasukan dan untuk
mengepalainya dipilihnya dari kelompok panglima-panglima mahir seperti Abu
‘Ubaidah bin Jarrah, dan Amar bin ‘Ash, Yazid bin Abi Sufyan dan kemudian
Muawiyah bin Abi Sufyan.
Sewaktu berita gerakan balatentara ini sampai kepada Kaisar
Romawi, ia menasihatkan para menteri dan jenderal-jenderalnya agar berdamai
saja dengan orang-orang Islam dan tidak melibatkan diri dalam peperangan yang
akan menimbulkan kerugian saja. Tetapi para menteri dan jenderal-jenderalnya
dengan gigih bersikeras hendak meneruskan perang sambil berkata: “Demi Tuhan,
akan kita layani Abu Bakar itu, agar ia tak mampu mendatangkan pasukan
berkudanya ke negeri kita … ! “
Mereka menyiapkan tidak kurang dari 240 ribu tentara untuk
peperangan ini. Pemimpin-pemimpin pasukan tentara Islam mengirimkan gambaran
tentang situasi gawat ini kepada Khalifah. Karenanya Abu Bakar berkata: “Demi
Allah semua kekhawatiran dan keragu-raguan mereka akan kusembuhkan dengan
kedatangan Khalid!” “Penyembuh kekhawatiran ini”, (yakni kekhawatiran akan
hilangnya disiplin, pembangkangan dan kemusyrikan) ialah perintah berangkat ke
Syam dari Khalifah kepada Khalid untuk mengepalai seluruh pasukan Islam yang
sudah mendahuluinya berada di sana. Dan alangkah cepatnya Khalid mematuhi
perintah itu, ia segera menyerahkan pimpinan di Irak kepada Mutsanna bin
Haritsah, dan dengan cepatnya ia berangkat bersama prajurit-prajurit
pilihannya, hingga sampai ke tempat orang-orang Islam di negeri Syam. Dengan
keahliannya yang iatimewa, dalam waktu singkat dilaksanakannya penyusunan
pasukan Islam dengan menertibkan posisinya.
Di medan perang dan sebelum pertempuran dimulai, ia berdiri di
tengah-tengah prajurit Islam berpidato Berkatalah ia sesudah memuji Allah
dan bersyukur kepada-Nya: “Hari ini adalah hari-hari Allah. Tak pantas kita di
sini berbangga-bangga dan berbuat durhaka …. Ikhlaskanlah jihad kalian, dan
harapkan ridla Allah dengan amalmu! Mari kita bergantian memegang pimpinan,
yaitu secara bergiliran. Hari ini salah seorang memegang pimpinan, besok yang
lain, lusa yang lain lagi, sehingga seluruhnya mendapat kesempatan memimpin …
!”
“Hari ini adalah hari-hari.Allah . . . !” Alangkah hebatnya
kata-kata itu dari semula, menggugah. “Tak pantas kita di sini,
berbangga-bangga dan durhaka . . . !” Yang lebih menggugah lagi ialah
kerendahan hati yang amat sempurna.
Tidak kurang bijaksananya panglima besar ini yang dengan rendah
hati tidak mengemukakan diri. Sekalipun Khalifah telah mengangkatnya untuk
mengepalai seluruh pasukan tentara dengan membawahi para panglima tetapi karena
ia tidak ingin jadi pembantu syetan atas pribadi-pribadi shahabatnya, ia pun
sedia turun dari pucuk jabatan yang telah dipercayakan Khalifah secara mutlak,
dan dijadikannya bergiliran ….
Hari ini seorang Amir …. besok Amir yang kedua . . . dan lusa
Amir yang lain pula, dan begitulah seterusnya ….
Balatentara Romawi, baik melihat besar jumlahnya maupun cukupnya
perlengkapan, merupakan suatu yang sangat mengecutkan. Dan pemimpin-pemimpin
mereka yakin bahwa waktu berada di pihak Kaum Muslimin, dan bahwa
berlarut-larutnya peperangan dan banyaknya medan tempur akan membantu
kemenangan yang mantap bagi Kaum Muslimin. Oleh karena itu mereka memutuskan
untuk menghimpun seluruh kekuatan mereka pada suatu medan tempur saja, dengan
mempersiapkan satu lapangan jebakan bagi orang-orang Arab.
Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang Islam pun sebelum
kedatangan Khalid bin Walid merasa gentar dan cemas, menyebabkan rasa gelisah
dan keluh kesah memenuhi jiwa mereka. Tetapi iman mereka membuat enteng segala
pengabdian dalam suasana gelap gulita seperti itu dan tiba-tiba fajar harapan
dan kemenangan meliputi mereka dengan cahayanya.
Bagaimanapun hebatnya orang-orang Romawi dan balatentaranya,
namun Abu Bakar telah berkata, sedang ia mengetahui benar keadaan
orang-orangnya: “Khalid akan menyelesaikannya . . . !” dan tukasnya lagi:
“Demi Allah segala kekhawatiran mereka akan kulenyapkan dengan Khalid! Biarkan
orang-orang Romawi dengan segala kehebatannya itu datang! Bukankah bagi Kaum
Muslimin ada Tukang Pukulnya?”
Ibnul Walid mempersiapkan tentaranya, dibagi-baginya kepada
beberapa kesatuan besar. Diaturnya langkah-langkah taktik dan strategi baru
untuk menyerang dan bertahan, untuk menandingi taktik-taktik Romawi, seperti
yang telah dialaminya dari kawan-kawannya orang Persi di Irak. Dilukiskannya
pula setiap kemungkinan dari peperangan ini.
Anehnya peperangan itu telah berjalan tepat seperti yang
digariskan Khalid dan diharapkannya. Langkah demi langkah, gerakan demi
gerakan, sehingga tampaknya akan terbukti seandainya diramalkannya banyaknya pukulan
pedang di pertempuran itu, perhitungannya tak akan keliru! Setiap pancingan
yang dinanti-nantikannya dari orang-orang Romawi, mereka lakukan. Setiap
pengunduran diri yang diramalkannya, betul-betul mereka perbuat.
Sebelum menerjuni kancah peperangan, ada satu hal yang sedikit
mengganggu fikirannya, yaitu kemungkinan sebagian anggota pasukannya melarikan
diri, terutama mereka yang baru saja masuk Islam, sesudah mereka menyaksikan
kehebatan dan keseraman tentara Romawi.
Rahasia kemenangan-kemenangan iatimewa yang diperoleh Khalid
dalam setiap peperangan, ialah satu hal yaitu “tsabat” artinya tetap tabah dan
berdisiplin. la memandang bahwa larinya dua tiga orang prajurit dari pasukan,
akan menyebarkan kepanikan dan kekacauan di seluruh kesatuan yang berakibat
fatal, suatu bencana yang seluruh kesatuan musuh sendiri belum tentu dapat
menimbulkannya. Oleh sebab itu tindakannya amat tegas dan keras sekali terhadap
mereka yang membuang senjata dan berpaling melarikan diri.
Maka pada pertempuran ini sendiri yaitu pertempuran,Yarmuk,
sesudah seluruh pasukannya mengambil posisinya, dipanggilnya
perempuan-perempuan Muslimin dan untuk pertama kalinya diberinya senjata.
Mereka diperintahkannya untuk berada di belakang barisan pasukan Muslimin di
setiap penjuru, sambil katanya kepada mereka: “Siapa yang melarikan diri,
bunuhlah saja!” Sungguh, suatu akal bijak, yang membuahkan hasil sebaik-baiknya.
Dekat sebelum pertempuran berlangsung, panglima Romawi meminta
Khalid tampil ke depan, karena ia ingin berbicara dengannya. Khalid pun
muncullah hingga kedua mereka berhadap-hadapan di atas punggung kuda
masing-masing, yakni pada suatu lapangan kosong di antara kedua pasukan besar.
Panglima pasukan Romawi yang bernama Mahan itu pun
berkata:
“Kami mengetahui, bahwa yang mendorong kalian ke luar dari
negeri kalian tak lain hanyalah kelaparan dan kesulitan …. Jika kalian setuju,
saya beri masing-masing kalian 10 dinar lengkap dengan pakaian dan makanan,
asalkan kalian pulang kembali ke negeri kalian. Di tahun yang akan datang saya
kirimkan sebanyak itu pula … !
Mendengar itu, bukan main marahnya Khalid, tapi ditahannya,
sambil menggertakkan gigi ia menganggap suatu kekurangajaran dalam kata-kata
panglima Romawi itu . . . , lalu diputuskannya akan menjawabnya dengan kata-kata
yang sesuai, maka berucaplah ia:
“Bahwa yang mendorong kami keluar dari negeri kami, bukan karena
lapar seperti yang anda sebutkan tadi, tetapi kami adalah satu bangsa yang
biasa minum darah. Dan kami tahu benar, bahwa tak ada darah yang lebih manis dan
lebih baik dari darah orang-orang Romawi, karena itulah kami datang!”
Panglima Khalid menggertakkan kekang kudanya, sambil kembali ke
pasukannya, diangkatnya bendera tinggi-tinggi memberitahukan dimulainya
pertempuran . . . .
“Allahu Akbar… , berhembuslah angin surga!” Balatentaranya pun
maju menyerbu laksana peluru yang ditembakkan. Dan pertempuran berlangsung
mencapai puncaknya Yang tak ada tandingannya. Orang-orang Romawi datang menghadang dengan pasukan-pasukan besar yang menggunung . . . . Tapi nyata dan
jelas bagi orang-orang itu sesuatu yang tidak mereka duga-duga dari Kaum
Muslimin. Pahlawan-pahlawan itu telah melukiskan gambar perjuangan yang
mengagumkan dengan pengurbanan dan keteguhan hati mereka. Itu salah seorang
dari mereka sedang mendekati Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah r.a. sementara
pertempuran berkecamuk itu sembari berkata: “Aku sudah bertekad mati syahid,
apakah anda mempunyai pesan penting yang akan kusampaikan kepada Rasulullah,
bila aku menemui nanti?” Jawab Abu ‘Ubaidah: “Ada, katakan kepada beliau: Ya
Rasulallah, sesungguhnya kami telah menemukan bahwa apa yang dijanjikan Allah
kepada kami, memang benar!”
Laki-laki itu pun berlalulah maju menyerang bagai anak panah
lepas dari busurnya . . ., ia menyerbu ke tengah-tengah pertempuran dahsyat,
merindukan tempat peraduan dan pembaringannya. Ia menetak dengan sebilah
pedang, ia dipukul oleh seribu pedang, sampai ia naik mati syahid . . .!!
Dan ia adalah ‘Ikrimah bin Abi Jahal … ! Benar anak Abu Jahal.
Ia berseru kepada orang-orang Islam, sewaktu tekanan orang Romawi semakin berat
atas mereka, katanya dengan suara lantang: “Sungguh aku telah lama memerangi
Rasulullah saw. di masa yang lalu sebelum aku ditunjuki Allah masuk Islam,
apakah pantas aku lari dari musuh-musuh Allah hari ini?”
Kemudian ia berteriak: “Siapakah yang bersedia dan berjanji
untuk mati … !’
Sekelompok Muslimin berjanji kepadanya untuk berjuang sampai
mati, kemudian mereka sama menyerbu ke jantung pertempuran, bukan hanya mencari
kemenangan tetapi kalau kemenangan itu harus ditebus oleh jiwa raganya, mereka
sudah siap untuk mati syahid . . .. Allah menerima pengurbanan dan bai’at
mereka, mereka semuanya mati syahid …. I
Ada pula orang yang luka-luka berat, maka dibawakan orang air,
ia memberi isyarat kepada temannya yang berdekatan agar diberi lebih dulu
karena lukanya lebih berat. Dan sewaktu orang ini diberi air, ia mengisyaratkan
pula agar diberikan kepada yang lain, sedang waktu didatangi orang lain itu, ia
menunjuk kepada temannya … dan begitulah seterusnya …. Demikianlah yang terjadi
… sampai rela menderita kehausan sewaktu ruh-ruh mereka melayang . .. . Inilah
contoh teladan yang paling indah tentang pengurbanan dan mendahulukan
kepentingan kawan.
Peperangan Yarmuk benar-benar tempat pengurbanan yang jarang
tandingannya. Dan di antara monumen-monumen tebusan yang mena’jubkan itu, yaitu
monumen istimewa yang dibina oleh kematian-kemauan keras, melukiskan karya
Khalid ibnul Walid sedang mengerahkan 100 orang tentaranya tidak lebih. Mereka
menyerbu sayap kiri Romawi yang jumlahnya tidak kurang dari 40 ribu orang, dan
Khalid berseru kepada seratus orang yang bersamanya itu: “Demi Allah yang
diriku di tanganNya! Tak ada lagi keshabaran dan ketabahan yang tinggal pada
orang-orang Romawi, kecuali apa yang kamu lihat! Sungguh, aku mengharap Allah
memberikan kesempatan kepada kalian untuk menebas batang-batang leher mereka …
!”
Seratus . . . masuk menerobos ke dalam 40 ribu . . . ? Kemudian
mereka menang – . – ? Tetapi, kenapa tercengang? Bukankah hati-hati mereka
penuh keimanan kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar? Dan iman kepada
Rasul-Nya saw. yang benar lagi terpercaya? Iman kepada ketentuan Allah, yaitu
hukum-hukum hidup yang terbanyak membawa kebaikan, petunjuk dan martabat.
Bukankah Khalifah mereka ash-Shiddiq r.a. (yang lurus dan
benar), yang benderanya sekarang telah menjulang tinggi di dunia, tapi ia
sendiri di Madinah, ibukota baru bagi dunia baru, masih sedia memerah susu
kambing untuk janda kematian suami, dan dengan kedua tangannya mengadukkan roti
bagi anak-anak yatim piatu . . . ?
Dan bukankah panglima mereka adalah Khalid ibnul Walid, Penawar
kecemasan, Pembasmi kesombongan, kekerasan, kedurhakaan, permusuhan, dan
Pedang Allah yang terhunus yang akan menebas unsur-unsur perselisihan,
kebencian dan kemusyrikan . . . ? Bukankah itu memang demikian? Karena itu, berhembuslah
wahai angin kemenangan! Bertiuplah oh kekuatan perkasa, yang menang, dan yang
kuat kuasa! Allah jugalah di atas segala-galanya.
Keluarbiasaan Khalid telah mengagumkan para panglima Romawi dan
komandan pasukannya, yang mendorong salah seorang di antara mereka, Georgius
namanya untuk mengundang Khalid dalam saat-saat peperangan berhenti agar tampil
kepadanya.
Di kala keduanya sudah bertemu, panglima Romawi itu menghadapkan
percakapannya kepada Khalid, katanya:
“Tuan Khalid . . . , jujurlah anda kepadaku, jangan berbohong,
sebab orang merdeka tak pernah bohong! Apakah Allah telah menurunkan sebilah
pedang kepada Nabi anda dari langit, lalu pedang itu diberikannya kepada anda,
hingga setiap anda hunuskan terhadap siapa pun, pedang tersebut pasti
membinasakannya?”
Jawab Khalid: “Oh, tidak!”
Orang itu bertanya pula: “Mengapa anda dinamai Pedang Allah?”
Jawab Khalid: “Sesungguhnya Allah telah mengutus RasulNya
kepada kami, sebagian kami ada yang membenarkannya, dan sebagian pula
mendustakannya. Aku dulunya termasuk orang yang mendustakannya, sehingga
akhirnya Allah menjadikan hati kami menerima Islam, dan memberi petunjuk kepada
kami melalui Rasul-Nya, lalu kami berjanji setia kepadanya
Kemudian Rasul mendo’akanku, dan beliau berkata kepadaku:
“Engkau adalah pedang Allah di antara sekian banyak pedang pedang-Nya”.
Demikianlah, maka aku diberi nama …. Pedang Allah “
kami menerima Islam, dan memberi petunjuk kepada kami melalui
Rasul-Nya, lalu kami berjanji setia kepadanya
—
Kepada apa anda sekalian diserunya?
—
Kepada mentauhidkan Allah dan kepada Islam.
—
Apakah orang-orang yang masuk Islam sekarang akan mendapat pahala dan ganjaran
seperti anda juga?
— Memang, bahkan lebih Bagaimana dapat jadi, padahal anda
sudah lebih dahulu memasukinya?
— Karena sesungguhnya kami telah hidup bersama Rasullah
saw., kami telah melihat tanda-tanda kerasulan dan mu’- jizatnya, dan
sewajarnyalah bagi setiap orang yang telah
melihat seperti yang kami lihat dan mendengar seperti yang kami
dengar, akan masuk Islam dengan mudah . . . Adapun anda, wahai
orang-orang yang belum pernah melihat dan mendengarnya, lalu anda beriman
kepada yang ghaib, maka pahala anda lebih berlipat ganda dan besar, bila anda
membenarkan Allah dengan hati ikhlas serta niat yang suci.
Panglima Romawi itu pun berseru, sambil memajukan kudanya ke
dekat Khalid dan berdiri di sampingnya: “Ajarkanlah kepadaku Islam itu, hai
Khalid . . . !” Maka masuk Islamlah panglima itu . . . dan shalat dua raka’at,
satu-satunya shalat yang sempat dilakukannya . . . . Kedua pasukan balatentara
itu sudah mulai bertempur lagi. Dan panglima Romawi Georgius sekarang berperang
di pihak Muslimin, dan mati-matian menuntut syahid, sampai ia mencapainya dan
berbahagia mendapatkannya . . . .
Arkian, sekarang akan kami ketengahkan suatu kebesaran
kemanusisan dalam suatu penampilan termegah ….
Selagi Khalid memimpin balatentara Islam dalam peperangan yang
banyak menimbulkan qurban ini, selagi ia merenggutkan kemenangan gemilang dari
cengkeraman tentara Romawi secara luar biasa, saat itulah ia tiba-tiba
dikejutkan oleh sepucuk surat yang datang dari Madinah, dibawa oleh seorang
kurir Khalifah yang datang dari Khalifah baru, Amirul Mu’minin Umar bin
Khatthab . . . . Dalam surat tersebut tercantum salam penghargaan ‘Al-faruq”
kepada seluruh pasukan Islam, berita berkabungnya terhadap Khalifah Rasulullah
saw. Abu Bakar Shiddiq r.a. yang telah wafat. Kemudian putusannya
memberhentikan Khalid dari pimpinan pasukan dan mengangkat Abu ‘Ubaidah bin
Jarrah sebagai gantinya.
Khalid membaca surat itu dengan tenang . . . dengan memohonkan
rahmat untuk Abu Bakar serta taufiq untuk Umar.
Dimintanya kepada si pembawa surat agar tidak menceriterakan
kepada siapapun isi surat tersebut, menyuruhnya tetap tinggal di suatu tempat
dan tidak meninggalkannya, serta tidak berhubungan dengan siapa pun.
la memulai lagi meneruskan pimpinan pertempuran, sambil
menyembunyikan berita kematian Abu Bakar dan perintah-perintah Umar sampai
kemenangan betul-betul menjadi kenyataan, yang waktu itu telah dekat sekali
seolah-olah telah berada di tangan ….
Lonceng kemenangan pun telah berbunyi, orang-orang Romawi telah
mengundurkan diri . . . maka menghadaplah pahlawan itu kepada Abu ‘Ubaidah
seraya memberi hormat sebagaimana layaknya seorang prajurit terhadap
panglimanya . . . . Abu ‘Ubaidah mula-mula hanya menyangka sebagai olok-olok
dari seorang panglima yang,telah mewujudkan kemenangan yang tak
diduga-duga …. Tetapi tak lama kemudian ia melihat suatu kenyataan yang
sesungguhnya, lalu diciumnya Khalid di antara kedua matanya dan memuji
kebesaran jiwa dan akhlaqnya.
Ada lagi riwayat lain dalam sejarah yang mengatakan, bahwa surat
yang dikirimkan oleh Amirul Mu’minin Umar ditujukan kepada Abu ‘Ubaidah berita
tersebut disimpan saja oleh Abu ‘Ubaidah terhadap Khalid sampai perang berakhir
….
Riwayat manapun yang benar, yang ini atau yang itu, yang penting
bagi kita ialah sikap Khalid pada kedua kondisi tersebut, yang mengungkapkan
bahwa benar-benar ia suatu pribadi yang mengagumkan, penuh keagungan dan
kemuliaan. Dan setahu penulis, tak satu pun dalam seluruh kehidupan Khalid, suatu
kejadian yang menjelaskan keikhlasannya yang mendalam dan kejujurannya yang
teguh, melebihi apa yang ditunjukkan periatiwa ini.
Sama saja baginya, apakah jadi panglima, atau hanya prajurit
biasa. Sesungguhnya jadi pemimpin seperti halnya prajurit masing-masing membawa
kewajiban yang harus ditunaikankannya terhadap Allah yang ia imani, terhadap
Rasul yang ia bai’at, terhadap Agama yang telah dipeluknya, dan ia bernaung di
bawah panji-panjinya ….
Baktinya yang diberikan sebagai amir yang memerintah, sama
dengan darmanya yang dibaktikannya sebagai prajurit yang dititah. “Kemenangan
besar terhadap nafsu ini dipersiapkan baginya sebagai juga bagi orang lainnya,
oleh contoh teladan dan perangai para Khalifah, yang memegang tampuk pimpinan
Ummat Islam waktu itu . . . . Abu Bakar dan Umar .. . dua nama, yang bila saja
lidah bergerak menyebutnya, maka terbayanglah dalam hati segala sifat
keutamaan manusia dan kebesarannya ….
Sekalipun hubungan belas kasih seolah-olah hilang tercecer
antara Umar dan Khalid, namun kebersihan jiwa Umar, keadilan, ketaqwaan dan
kebesaran pribadinya yang luar biasa, tak sebenang pun diragukan oleh Khalid.
Karena itu pula, tak ada alasan untuk meragukan
keputusan-keputusan yang diambilnya, karena hati nurani yang mengeluarkannya,
telah sampai ke puncak keshalehan, kelurusan, keikhlasan don kejujuran, sejauh
yang dapat dicapai oleh manusia yang berhati bersih dan terpimpin.
Tak ada sedikit pun maksud jelek Umar terhadap pribadi Khalid
itu, hanya ia merasa keberatan terhadap pedangnya yang terlalu cepat dan tajam
. . . . Hal ini telah dibayangkannya sewaktu ia mengusulkan pemberhentian
Khalid kepada Abu Bakar, menyusul terbunuhnya Malik bin Nuwairah, katanya:
“Sesungguhnya pada pedang Khalid itu ada rohaqnya”,- artinya
kelancangan, ketajaman dan ketergesaan.
Lalu dijawab oleh KhaliIah ash-Shiddiq: “Aku tak akan menyarungkan
pedang, yang telah dihunus Allah atas orang-orang kafir . . . “
Umar tidak mengatakan bahwa rohaq (kecepatan bertindak) pada
Khalid . . . hanya menjadi sifat rohaq itu sebagai sifat pedangnya bukan
pribadi orangnya. Kata-kata itu tidak saja mengungkapkan adab sopan santun,
tapi juga penilaian baiknva terhadap diri Khalid ….
Kehidupan Khalid adalah perang sejak lahir sampai mati.
Lingkungannya, pertumbuhannya, pendidikannya dan seluruh kehidupannya sebelum
dan sesudah Islam, seluruhnya merupakan arena bagi
seorang pahlawan berkuda yang lihai lagi ditakuti. Kemudian bahwa kegigihannya
di masa silam sebelum Islam, peperangan-peperangan yang diterjuninya menentang
Rasul dan shahabatnya, dan pukulan-pukulan pedangnya di masa syirik yang
menjatuhkan kepala-kepala orang-orang yang beriman serta kening-kening para shahabat
peribadat, semuanya itu merupakan beban yang berat bagi jiwa dan kalbunya.
Maka sekarang dijadikannya pedangnya alat yang ampuh penebus
masa lalu, dengan- memancung habis segala tonggak kemusyrikan berlipat ganda
hebatnya dari apa yang telah pernah dilakukannya terhadap Islam. Dan barangkali
anda masih ingat kalimat yang pernah kami cantumkan di permulaan ceritera ini,
yang terlompat dari mulutnya sewaktu berbicara dengan Rasulullah saw.: “Ya
Rasulallah . . . . Mohon anda mintakan aku ampun terhadap semua yang telah
kulakukan, berupa menghalangi jalan Allah!”
Sekalipun Rasul telah menjelaskan bahwa Islam telah mema’afkan
semua masa lalu, namun ia berusaha untuk mendapatkan janji dari Rasulullah
selagi ia masih hidup agar beliau memohonkan ampun kepada Allah atas segala
perbuatannya di masa silam itu.
Dan pedang yang sedang berada di tangan seorang panglima
berkuda istimewa seperti Khalid, kemudian tangan yang menggenggam pedang itu
digerakkan oleh hati yang bergelora dengan kehangatan pensucian dan penebusan,
serta dipenuhi dengan pembelaan mutlak terhadap agama yang masih dikelilingi
berbagai persekongkolan jahat dan permusuhan, sungguh sulitlah bagi pedang ini
untuk melepaskan diri sama sekali dari pembawaannya yang keras dahsyat, dan
ketajamannya yang memutus ….
Beginilah keadaannya, kita lihat pedang Khalid membuat kesukaran
bagi pemiliknya.
Maka sewaktu selesainya pembebasan kota Mekah, Nabi saw.
mengutusnya kepada sebagian kabilah yang berdekatan dengan negeri Mekah, sambil
mengatakan kepadanya: “Aku mengutusmu sebagai da’i — penyeru ummat — bukan
sebagai penyerang mereka”, rupanya pedangnya itu telah menguasai dirinya yang
mendorongnya ke peranan seorang penyerang dan terlepas dari peranan seorang
da’i sebagaimana telah diwasiatkan Rasul kepadanya, Nabi merasa kesal dan
bersedih sewaktu tindakan Khalid disampaikan kepadanya dan sambil berdiri
menghadap kiblat, beliau mengangkatkan tangannya, memohon ampun kepada Allah
dengan ucapannya:
“Wahai ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu, dari tindakan yang
telah dilakukan Khalid”; lalu diutusnya Ali kepada mereka untuk memberikan
tebusan ganti rugi, terhadap darah dan harta mereka.
Kata setengah orang, Khalid membela dirinya dengan alasan,
Abdullah bin HudzaIah as Sahmi mengatakan kepadanya bahwa Rasulullah
memerintahkan dia untuk memerangi mereka karena mereka menolak Islam ….
Khalid memiliki tenaga di luar tenaga manusia biasa . . . .
Tenaga itu mendorongnya sekuat-kuatnya untuk menghancurkan seluruh dunia
lamanya yang menyiksa hatinya . . . . Kalaulah kita mau memahaminya, bagaimana
ia meruntuhkan berhala “Uzza ketika dialah yang dikirim Nabi untuk
meruntuhkannya! Dan sekiranya kita melihat bagaimana ia menghancurkan bangunan
batu tersebut, akan kita lihat seorang laki-laki seolah-olah sedang memerangi
seantero tentara. Ditebasnya semua kepada oknum-okmunnya dan dibinasakan
seluruh barisannya dengan kematian.
la menghantam dengan tangan kanannya, tangan kirinya, dengan
kakinya sambil berteriak kepada runtuhan yang bertebaran dan debu yang
berjatuhan: “Ya ‘Uzza kufranak, la Subhanak”, Hai ‘Uzza, keparat kamu, persetan
akan kebesaranmu! Sungguh, kulihat Allah telah menghinakanmu!”
Kemudian patung itu dibakarnya dengan menyalakan api di
tanahnya. Setiap ciri-ciri kemusyrikan dan sisa-sisanya seperti ‘Uzza pada
pandangan Khalid tak ada tempatnya lagi di Islam baru, di mana Khalid berdiri di
bawah benderanya ….
Khalid tak melihat alat lain untuk membersihkannya, kecuali
pedangnya! Atau kalau tidak bentakannya: “Keparat kau hai “Uzza, persetan akan
kebesaranmu! Sungguh, kulihat Allah telah menghinakanmu!”
Tetapi kita sendiri, karena apa yang kita harapkan tidak beda
dengan yang diharapkan sayyidina Umar, seandainya pedang Khalid tidak bertindak
keras kita akan selalu mengulang-ulangi ucapan Amirul Mu’minin yang berbunyi:
“Tak seorang wanita pun akan sanggup melahirkan lagi laki-laki seperti Khalid …
!”
Sewaktu ia meninggal dunia Umar menangis sejadi-jadinya.
Kemudian umum dapat mengetahui, bahwa Umar bukan menangis hanya karena
kehilangannya semata, tetapi yang beliau tangisi ialah lenyapnya kesempatan
untuk mengangkatnya kembali memegang pucuk pimpinan tentara Islam, sesudah berkurangnya
kefanatikan manusia yang berlebih-lebihan kepadanya. Karena sebetulnya sudah
agak lama Umar bertekad memulihkan kepemimpinannya itu dan menjernihkan
sebab-sebab pemberhentiannya, kalau tidaklah maut datang menjemput pahlawan
besar itu untuk bersegera pulang ke tempat kembalinya di surga . . . .
Bukankah ia tidak pernah beriatirahat seperti itu di bumi? Bukankah telah
datang masanya bagi jasad yang selalu bekerja keras itu, untuk tidur sekejap?
la lah pribadi yang sering dilukiskan oleh shahabat-shahabat maupun oleh musuh-musuhnya,
dengan kata-kata: “Orang yang tidak pernah tidur dan tidak membiarkan orang
lain tidur …. !
Adapun ia sendiri, seandainya dibolehkan memilih, tentu ia akan
memilih agar Allah menambah usianya agar dapat meneruskan perjuangan
meruntuhkan semua bangunan-bangunan lapuk, dan agar dapat menambah amal-amal
dan jihadnya dalam Islam ….
Semangat juang dan keharuman namanya akan selalu dikenang
sepanjang masa, selama kuda-kuda perang masih meringkik, mata-mata pedang
masih berkilatan, dan selama panji-panji dan bendera tauhid masih berkibaran
di atas pundak bala tentara Islam ….
Sungguh dia pernah berkata:
“Tak ada yang dapat menandingi kegembiraanku, bahkan lebih
gembira dari saat malam pengantin, atau di saat dikaruniai bayi, yaitu suatu
malam yang sangat genting, di mana aku dengan ekspedisi tentara bersama
orang-orang Muhajirin menggempur kaum musyrikin di waktu shubuh . . .! “
Oleh karena itulah ada sesuatu yang selalu merisaukan fikirannya
sewaktu masih hidup, yaitu kalau-kalau ia, mati di atas tempat tidur, padahal
ia telah menghabiskan seluruh umurnya di atas punggung, kuda perangnya, dan di
bawah kilatan pedangnya.
Ia lah orangnya yang pernah berperang bersama Rasulullah saw. Ia
yang telah menundukkan kaum murtad. Ia yang telah membumi ratakan takhta
kerajaan Persi dan Romawi. Ia yang telah melompat menjelajahi bumi di Irak
langkah demi langkah .. .. hingga dimenangkannya untuk Islam dan di Syria
setapak demi setapak pula, sampai semuanya dipersembahkannya ke haribaan Islam.
la adalah seorang panglima, dengan kesukaran hidup seorang
prajurit serta rendah hatinya . . . . Sebaliknya seorang prajurit dengan
tanggung jawab seorang panglima dengan teladannya! seorang pahlawan perang yang
hatinya risau kalau-kalau ia mati di atas tempat tidurnya. Ketika itu ia
berkata, sedang air matanya meleleh keluar:
“Aku telah ikut serta dalam pertempuran di mana-mana. seluruh
tubuhku penuh dengan tebasan pedang, tusukan tombak serta tancapan panah ….
Kemudian inilah aku tidak sebagai yang kuingini, mati di atas
tempat tidur, laksana matinya seekor unta! Maka tidak akan tertidur mata
orang-orang pengecut”.
Itulah kata-katanya, yakni kata-kata yang tak akan diucapkan
seseorang dalam suasana demikian, kecuali seorang laki-laki jantan seperti dia!
Di saat-saat ia hampir menghembuskan nafasnya yang penghabisan, ia ucapkan
wasiatnya itu ….
Tahukah anda kepada siapa la berwasiat?
Yaitu kepada Umar bin Khatthab sendiri …
Tahukah anda kekayaan apa yang ditinggalkannya? Hanya kuda
perang dan pedangnya.
Kemudian apa lagi?
Yang lain tak ada lagi sesuatu barang berharga yang dapat
dinikmati atau dimiliki orang.
Demikian itu, disebabkan seumur hidupnya tak pernah ia dipengaruhi
keinginan, kecuali menikmati kemenangan dan berjaya mengalahkan musuh
kebenaran.
Tak suatu pun kesenangan dunia yang mempengaruhi keinginan
nafsunya. Oh, ada satu, yaitu suatu barang yang sangat hati-hati sekali dan
mati-matian ia memeliharanva. Barang itu berupa kopiah. Pernah suatu ketika,
kopiah itu terjatuh dalam perang Yarmuk lalu ia menyusahkan dirinya dan orang
lain untuk mencarinya. Ketika orang lain mencelanya karena itu, maka ujarnya:
“Di dalamnya terdapat beberapa helai rambut dari ubun-ubun Rasulullah”,
Dan akhirnya jenazah pahlawan besar ini keluar dari rumahnya
diusung oleh para shahabatnya. Ibu dari sang pahlawan memandangnya dengan kedua
mata yang bercahaya memperlihatkan kekerasan hati tapi disaput awan dukacita,
lalu melepasnya dengan kata-kata:
“Jutaan orang tidak dapat melebihi keutamaanmu …. Mereka gagah
perkasa tapi tunduk di ujung pedangmu …. Engkau pemberani melebihi singa betina
….
Yang sedang mengamuk melindungi anaknya …. Engkau lebih dahsyat
dari air bah ….
Yang terjun dari celah bukit curam ke lembah ….
Umar mendengar ucapan tersebut, maka hatinya bertambah duka dan
terharu, dan air mata beliau semakin jatuh berderai, lalu katanya: “Benar
ucapannya itu . . . ! Demi Allah sungguh-sungguh demikian ……
Dan tinggallah pahlawan itu di pembaringannya. Para shahabatnya
tegak berdiri dengan khusuknya; dunia sekeliling mereka hening, tenang dan sepi
. . . . Keheningan yang mengharukan itu, tiba-tiba dipecahkan oleh bunyi
ringkik dan dengus kuda yang datang, sebagaimana yang dapat kita bayangkan,
sesudah melepaskan tali kekangnya, segera mendompak dan melompat lalu berlari
melintasi jalan-jalan kota Madinah menyusul dari belakang jenazah tuannya,
pemilik dan penunggangnya, sementara keharuman dan kewangian jenazah itu
semerbak membawanya ke arah tujuan ….
Sewaktu kuda itu sampai ke dekat kumpulan orang-orang yang
sedang termenung menghadapi permukaan kubur yang masih basah,
digerak-gerakkannya kepalanya bagaikan mengibarkan panji perang, disertai
dengan dengusan yang merendah .. . tak ubahnya seperti yang dilakukannya selagi
pahlawannya masih hidup menaiki punggungnya, pergi bertempur menggoncangkan
istana-istana dan takhta kerajaan Persi dan Romawi, menghilangkan segala
angan-angan keberhalaan dan kedurhakaan, dan mengikis habis segala kekuatan
kemusyrikan dan kemunduran yang merintangi jalan Islam ….
Ia terhenti sembari matanya nanap menatap kubur tak berkisar
sedikit pun. Digoyang-goyangkannya kepalanya naik turun, seakan-akan
melambai-lambaikan kepada tuan dan pahlawannya, memberi hormat dan
menyampaikan salam perpisahan ….
Kemudian ia tertegun pula, dengan kepala terangkat ke atas
disertai kening meninggi . . . , dan dari cekuk di bawahnya mengalirlah air
matanya yang deras tak terbendung lagi.
Kuda ini telah diwakafkan Khalid bersama pedangnya untuk jalan
Allah. Tetapi adakah orang berkuda lainnya yang sanggup menungganginya sesudah
Khalid … ? Maukah ia merendahkan punggungnya bagi orang lain? Hai, pahlawan
yang selalu jaya, wahai fajar di setiap malam … !
Sesungguhnya kamu mengangkat tinggi moral pasukanmu, dengan
ucapan setiap bergerak maju:
“Di kala shubuh datang menjelma, pejalan-pejalan malam memuji
suka”. (Hendak mencapai kesenangan, haruslah dengan bersusah payah lebih
dahulu).
Hingga kata-katamu itu telah menjadi kata-kata bersayap Nah,
inilah kamu, telah kamu selesaikan perjalanan malammu! Maka puji-pujianlah
untuk waktu pagi-pagimu, wahai Abu Sulaiman! Sebutan namamu amat mulia, harum
mewangi, kekal abadi, wahai Khalid! Dan biarkanlah kami . . . mengulang-ulangi bersama
Amirul Mu’minin ucapan kata-katanya yang sedap, manis dan indah yang
digunakannya untuk meratapi dan melepas kepergianmu:
“Rahmat Allah bagi Abu Sulaiman”.
‘Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada yang di dunia”. “Ia
hidup terpuji dan berbahagia setelah mati”.
60 Sahabat Nabi: Khalid Ibnul Walid, Ia Selalu Waspada, Dan Tidak Membiarkan Orang Lengah Dan Alpa
Reviewed by Himam Miladi
on
May 04, 2014
Rating:
No comments:
Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini