60 Sahabat Nabi: Khalid Ibnul Walid, Ia Selalu Waspada, Dan Tidak Membiarkan Orang Lengah Dan Alpa


Keadaannya memang aneh. Dia lah yang dulunya menjadi pembunuh kejam yang menggentarkan Kaum Muslimin dalam perang Uhud, kemudian ia pula yang jadi komandan perang yang mengecutkan hari setiap penentang Islam di belakang hari … !

Marilah kita ceriterakan kiaahnya dari bermula. Tetapi dari permulaan yang mana, ya? Karena ia sendiri hampir tak tahu di mana kehidupannya bermula, kecuali di hari itu, di mana ia bersalaman dan berjabatan tangan dengan Rasulullah, berjanji dan bersumpah setia ….
Kalau sekiranya ia mampu, ia ingin sekali mengikia habis dari sejarah hidupnya semua periatiwa dan kejadian di hari-hari dan tahun-tahun yang telah berlalu ….

Kalau begitu, marilah kita mulai saja dari peristiwa yang me­ngesankannya . . . , saat-saat gemilang yang membahagiakan, di mana kalbunya tunduk kepada Allah, jiwanya menemukan sentuhan rahmat Allah Maha Rahman, Tuhan yang daripadaNya datang segala rahmat karunia. Jiwanya memancarkan kerinduan kepada Agama-Nya, kepada Rasul-Nya dan kepada keinginan mempertaruhkan nyawa sebagai syahid dalam membela kebenaran guna menanggalkan dan membuang jauh-jauh dari pundaknya semua dosa dan kekeliruannya di masa yang lalu dalam mempertahankan yang bathil.

Di suatu hari ia melakukan dialog dengan dirinya pribadi dan menggunakan fikiran sehat untuk merenungkan Agama baru, Yang panji-panji kebenarannya selalu bertambah cemerlang hari demi hari, semakin tinggi menjulang. Ia bermohon kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib, kiranya Ia mengulur­kan jalan petunjuk . . . , lalu bercahayalah ke dalam hatinya keyakinan yang menggembirakan. Ia berkata kepada dirinya: “Demi Allah, sungguh telah nyata bukti-buktinya … !
Sungguh laki-laki itu adalah Rasul . . . ! Lalu, sampai kapan … ?? Ah, aku akan pergi berangkat, demi Allah, aku akan masuk Islam. . . .”.

Nah, marilah kita dengarkan ia radhiallahu ‘anhu  men­ceriterakan perjalanannya penuh berkat kepada Rasulullah saw. dan keberangkatannya dari Mekah ke Madinah, guna mengambil tempatnya kelak dalam kafilah Kaum Muslimin:
“Aku menginginkan seseorang yang akan menjadi teman seperjalanan, lalu kujumpai Utsman bin Thalhah; kuceriterakan kepadanya apa maksudku, dan ia pun segera menyetujuinya. Kami ke luar berangkat bersama-sama waktu mendekati siang …. Sewaktu kami sampai di suatu dataran tinggi, tiba-tiba kami bertemu dengan ‘Amr bin ‘Ash.
Ia mengucapkan salam dan kami membalasnya. Kemudian ia bertanya: “Mau ke mana tuan-tuan ini?” Maka kami beritakan kepadanya maksud tujuan kami; ia balik memberitakan maksud­nya hendak menjumpai Nabi pula, hendak masuk Islam.

Maka berangkatlah kami bersama-sama sehingga sampai ke kota Madinah di awal hari bulan Safar tahun yang kedelapan Hijriyah. Di kala aku telah dekat dengan Rasulullah saw, aku segera memberi salam kenabiannya, Nabi pun membalas salamku dengan muka yang cerah. Aku pun masuk Islam dan mengucap­ kan syahadat yang haq.
Maka sabda Rasul: “Sungguh aku telah mengetahui bahwa anda mempunyai akal sehat, dan aku mengharap, akal sehat itu hanya akan menuntun anda kepada jalan yang baik . . .”. “Aku berjanji setia (bai’at) kepada Rasulullah, lalu kataku: “Mohon anda mintakan ampun untukku terhadap semua tindak­an masa laluku yang menghalangi jalan Allah . . .”.
Beliau menjawab:
“Sesungguhnya keIslaman itu telah menghapuskan segala perbuatan yang lampau. “
Kataku pula: “Sekalipun demikian ya Rasulallah Maka beliau pun mengucapakn do’a:
“Ya Allah, aku mohon engkau ampuni dosa Khalid ibnul Walid terhadap tindahannya menghalangi jalan-Mu di masa lalu. “
Sesudah itu datang pula ‘Amr bin Ash, kemudian Utsman bin Thalhah keduanya sama-sama memeluk Islam dan berjanji setia kepada Rasulullah”.

Adakah anda perhatikan ucapannya kepada Rasul: “Mohon anda mintakan ampun terhadap semua dosa-dosaku masa lalu dalam menghalangi jalan Allah?” Orang yang memperhatikan ucapan tersebut dengan mata lahir maupun mata bathinnya, akan dapat memahami dengan jelas apa yang belum diketahuinya dari riwayat hidup orang yang sekarang menjadi pahlawan Islam dan Pedang Allah ini …. !
Dan setelah sampai ke taraf-taraf tersebut dalam kiaah kehidupan Khalid, maka ucapannya itulah yang akan menjadi dalil dan alasan kita untuk memahami pendirian itu dan me­nafsirkannya ….

Adapun sekarang, Khalid yang telah masuk Islam dibawa oleh kesadarannya, tadinya kita lihat sebagai seorang penunggang dan penjinak kuda yang cekatan dari suku Quraiay. Kita saksikan ia sebagai seorang ahli siasat perang dari seluruh dunia Arab, Yang telah meninggalkan berhala pujaan nenek moyangnya dan kebanggaan kuno milik bangsanya. Kemudian sekarang tampil seiman, dan satu derap dengan perjuangan Rasul dan Kaum Muslimin sebagai seorang ahli di bawah naungan benderanya yang baru.

Taqdir Allah telah menentukannya akan bangkit berjuang di bawah panji-panji Nabi Muhammad saw. menegakkan kalimat tauhid …. Sekarang bersama Khalid, yang telah memeluk Islam, akan kita saksikan hal-hal yang menakjubkan . . .
Masih ingatkah anda, tiga orang syuhada pahlawan perang Muktah? Mereka ialah Zaid bin Haritsah, Ja’Iar bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah . . . . Mereka semuanya pahlawan perang Muktah di tanah Syria. Untuk keperluan peperangan ini orang-orang Romawi telah mengerahkan sekitar dua ratus ribu prajurit dan di sana pula Kaum Muslimin menunjukkan prestasi gemilang.

Dan masih ingatkah anda akan kata-kata Rasulullah saw. melipur duka ketika kematian mereka sebagai syuhada; tiga orang pahlawan perang Muktah, sewaktu beliau bersabda: “Panji perang di tangan Zaid bin Haritsah. Ia bertempur bersama panji­nya sampai ia tewas. Kemudian panji tersebut diambil Ja’Iar yang bertempur pula bersama dengan panjinya sampai ia gugur pula. Kemudian giliran Abdullah bin Rawahah memegang panji tersebut sambil bertempur maju, hingga ia gugur sebagai syahid pula”.
Sebenarnya ada dari pemberitaan Rasulullah ini yang masih ketinggalan, sengaja kami simpan untuk mengisi lembaran ber­ikut ini ….

Dan sisa yang ketinggalan itu ialah:
“Kemudian panji itu pun diambil alih oleh suatu pedang dari pedang Allah, lalu Allah membukakan kemenangan di tangan­nya”.
Siapakah kiranya pahlawan itu, Ia adalah Khalid ibnul Walid. Sebenarnya Khalid bin Walid yang segera ikut menerjunkan diri ke dalam perang Muktah sesudah masuk Islam ini hanyalah prajurit biasa saja, di bawah pimpinan panglima yang bertiga yang telah diangkat Rasul: Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawahah yang telah menemui syahidnya menurut urutan tersebut di medan perang yang dahsyat itu.

sesudah panglima yang ketiga tewas menemui syahidnya, dengan cepat Tsabit bin Arqam menuju bendera perang tersebut lalu membawanya dengan tangan kanannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi di tengah-tengah pasukan Islam agar barisan mereka tidak kacau balau dan agar semangat pasukan tetap tinggi …. Tak lama sesudah itu, dengan gesit ia melarikan kudanya ke arah Khalid, sembari berkata kepadanya:
“Peganglah panji ini, wahai Abu Sulaiman …

Khalid merasa dirinya sebagai seorang yang baru masuk Islam, tidak layak memimpin pasukan yang di dalamnya terdapat orang-orang Anshar dan Muhajirin yang telah lebih dulu masuk daripadanya. Sopan, rendah hati, arif bijaksana dan kelebihan­-kelebihan akhlaq lainnya, memang miliknya dan sewajarnya ada padanya.Ketika itu ia menjawab: “Tidak . . . tak usah aku yang memegang panji, andalah yang berhak memegangnya, anda lebih tua, dan telah menyertai perang Badar!”
Tsabit menjawab pula: “Ambillah, sebab anda lebih tahu muslihat perang dari aku, dan demi Allah aku tak akan meng­ambilnya, kecuali untuk diserahkan kepada anda!” Kemudian ia berseru kepada seluruh anggota pasukan Islam: “Sediakah kamu sekalian di bawah pimpinan Khalid . . . Mereka menjawab: “Setuju!”

Dengan gesit panglima baru ini melompati kudanya; di­dekapnya panji itu dan mencondongkannya ke arah depan dengan tangan kanannya, tak ubahnya hendak memecahkan semua pintu yang terkunci selama ini dan sudah datang saatnya buat didobrak dan diterjang melalui jalan panjang . .. , dari saat itulah baik selagi Rasul masih hidup maupun sesudah beliau waIat, kepahlawanannya yang luar biasa, mencapai titik puncak yang telah ditentukan Allah baginya . . . .

Pimpinan tentara sekarang berada di tangan Khalid, sesudah hasil pertempuran ditentukan. Korban dari fihak Kaum Muslimin banyak berjatuhan, tubuh-tubuh mereka berlumuran darah, sedang balatentara Romawi dengan bilangannya yang jauh lebih besar, terns maju laksana banjir yang menyapu medan.
Dalam situasi yang demikian, tak ada jalan dan taktik perang yang bagaimanapun, akan mampu merobah kesudahan pertempuran berbalik 180 derajat, yang menang jadi kalah dan yang kalah jadi menang. Dan satu-satunya yang dapat diharapkan dari seorang pahlawan, ialah bagaimana melepaskan tentara Islam ini dari kemusnahan total, dengan menghentikan korban-korban yang terus berjatuhan, dan keluar dengan sisa-sisa yang ada dengan selamat, mengundurkan diri secara tepat dan teratur, yang dapat menghalangi kehancuran masaal di medan tempur itu.

Hanya pengunduran seperti itu termasuk barang mustahil . . . . Tetapi, bila benarlah apa yang dikatakan orang, bahwa tak ada yang mustahil bagi hati yang pemberani, maka siapa pula orang yang lebih berani hatinya dari Khalid, kepahlawanan­nya lebih hebat, dan pandangannya lebih tajam daripadanya?

Di saat itu tampillah Pedang Allah menyorot seluruh medan tempur yang luas itu dengan kedua matanya yang tajam laksana mata burung elang, diaturlah rencana dan langkah yang akan diambil secepat kilat, dan dibagi-baginya pasukannya ke dalam kelompok-kelompok besar dalam suasana perang berkecamuk terus. Setiap kelompok diberinya tugas sasarannya. Lalu diper­gunakannya seni yudhanya yang membawa mukjizat, dan kecerdikan akalnya yang luar biasa, sehingga akhirnya dengan idzin Allah jua, ia berhasil membuka jalur luas di antara barisan pasukan Romawi. Dari jalur tersebut seluruh sisa pasukan Islam dapat ke luar meloloskan diri dengan selamat. Keberhasilan ini adalah berkat kepahlawanannya, berkat keberanian disertai kecerdikan dan kecepatan bertindak yang tepat yang tak dapat dilupakan dalam sejarah . . . . Dan disebabkan pertempuran inilah Rasulullah menganugerahkan padanya gelar: “Si Pedang Allah yang selalu terhunus”.

Dalam periatiwa lain . . . . pada saat orang-orang Quraisy menodai perjanjian damainya dengan Rasulullah. Maka ber­geraklah Kaum Muslimin di bawah pimpinan beliau untuk membebaskan kota Mekah …. Di bagian sayap kanan pasukan, Rasul mengangkat Khalid ibnul Walid sebagai pemimpinnya.
Maka masuklah Khalid ke kota Mekah sebagai salah seorang pemimpin pasukan Ummat Islam, sesudah selama ini dataran dan gunung-gunungnya menyaksikannya sebagai pemimpin tentara watsani (penyembah berhala) dan penganut syirik. Teringatlah ia akan kenangan masa kanak-kanaknya, di mana ia bermain-main dengan manjanya, dan kenangan masa muda remajanya selagi ia berhandai-handai menghabiskan waktu. Kemudian datang kembali padanya segala kenangan masa lalu Yang panjang di mana usianya hilang percuma untuk pengorban­an sia-sia bagi berhala-berhala yang lemah tak berdaya ….

Sebelum penyesalannya kian parah, hatinya bangun tersadar oleh himbauan kesaksian hebat dan kebesarannya, yaitu ke­saksian dari nur yang menerangi kota Mekah . . . . , kesaksian nyata bagaimana orang-orang lemah yang diperlakukan semena­-mena, menanggung adzab derita dan ancaman, sekarang kembali ke kampung halaman mereka dari tempat mereka diusir secara aniaya dan kejam. Mereka kembali ke sana mengendarai kuda-­kuda mereka yang meringkik berdengusan serta di bawah panji-panji dan bendera-bendera Islam yang berkibaran. Suara-­suara yang mereka membisikkan di Darul Arqarn dulu, sekarang berubah menjadi takbir yang gemuruh yang menggegarkan kota Mekah, disertai bahana tahlil kemenangan. Alam pun seperti ikut menyertai suasana gembira mereka, semuanya seolah-olah berhari raya.

Bagaimanakah kesudahannya mu’jizat itu? Dan ulasan apakah kiranya yang dapat diberikan oleh periatiwa ini? Tak ada yang lain, kecuali yang sedang diucapkan oleh mereka yang sedang berjalan berduyun-duyun di sela-sela suara tahlil dan takbir mereka, di kala mereka berpandangan satu sama lain dengan gembira:
“Janji Allah …. Allah tak pernah memungkiri janji-Nya (Q.S. 30 ar-Rum:6)

Ia mengangkat kepala serta menengadahkannya, lalu me­mandang penuh bangga dan ridla kepada bendera-bendera Islam yang memenuhi angkasa . . . seraya berkata kepada dirinya  sendiri: “Benarlah . . . bahwa itu janji Allah, dan Allah tak pernah menyalahi janji-Nya . . . !”
Kemudian ditundukkannya pula kepalanya karena rasa syukur dan haru terhadap ni’mat Ilahi yang telah memberinya petunjuk masuk Islam dan yang telah membuatnya pada hari kemenangan yang besar ini, menjadi salah seorang pembawa Agama Islam ke kota Mekah, dan bukannya dari golongan orang-orang yang masuk Islam karena terbawa-bawa kemenangan Islam.
Khalid selalu berada di samping Rasulullah, menyerahkan semua tenaga dan kemampuannya yang tinggi untuk berbakti kepada Agama yang telah diimaninya dengan penuh keyakinan, dan yang seluruh kehidupannya akan didermakan untuknya.

Sesudah Rasul wafat, memenuhi panggilan Allah Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, Abu Bakar Shiddiq memikul segala tanggung jawab KhilaIah. Gelora angin kemurtadan bertiup  kencang dengan tipu dayanya, hendak menghancurkan Agama yang baru dengan semboyannya yang berbiaa dan propagandanya yang merusak binasa . . . . Di awal kegemparan yang mengejut­kan ini, Abu Bakar menolehkan mata dan perhatiannya yang pertama kepada seorang pejuang yang tepat, seorang laki-laki pilihan …. Abu Sulaiman, si Pedang Allah’, Khalid bin Walid.

Memang benar, bahwa Abu Bakar telah mulai memerangi kaum murtad dengan pasukan yang dipimpinnya sendiri, tetapi hal ini tidak bertentangan dengan rencananya untuk memper­siapkan Khalid untuk suatu hari yang menentukan nanti, yakni menentukan kalah menangnya dalam peperangan terseru meng­hadapi orang-orang murtad itu, di mana ia merupakan bintang lapangan dan pahlawan yang ulung ….

Di kala golongan kaum murtad bersiap-siap hendak melak­sanakan hasil keputusan persekongkolan mereka yang besar, Khalifah Abu Bakar bertekad memimpin sendiri pasukan Mus­limin. Para shahabat utama berusaha menghalangi maksudnya itu, tetapi sia-sia, malah menambah kebulatan tekadnya ….
Dan mungkin maksud Khalifah dengan cara ini, untuk me­warnai pertempuran dengan corak khusus dan arti yang penting, yang dapat mendorong orang-orang untuk menyertainya. Hal ini hanya dapat dikuatkan dengan partisipasi nyata dari beliau dalam perang yang dahsyat, yakni dengan memimpinnya langsung, baik atas sebagian maupun atas seluruh kekuatan ummat. Sungguh, jalannya peperangan tersebut akan menentu­kan timbul tenggelamnya kekuatan iman menghadapi kekuatan murtad yang sesat!

Dan sesungguhnya munculnya kemurtadan di mana-mana secara serentak ini sangat mengkhawatirkan sekali, walaupun pada mulanya tampaknya sebagai pembangkangan saja. Dan dalam situasi seperti ini, kabilah-kabilah yang selama ini ingin membalas dendam terhadap Islam, maupun yang selalu meng­intai-intai kelemahannya, sekarang mendapat kesempatan iatimewa atau peluang baru untuk berontak, tanpa kecuali apakah mereka kabilah Arab pedalaman, atau yang tinggal di perbatasan, di mana masih bercokol kekuasaan dan pengaruh kerajaan Persi dan Romawi. Kerajaan-kerajaan tersebut telah merasakan timbulnya kekuatan Islam yang menjadi bahaya dan ancaman terhadap kekuasaannya. Oleh sebab itulah sebagai dalang di belakang layar, mereka dengan sengaja mengobar dan menyebarkan berbagai macam fitnah.

Demikianlah, api dan nyala fitnah berkobar di kalangan suku-suku Asad, GhatIan, ‘Abas, Thay’ dan Dzibyan …. juga di antara kabilah-kabilah Bani ‘Amir, Hawazin, Salim, dan Bani Tamim . . . . Mula-mula diawali dengan terjadinya ben­trokan-bentrokan bersenjata yang kecil, yang kemudian berobah menjadi pertempuran besar yang melibatkan kekuatan pasukan sampai berpuluh ribu tentara.
Pemberontakan-pemberontakan ini segera pula mendapat dukungan dari penduduk Bahrain, Oman, dan Muhrah. Sekarang Islam benar-benar menghadapi bahaya besar, dan api peperangan itu telah dinyalakan sekeliling Kaum Muslimin. Untunglah di sana ada Abu Bakar …
.
Beliau menyiapkan pasukan Muslimin dan sekaligus me­mimpinnya menuju kabilah-kabilah Bani Abbas, Bani Muhrah dan Dzibyan yang tampil sebagai pasukan kuat. Pertempuran pun terjadilah, dan akibatnya Islam dapat mencatat kemenangan  besar dan mantap. Tetapi pasukan yang menang ini tidak sempat lama beriatirahat di Madinah, karena Khalifah terpaksa mengerah­kannya lagi untuk menghadapi pertempuran berikutnya ….

Berita-berita tentang pembangkangan kaum-kaum dan suku-suku, setiap saat nampaknya semakin berbahaya. Abu Bakar sendiri maju memimpin pasukan yang kedua ini Tetapi, para shahabat utama jadi hilang keshabaran mereka. Semuanya sepakat untuk meminta Khalifah agar tetap tinggal di Madinah.
Imam Ali terpaksa menghadang Abu Bakar dan memegang tali kekang kuda yang sedang ditungganginya untuk mencegah keberangkatannya bersama pasukan, sembari berkata kepadanya: “Hendak ke mana anda, wahai Khalifah Rasulullah? Akan kukatakan kepada anda, apa yang pernah diucapkan Rasulullah di hari Uhud: “Simpanlah pedangmu wahai Abu Bakar, jangan engkau cemaskan kami dengan dirimu!”

Di hadapan desakan dan suara bulat Kaum Muslimin, Kha­lifah terpaksa menerima untuk tinggal di kota Madinah. Maka dibaginya tentara Islam menjadi sebelas kesatuan, masing-masing kesatuan dibebani tugas tertentu, sedang sebagai kepala dari’ keseluruhan kesatuan tersebut diangkatnya Khalid ibnul Walid. Dan setelah menyerahkan bendera pasukan kepada masing-­masing komandannya, Khalifah mengarahkan mukanya kepada Khalid, lalu katanya:
“Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: Bahwa sebaik-baik hamba Allah dan kawan sepergaulan, ialah Khalid ibnul Walid, sebilah pedang di antara pedang­-pedang Allah yang ditebaskan kepada orang-orang kafir dan munafik. ..!’

Maka Khalid pun segera menjalankan tugasnya, berpindah-pindah bersama pasukannya dari suatu medan tempur, ke per­tempuran yang lain, dari suatu kemenangan ke kemenangan berikutnya, sampai berakhir dengan pertempuran yang me­nentukan.

Di sanalah yakni di Yamamah, Bani HaniIah bersama kabilah-­kabilah yang telah bergabung dengan mereka telah membangun suatu gabungan aneka ragam tentara murtad yang paling ber­bahaya dikepalat oleh Musailamatul Kaddzab . . . . Sudah ada sebagian kesatuan Islam yang mencoba kekuatan mereka, tetapi tidak berhasil.

Sekarang datanglah perintah Khalifah kepada panglimanya “yang tak terkalahkan” agar berangkat kepada Bani Hanifah itu. Khalid pun maju berangkat dan demi Musailamah me­ngetahui bahwa Khalid sedang di tengah perjalanan menuju tempatnya, kembali ia memperkuat susunan pasukannya, karena ia benar-benar menganggapnya sebagai bahaya dahsyat dan musuh yang amat kuat.

Kedua pasukan tentara itu telah berhadap-hadapan Dan di waktu anda membaca buku-buku riwayat dan sejarah tentang jalannya pertempuran yang sengit itu, tentu anda akan merasa ngeri karena seolah-olah diri anda sedang menyaksikan suatu pertempuran yang menyerupai perang masa kini dalam kekerasan dan kekejamannya, sekalipun berbeda jenis senjata dan sarana perang yang dipergunakan . . . .

Khalid mengambil posisi dengan pasukannya di dataran bukit-bukit pasir Yamamah, sementara Musailamah menghadapi­nya dengan segala kecongkakan dan kedurhakaannya bersama barisan tentaranya yang banyak seakan-akan tak habis-habis­nya.
Khalid segera menyerahkan bendera dan panji-panji perang kepada komandan-komandan pasukannya. Kedua kelompok balatentara itu pun serang-menyerang dan bertempur rapat. Perang berkecamuk tiada hentinya, korban dari pihak Muslimin susul-menyusul berguguran laksana bunga-bunga dan kembang di taman yang, ditiup angin topan … !

Khalid telah melihat keunggulan musuh, ia lalu memacu kudanya ke suatu tanah tinggi yang terdekat, lalu ia layangkan pandangan­nya ke seluruh medan tempur, pandangan cepat yang diliputi ketajaman dan keariIan. Dengan cepat pula ia dapat menangkap dan menyimpulkan titik-titik kelemahan pasukannya.
Ia dapat merasakan rasa tanggung jawab yang melemah di kalangan prajuritnya di bawah serbuan-serbuan mendadak yang dilakukan pasukan Musailamah. Maka diputuskannya secepat kilat untuk memperkuat semangat tempur Kaum Muslimin dan tanggung jawab mereka setinggi mungkin. Dipanggilnya koman­dan-komandan teras dan sayap, ditertibkannya posisi masing­-masing di medan tempur, kemudian ia berteriak dengan suaranya yang mengesankan kemenangan: “Tunjukkanlah kelebihanmu. masing-masing …. akan kita lihat hari ini jasa setiap suku!”
Lalu setiap suku tampillah dengan kelebihannya sendiri-sendiri.

Orang-orang Muhajirin maju dengan panji-panji perang mereka dan orang-orang Anshar pun maju di bawah panji-panji mereka, seterusnya tiap kelompok suku dengan panji-panji tersendiri. Demikianlah, hingga jelas nanti, dari mana datangnya kekalahan itu. Semangat juang jadi bergelora lebih panas mem­bakar, penuh dengan kebulatan tekad dan mengejutkan musuh. Dan Khalid dari saat ke saat menggemakan tahlil dan takbir atau mengeluarkan perintah yang menentukan, maka berubahlah pedang-pedang pasukannya bagai tangan-tangan Malaikat maut yang tidak dapat ditolak kehendaknya, dan tidak dapat dirubah tujuannya. Dan dalam waktu yang singkat saja berubahlah arah pertempuran, prajurit-prajurit Musailamah mulai gugur berjatuh­an dari puluhan, jadi ratusan kemudian ribuan, laksana nyamuk­-nyamuk yang menggelepar bermatian.

Khalid telah menyalakan semangat keberaniannya seperti aliran listrik kepada setiap prajuritnya; jiwanya telah menempati setiap prajurit pasukannya itulah salah satu keistimewaannya yang menakjubkan. Dan demikianlah jalan pertempuran yang paling mencemaskan dan menyeramkan melawan orang-orang murtad itu. Musailamah tewas dan mayat-mayat anak buah dan para prajuritnya bergelimpangan memenuhi seluruh medan perang, dan dikubur pulalah di sana selama-lamanya bendera- bendera yang menyerukan kebohongan dan kepalsuan.
Di Madinah Khalifah shalat syukur kepada Yang Maha Agung dan Maha Tinggi, karena dikarunisi kemenangan tersebut dan pahlawan perkasa ini …

Khalifah Abu Bakar dengan kecerdasan dan ketajaman pandangannya telah mengetahui kekuatan-kekuatan jahat yang masih bercokol di belakang sekitar negerinya yang merupa­kan bahaya besar yang mengancam kelangsungan hidup Islam dan pemeluknya . . . , yaitu Persi di Irak dan Romawi di Syria.
Imperium-imperium yang sudah tua dan lemah ini yang selalu mengintai kelemahan ummat Islam dan menjadi pusat dan penyebar kekacauan, keduanya saling berhubungan dengan ikatan yang lapuk dengan kejayaan mereka di masa lampau. Mereka memeras dan menyiksa rakyat Irak dan Syria, serta merendahkan martabat mereka, bahkan mengerahkan rakyat yang sebagian besar di antaranya adalah orang-orang Arab untuk memerangi Kaum Muslimin.

Dengan panji-panji Agama baru yang dibawanya, Kaum Muslimin bermaksud meruntuhkan benteng-benteng peradaban kuno serta mengikia habis segala bentuk kejahatan dan ke­kejamannya.
Ketika itulah, Khalifah Abu Bakar menjatuhkan pilihannya kepada Khalid untuk berangkat dengan pasukannya menuju Irak . . . . Maka berangkatlah pahlawan ini ke Irak. Sayang lembaran ini tidak cukup untuk memuliakan setiap kemenangan pasukannya di segala tempat. Andainya cukup, tentulah akan kita lihat hal-hal yang amat mengagumkan saja.

Ia memulai operasi militernya di Irak dengan mengirim Surat-Surat ke seluruh pembesar Kisra (Kaisar Persi) dan gubemur-gubernurnya di semua wilayah Irak dan kota-kotanya, sebagai berikut:
“Dengan nama Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Khalid ibnul Walid kepada pembesar-pembesar Persi. Keselamatan bagi siapa yang mengikuti petunjuk.
Kemudian segala puji kepunyaan Allah yang telah memporak­-porandakan kaki tangan kalian, dan merenggut kerajaan kalian, serta melemahkan tipu muslihat kalian.
Siapa yang shalat seperti shalat kami, dan menghadap kiblat kami, dan memakan sembelihan kami, jadilah ia seorang Muslim, ia akan mendapat hak seperti hak yang kami dapatkan, dan ia berkewajiban seperti kewajiban kami. Bila telah sampai kepada kalian suratku ini, maka hendaklah kalian kirimkan kepadaku jaminan, dan terimalah daripadaku perlindungan.
Dan jika tidak, maka demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, akan kukirimkan kepada kalian satu kaum berani mati, padahal kalian masih sangat mencintai hidup … !”

Para mata-mata yang disebarkannya ke seluruh penjuru datang menyampaikan berita tentang keberangkatan pasukan. balatentara yang besar, yang dipersiapkan oleh panglima-pang­lima Persi di Irak.
Khalid tidak membuang-buang waktu, dengan cepat ia pergi mempersiapkan pasukannya untuk menumpas kebathilan, sedangkan jarak perjalanan dapat ditempuhnya dalam waktu singkat.
Kemenangan demi kemenangan dicapai oleh pasukan eks­pedisinya, sejak dari Ubullah ke as-Sadir, disusul oleh an-Najaf, lalu al-Hirsh, kemudian al-Anbar sampai ke Kadhimiah. Di setiap tempat ia disambut oleh wajah berseri karena gembira. Bendera dan panji-panji Islam pun naik, di bawahnya berlindung orang lemah yang tertindas penjajah Persia.

Memang, rakyat yang lemah dan terjajah mengalami derita perbudakan dan penyiksaan selama ini dari orang Persi. Banding­kan dengan peringatan keras dari Khalid kepada seluruh anggota pasukannya setiap kali akan berangkat:
“Jangan kalian sakiti para petani, biarkanlah mereka bekerja dengan aman, kecuali bila ada yang hendak menyerang kalian. Perangilah orang yang memerangi kalian . . .”.
Ia meneruskan perjalanannya dengan pasukannya yang telah memenangkan peperangan seperti mata pisau tajam meng­iris permukaan susu yang membeku, hingga sampailah ia ke perbatasan negeri Syam.

Ketika itu berkumandanglah suara takbir dari muadzin disertai takbir orang yang menang perang. Bagaimana dugaan­mu, sudahkah orang-orang Romawi mendengarnya di Syam ini? Apakah mereka menyadari bahwa takbir ini merupakan bunyi lonceng kematian dan akhir dunia kekejaman? Benar, mereka telah mendengarnya, mereka dikagetkan dan menjadi kecut … mereka telah memutuskan dengan membabi buta untuk terjun ke medan perang, disebabkan rasa putus asa dan sia-sia.

Kemenangan yang diperoleh orang-orang Islam di Irak dari orang Persi, menimbulkan harapan diperolehnya kemenang­an yang sama dari orang Romawi di Syria.
Abu Bakar Shiddiq mengerahkan sejumlah pasukan dan untuk mengepalainya dipilihnya dari kelompok panglima-pang­lima mahir seperti Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, dan Amar bin ‘Ash, Yazid bin Abi Sufyan dan kemudian Muawiyah bin Abi Sufyan.

Sewaktu berita gerakan balatentara ini sampai kepada Kaisar Romawi, ia menasihatkan para menteri dan jenderal-jenderalnya agar berdamai saja dengan orang-orang Islam dan tidak melibat­kan diri dalam peperangan yang akan menimbulkan kerugian saja. Tetapi para menteri dan jenderal-jenderalnya dengan gigih bersikeras hendak meneruskan perang sambil berkata: “Demi Tuhan, akan kita layani Abu Bakar itu, agar ia tak mampu mendatangkan pasukan berkudanya ke negeri kita … ! “

Mereka menyiapkan tidak kurang dari 240 ribu tentara untuk peperangan ini. Pemimpin-pemimpin pasukan tentara Islam mengirimkan gambaran tentang situasi gawat ini kepada Khalifah. Karenanya Abu Bakar berkata: “Demi Allah semua kekhawatiran dan keragu-raguan mereka akan kusembuhkan dengan kedatang­an Khalid!” “Penyembuh kekhawatiran ini”, (yakni kekhawatir­an akan hilangnya disiplin, pembangkangan dan kemusyrikan) ialah perintah berangkat ke Syam dari Khalifah kepada Khalid untuk mengepalai seluruh pasukan Islam yang sudah mendahului­nya berada di sana. Dan alangkah cepatnya Khalid mematuhi perintah itu, ia segera menyerahkan pimpinan di Irak kepada Mutsanna bin Haritsah, dan dengan cepatnya ia berangkat ber­sama prajurit-prajurit pilihannya, hingga sampai ke tempat orang-orang Islam di negeri Syam. Dengan keahliannya yang iatimewa, dalam waktu singkat dilaksanakannya penyusunan pasukan Islam dengan menertibkan posisinya.

Di medan perang dan sebelum pertempuran dimulai, ia berdiri di tengah-tengah prajurit Islam berpidato Berkatalah ia sesudah memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya: “Hari ini adalah hari-hari Allah. Tak pantas kita di sini berbangga-bangga dan berbuat durhaka …. Ikhlaskanlah jihad kalian, dan harap­kan ridla Allah dengan amalmu! Mari kita bergantian memegang pimpinan, yaitu secara bergiliran. Hari ini salah seorang me­megang pimpinan, besok yang lain, lusa yang lain lagi, sehingga seluruhnya mendapat kesempatan memimpin … !”

“Hari ini adalah hari-hari.Allah . . . !” Alangkah hebatnya kata-kata itu dari semula, menggugah. “Tak pantas kita di sini, berbangga-bangga dan durhaka . . . !” Yang lebih menggugah lagi ialah kerendahan hati yang amat sempurna.
Tidak kurang bijaksananya panglima besar ini yang dengan rendah hati tidak mengemukakan diri. Sekalipun Khalifah telah mengangkatnya untuk mengepalai seluruh pasukan tentara dengan membawahi para panglima tetapi karena ia tidak ingin jadi pembantu syetan atas pribadi-pribadi shahabatnya, ia pun sedia turun dari pucuk jabatan yang telah dipercayakan Khalifah secara mutlak, dan dijadikannya bergiliran ….
Hari ini seorang Amir …. besok Amir yang kedua . . . dan lusa Amir yang lain pula, dan begitulah seterusnya ….

Balatentara Romawi, baik melihat besar jumlahnya maupun cukupnya perlengkapan, merupakan suatu yang sangat mengecut­kan. Dan pemimpin-pemimpin mereka yakin bahwa waktu berada di pihak Kaum Muslimin, dan bahwa berlarut-larutnya peperangan dan banyaknya medan tempur akan membantu kemenangan yang mantap bagi Kaum Muslimin. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk menghimpun seluruh kekuatan mereka pada suatu medan tempur saja, dengan mempersiapkan satu lapangan jebakan bagi orang-orang Arab.

Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang Islam pun sebelum kedatangan Khalid bin Walid merasa gentar dan cemas, me­nyebabkan rasa gelisah dan keluh kesah memenuhi jiwa mereka. Tetapi iman mereka membuat enteng segala pengabdian dalam suasana gelap gulita seperti itu dan tiba-tiba fajar harapan dan kemenangan meliputi mereka dengan cahayanya.
Bagaimanapun hebatnya orang-orang Romawi dan bala­tentaranya, namun Abu Bakar telah berkata, sedang ia mengetahui benar keadaan orang-orangnya: “Khalid akan me­nyelesaikannya . . . !” dan tukasnya lagi: “Demi Allah segala kekhawatiran mereka akan kulenyapkan dengan Khalid! Biarkan orang-orang Romawi dengan segala kehebatannya itu datang! Bukankah bagi Kaum Muslimin ada Tukang Pukulnya?”

Ibnul Walid mempersiapkan tentaranya, dibagi-baginya kepada beberapa kesatuan besar. Diaturnya langkah-langkah taktik dan strategi baru untuk menyerang dan bertahan, untuk menandingi taktik-taktik Romawi, seperti yang telah dialaminya dari kawan-kawannya orang Persi di Irak. Dilukiskannya pula setiap kemungkinan dari peperangan ini.

Anehnya peperangan itu telah berjalan tepat seperti yang digariskan Khalid dan diharapkannya. Langkah demi langkah, gerakan demi gerakan, sehingga tampaknya akan terbukti se­andainya diramalkannya banyaknya pukulan pedang di per­tempuran itu, perhitungannya tak akan keliru! Setiap pancingan yang dinanti-nantikannya dari orang-orang Romawi, mereka la­kukan. Setiap pengunduran diri yang diramalkannya, betul-betul mereka perbuat.

Sebelum menerjuni kancah peperangan, ada satu hal yang sedikit mengganggu fikirannya, yaitu kemungkinan sebagian anggota pasukannya melarikan diri, terutama mereka yang baru saja masuk Islam, sesudah mereka menyaksikan kehebatan dan keseraman tentara Romawi.
Rahasia kemenangan-kemenangan iatimewa yang diperoleh Khalid dalam setiap peperangan, ialah satu hal yaitu “tsabat” artinya tetap tabah dan berdisiplin. la memandang bahwa larinya dua tiga orang prajurit dari pasukan, akan menyebarkan ke­panikan dan kekacauan di seluruh kesatuan yang berakibat fatal, suatu bencana yang seluruh kesatuan musuh sendiri belum tentu dapat menimbulkannya. Oleh sebab itu tindakannya amat tegas dan keras sekali terhadap mereka yang membuang senjata dan berpaling melarikan diri.

Maka pada pertempuran ini sendiri yaitu pertempuran,Yarmuk, sesudah seluruh pasukannya mengambil posisinya, dipanggilnya perempuan-perempuan Muslimin dan untuk pertama kalinya diberinya senjata. Mereka diperintahkannya untuk berada di belakang barisan pasukan Muslimin di setiap penjuru, sambil katanya kepada mereka: “Siapa yang melarikan diri, bunuhlah saja!” Sungguh, suatu akal bijak, yang membuahkan hasil sebaik-­baiknya.

Dekat sebelum pertempuran berlangsung, panglima Romawi meminta Khalid tampil ke depan, karena ia ingin berbicara dengannya. Khalid pun muncullah hingga kedua mereka ber­hadap-hadapan di atas punggung kuda masing-masing, yakni pada suatu lapangan kosong di antara kedua pasukan besar.
Panglima pasukan  Romawi yang bernama Mahan itu pun berkata:
“Kami mengetahui, bahwa yang mendorong kalian ke luar dari negeri kalian tak lain hanyalah kelaparan dan kesulitan …. Jika kalian setuju, saya beri masing-masing kalian 10 dinar lengkap dengan pakaian dan makanan, asalkan kalian pulang kembali ke negeri kalian. Di tahun yang akan datang saya kirimkan sebanyak itu pula … !
Mendengar itu, bukan main marahnya Khalid, tapi ditahan­nya, sambil menggertakkan gigi ia menganggap suatu kekurang­ajaran dalam kata-kata panglima Romawi itu . . . , lalu diputus­kannya akan menjawabnya dengan kata-kata yang sesuai, maka berucaplah ia:
“Bahwa yang mendorong kami keluar dari negeri kami, bukan karena lapar seperti yang anda sebutkan tadi, tetapi kami adalah satu bangsa yang biasa minum darah. Dan kami tahu benar, bahwa tak ada darah yang lebih manis dan lebih baik dari darah orang-orang Romawi, karena itulah kami datang!”

Panglima Khalid menggertakkan kekang kudanya, sambil kembali ke pasukannya, diangkatnya bendera tinggi-tinggi memberitahu­kan dimulainya pertempuran . . . .
“Allahu Akbar… , berhembuslah angin surga!” Balatentaranya pun maju menyerbu laksana peluru yang di­tembakkan. Dan pertempuran berlangsung mencapai puncaknya Yang tak ada tandingannya. Orang-orang Romawi datang menghadang dengan pasukan-pasukan besar yang menggunung . . . . Tapi nyata dan jelas bagi orang-orang itu sesuatu yang tidak mereka duga-duga dari Kaum Muslimin. Pahlawan-pahlawan itu telah melukiskan gambar perjuangan yang mengagumkan dengan pe­ngurbanan dan keteguhan hati mereka. Itu salah seorang dari mereka sedang mendekati Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah r.a. semen­tara pertempuran berkecamuk itu sembari berkata: “Aku sudah bertekad mati syahid, apakah anda mempunyai pesan penting yang akan kusampaikan kepada Rasulullah, bila aku menemui nanti?” Jawab Abu ‘Ubaidah: “Ada, katakan kepada beliau: Ya Rasul­allah, sesungguhnya kami telah menemukan bahwa apa yang dijanjikan Allah kepada kami, memang benar!”

Laki-laki itu pun berlalulah maju menyerang bagai anak panah lepas dari busurnya . . ., ia menyerbu ke tengah-tengah pertempuran dahsyat, merindukan tempat peraduan dan pem­baringannya. Ia menetak dengan sebilah pedang, ia dipukul oleh seribu pedang, sampai ia naik mati syahid . . .!!
Dan ia adalah ‘Ikrimah bin Abi Jahal … ! Benar anak Abu Jahal. Ia berseru kepada orang-orang Islam, sewaktu tekanan orang Romawi semakin berat atas mereka, katanya dengan suara lantang: “Sungguh aku telah lama memerangi Rasulullah saw. di masa yang lalu sebelum aku ditunjuki Allah masuk Islam, apakah pantas aku lari dari musuh-musuh Allah hari ini?”
Kemudian ia berteriak: “Siapakah yang bersedia dan berjanji untuk mati … !’

Sekelompok Muslimin berjanji kepadanya untuk berjuang sampai mati, kemudian mereka sama menyerbu ke jantung pertempuran, bukan hanya mencari kemenangan tetapi kalau kemenangan itu harus ditebus oleh jiwa raganya, mereka sudah siap untuk mati syahid . . .. Allah menerima pengurbanan dan bai’at mereka, mereka semuanya mati syahid …. I

Ada pula orang yang luka-luka berat, maka dibawakan orang air, ia memberi isyarat kepada temannya yang berdekatan agar diberi lebih dulu karena lukanya lebih berat. Dan sewaktu orang ini diberi air, ia mengisyaratkan pula agar diberikan kepada yang lain, sedang waktu didatangi orang lain itu, ia menunjuk kepada temannya … dan begitulah seterusnya …. Demikianlah yang terjadi … sampai rela menderita kehausan sewaktu ruh-ruh mereka melayang . .. . Inilah contoh teladan yang paling indah tentang pengurbanan dan mendahulukan kepentingan kawan.

Peperangan Yarmuk benar-benar tempat pengurbanan yang jarang tandingannya. Dan di antara monumen-monumen tebusan yang mena’jubkan itu, yaitu monumen istimewa yang dibina oleh kematian-kemauan keras, melukiskan karya Khalid ibnul Walid sedang mengerahkan 100 orang tentaranya tidak lebih. Mereka menyerbu sayap kiri Romawi yang jumlahnya tidak kurang dari 40 ribu orang, dan Khalid berseru kepada seratus orang yang bersamanya itu: “Demi Allah yang diriku di tangan­Nya! Tak ada lagi keshabaran dan ketabahan yang tinggal pada orang-orang Romawi, kecuali apa yang kamu lihat! Sungguh, aku mengharap Allah memberikan kesempatan kepada kalian untuk menebas batang-batang leher mereka … !”

Seratus . . . masuk menerobos ke dalam 40 ribu . . . ? Kemu­dian mereka menang – . – ? Tetapi, kenapa tercengang? Bukankah hati-hati mereka penuh keimanan kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar? Dan iman kepada Rasul-Nya saw. yang benar lagi terpercaya? Iman kepada ketentuan Allah, yaitu hukum-hukum hidup yang terbanyak membawa kebaikan, petunjuk dan martabat.
Bukankah Khalifah mereka ash-Shiddiq r.a. (yang lurus dan benar), yang benderanya sekarang telah menjulang tinggi di dunia, tapi ia sendiri di Madinah, ibukota baru bagi dunia baru, masih sedia memerah susu kambing untuk janda kematian suami, dan dengan kedua tangannya mengadukkan roti bagi anak-anak yatim piatu . . . ?

Dan bukankah panglima mereka adalah Khalid ibnul Walid, Penawar kecemasan, Pembasmi kesombongan, kekerasan, ke­durhakaan, permusuhan, dan Pedang Allah yang terhunus yang akan menebas unsur-unsur perselisihan, kebencian dan kemusyrikan . . . ? Bukankah itu memang demikian? Karena itu, ber­hembuslah wahai angin kemenangan! Bertiuplah oh kekuatan perkasa, yang menang, dan yang kuat kuasa! Allah jugalah di atas segala-galanya.

Keluarbiasaan Khalid telah mengagumkan para panglima Romawi dan komandan pasukannya, yang mendorong salah seorang di antara mereka, Georgius namanya untuk mengundang Khalid dalam saat-saat peperangan berhenti agar tampil ke­padanya.
Di kala keduanya sudah bertemu, panglima Romawi itu menghadapkan percakapannya kepada Khalid, katanya:
“Tuan Khalid . . . , jujurlah anda kepadaku, jangan berbohong, sebab orang merdeka tak pernah bohong! Apakah Allah telah menurunkan sebilah pedang kepada Nabi anda dari langit, lalu pedang itu diberikannya kepada anda, hingga setiap anda hunus­kan terhadap siapa pun, pedang tersebut pasti membinasakan­nya?”
Jawab Khalid: “Oh, tidak!”
Orang itu bertanya pula: “Mengapa anda dinamai Pedang Allah?”
Jawab Khalid: “Sesungguhnya Allah telah mengutus Rasul­Nya kepada kami, sebagian kami ada yang membenarkannya, dan sebagian pula mendustakannya. Aku dulunya termasuk orang yang mendustakannya, sehingga akhirnya Allah menjadikan hati kami menerima Islam, dan memberi petunjuk kepada kami melalui Rasul-Nya, lalu kami berjanji setia kepadanya
Kemudian Rasul mendo’akanku, dan beliau berkata kepadaku: “Engkau adalah pedang Allah di antara sekian banyak pedang pedang-Nya”.
Demikianlah, maka aku diberi nama …. Pedang Allah “
kami menerima Islam, dan memberi petunjuk kepada kami melalui Rasul-Nya, lalu kami berjanji setia kepadanya
—           Kepada apa anda sekalian diserunya?
—           Kepada mentauhidkan Allah dan kepada Islam.
—           Apakah orang-orang yang masuk Islam sekarang akan mendapat pahala dan ganjaran seperti anda juga?
—  Memang, bahkan lebih Bagaimana dapat jadi, padahal anda sudah lebih dahulu memasukinya?
—  Karena sesungguhnya kami telah hidup bersama Rasullah saw., kami telah melihat tanda-tanda kerasulan dan mu’- jizatnya, dan sewajarnyalah bagi setiap orang yang telah
melihat seperti yang kami lihat dan mendengar seperti yang kami dengar, akan masuk Islam dengan mudah .  . . Adapun anda, wahai orang-orang yang belum pernah melihat dan mendengarnya, lalu anda beriman kepada yang ghaib, maka pahala anda lebih berlipat ganda dan besar, bila anda membenarkan Allah dengan hati ikhlas serta niat yang suci.
Panglima Romawi itu pun berseru, sambil memajukan kuda­nya ke dekat Khalid dan berdiri di sampingnya: “Ajarkanlah kepadaku Islam itu, hai Khalid . . . !” Maka masuk Islamlah panglima itu . . . dan shalat dua raka’at, satu-satunya shalat yang sempat dilakukannya . . . . Kedua pasukan balatentara itu sudah mulai bertempur lagi. Dan panglima Romawi Georgius sekarang berperang di pihak Muslimin, dan mati-matian me­nuntut syahid, sampai ia mencapainya dan berbahagia men­dapatkannya . . . .

Arkian, sekarang akan kami ketengahkan suatu kebesaran kemanusisan dalam suatu penampilan termegah ….
Selagi Khalid memimpin balatentara Islam dalam peperangan yang banyak menimbulkan qurban ini, selagi ia merenggutkan kemenangan gemilang dari cengkeraman tentara Romawi secara luar biasa, saat itulah ia tiba-tiba dikejutkan oleh sepucuk surat yang datang dari Madinah, dibawa oleh seorang kurir Khalifah yang datang dari Khalifah baru, Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab . . . . Dalam surat tersebut tercantum salam pengharga­an ‘Al-faruq” kepada seluruh pasukan Islam, berita berkabungnya terhadap Khalifah Rasulullah saw. Abu Bakar Shiddiq r.a. yang telah wafat. Kemudian putusannya memberhentikan Khalid dari pimpinan pasukan dan mengangkat Abu ‘Ubaidah bin Jarrah sebagai gantinya.
Khalid membaca surat itu dengan tenang . . . dengan me­mohonkan rahmat untuk Abu Bakar serta taufiq untuk Umar.
Dimintanya kepada si pembawa surat agar tidak men­ceriterakan kepada siapapun isi surat tersebut, menyuruhnya tetap tinggal di suatu tempat dan tidak meninggalkannya, serta tidak berhubungan dengan siapa pun.
la memulai lagi meneruskan pimpinan pertempuran, sambil menyembunyikan berita kematian Abu Bakar dan perintah­-perintah Umar sampai kemenangan betul-betul menjadi ke­nyataan, yang waktu itu telah dekat sekali seolah-olah telah berada di tangan ….
Lonceng kemenangan pun telah berbunyi, orang-orang Romawi telah mengundurkan diri . . . maka menghadaplah pahlawan itu kepada Abu ‘Ubaidah seraya memberi hormat sebagaimana layaknya seorang prajurit terhadap panglimanya . . . . Abu ‘Ubaidah mula-mula hanya menyangka sebagai olok­-olok dari seorang panglima yang,telah mewujudkan kemenangan yang tak diduga-duga …. Tetapi tak lama kemudian ia melihat suatu kenyataan yang sesungguhnya, lalu diciumnya Khalid di antara kedua matanya dan memuji kebesaran jiwa dan akhlaqnya.
Ada lagi riwayat lain dalam sejarah yang mengatakan, bahwa surat yang dikirimkan oleh Amirul Mu’minin Umar ditujukan kepada Abu ‘Ubaidah berita tersebut disimpan saja oleh Abu ‘Ubaidah terhadap Khalid sampai perang berakhir ….

Riwayat manapun yang benar, yang ini atau yang itu, yang penting bagi kita ialah sikap Khalid pada kedua kondisi tersebut, yang mengungkapkan bahwa benar-benar ia suatu pribadi yang mengagumkan, penuh keagungan dan kemuliaan. Dan setahu penulis, tak satu pun dalam seluruh kehidupan Khalid, suatu kejadian yang menjelaskan keikhlasannya yang mendalam dan kejujurannya yang teguh, melebihi apa yang ditunjukkan peria­tiwa ini.

Sama saja baginya, apakah jadi panglima, atau hanya prajurit biasa. Sesungguhnya jadi pemimpin seperti halnya prajurit masing-masing membawa kewajiban yang harus ditunaikankan­nya terhadap Allah yang ia imani, terhadap Rasul yang ia bai’at, terhadap Agama yang telah dipeluknya, dan ia bernaung di bawah panji-panjinya ….

Baktinya yang diberikan sebagai amir yang memerintah, sama dengan darmanya yang dibaktikannya sebagai prajurit yang dititah. “Kemenangan besar terhadap nafsu ini dipersiap­kan baginya sebagai juga bagi orang lainnya, oleh contoh teladan dan perangai para Khalifah, yang memegang tampuk pimpinan Ummat Islam waktu itu . . . . Abu Bakar dan Umar .. . dua nama, yang bila saja lidah bergerak menyebutnya, maka ter­bayanglah dalam hati segala sifat keutamaan manusia dan kebesarannya ….

Sekalipun hubungan belas kasih seolah-olah hilang tercecer antara Umar dan Khalid, namun kebersihan jiwa Umar, ke­adilan, ketaqwaan dan kebesaran pribadinya yang luar biasa, tak sebenang pun diragukan oleh Khalid.
Karena itu pula, tak ada alasan untuk  meragukan keputusan­-keputusan yang diambilnya, karena hati nurani yang mengeluar­kannya, telah sampai ke puncak keshalehan, kelurusan, keikhlas­an don kejujuran, sejauh yang dapat dicapai oleh manusia yang berhati bersih dan terpimpin.

Tak ada sedikit pun maksud jelek Umar terhadap pribadi Khalid itu, hanya ia merasa keberatan terhadap pedangnya yang terlalu cepat dan tajam . . . . Hal ini telah dibayangkannya sewaktu ia mengusulkan pemberhentian Khalid kepada Abu Bakar, menyusul terbunuhnya Malik bin Nuwairah, katanya:
“Sesungguhnya pada pedang Khalid itu ada rohaqnya”,- artinya kelancangan, ketajaman dan ketergesaan.
Lalu dijawab oleh KhaliIah ash-Shiddiq: “Aku tak akan me­nyarungkan pedang, yang telah dihunus Allah atas orang-orang kafir  . . . “

Umar tidak mengatakan bahwa rohaq (kecepatan bertindak) pada Khalid . . . hanya menjadi sifat rohaq itu sebagai sifat pedangnya bukan pribadi orangnya. Kata-kata itu tidak saja mengungkapkan adab sopan santun, tapi juga penilaian baiknva terhadap diri Khalid ….

Kehidupan Khalid adalah perang sejak lahir sampai mati. Lingkungannya, pertumbuhannya, pendidikannya dan seluruh kehidupannya sebelum dan sesudah Islam, seluruhnya merupakan arena bagi seorang pahlawan berkuda yang lihai lagi ditakuti. Kemudian bahwa kegigihannya di masa silam sebelum Islam, peperangan-peperangan yang diterjuninya menentang Rasul dan shahabatnya, dan pukulan-pukulan pedangnya di masa syirik yang menjatuhkan kepala-kepala orang-orang yang beriman serta kening-kening para shahabat peribadat, semuanya itu merupakan beban yang berat bagi jiwa dan kalbunya.

Maka sekarang dijadikannya pedangnya alat yang ampuh penebus masa lalu, dengan- memancung habis segala tonggak kemusyrikan berlipat ganda hebatnya dari apa yang telah pernah dilakukannya terhadap Islam. Dan barangkali anda masih ingat kalimat yang pernah kami cantumkan di permulaan ceritera ini, yang terlompat dari mulutnya sewaktu berbicara dengan Rasul­ullah saw.: “Ya Rasulallah . . . . Mohon anda mintakan aku ampun terhadap semua yang telah kulakukan, berupa meng­halangi jalan Allah!”
Sekalipun Rasul telah menjelaskan bahwa Islam telah me­ma’afkan semua masa lalu, namun ia berusaha untuk mendapatkan janji dari Rasulullah selagi ia masih hidup agar beliau me­mohonkan ampun kepada Allah atas segala perbuatannya di masa silam itu.

Dan pedang yang sedang berada di tangan seorang panglima  berkuda istimewa seperti Khalid, kemudian tangan yang menggenggam pedang itu digerakkan oleh hati yang bergelora dengan kehangatan pensucian dan penebusan, serta dipenuhi dengan pembelaan mutlak terhadap agama yang masih dikelilingi ber­bagai persekongkolan jahat dan permusuhan, sungguh sulitlah bagi pedang ini untuk melepaskan diri sama sekali dari pembawaannya yang keras dahsyat, dan ketajamannya yang memutus ….

Beginilah keadaannya, kita lihat pedang Khalid membuat ke­sukaran bagi pemiliknya.
Maka sewaktu selesainya pembebasan kota Mekah, Nabi saw. mengutusnya kepada sebagian kabilah yang berdekatan dengan negeri Mekah, sambil mengatakan kepadanya: “Aku mengutusmu sebagai da’i — penyeru ummat — bukan sebagai penyerang mereka”, rupanya pedangnya itu telah menguasai dirinya yang mendorongnya ke peranan seorang penyerang dan terlepas dari peranan seorang da’i sebagaimana telah diwasiat­kan Rasul kepadanya, Nabi merasa kesal dan bersedih sewaktu tindakan Khalid disampaikan kepadanya dan sambil berdiri menghadap kiblat, beliau mengangkatkan tangannya, memohon ampun kepada Allah dengan ucapannya:
“Wahai ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu, dari tindakan yang telah dilakukan Khalid”; lalu diutusnya Ali kepada mereka untuk memberikan tebusan ganti rugi, terhadap darah dan harta mereka.
Kata setengah orang, Khalid membela dirinya dengan alasan, Abdullah bin HudzaIah as Sahmi mengatakan kepadanya bahwa Rasulullah memerintahkan dia untuk memerangi mereka karena mereka menolak Islam ….

Khalid memiliki tenaga di luar tenaga manusia biasa . . . . Tenaga itu mendorongnya sekuat-kuatnya untuk menghancurkan seluruh dunia lamanya yang menyiksa hatinya . . . . Kalaulah kita mau memahaminya, bagaimana ia meruntuhkan berhala “Uzza ketika dialah yang dikirim Nabi untuk meruntuhkannya! Dan sekiranya kita melihat bagaimana ia menghancurkan bangun­an batu tersebut, akan kita lihat seorang laki-laki seolah-olah sedang memerangi seantero tentara. Ditebasnya semua kepada oknum-okmunnya dan dibinasakan seluruh barisannya dengan kematian.
la menghantam dengan tangan kanannya, tangan kirinya, dengan kakinya sambil berteriak kepada runtuhan yang ber­tebaran dan debu yang berjatuhan: “Ya ‘Uzza kufranak, la Subhanak”, Hai ‘Uzza, keparat kamu, persetan akan kebesaran­mu! Sungguh, kulihat Allah telah menghinakanmu!”
Kemudian patung itu dibakarnya dengan menyalakan api di tanahnya. Setiap ciri-ciri kemusyrikan dan sisa-sisanya seperti ‘Uzza pada pandangan Khalid tak ada tempatnya lagi di Islam baru, di mana Khalid berdiri di bawah benderanya ….

Khalid tak melihat alat lain untuk membersihkannya, kecuali pedangnya! Atau kalau tidak bentakannya: “Keparat kau hai “Uzza, persetan akan kebesaranmu! Sungguh, kulihat Allah telah menghinakanmu!”
Tetapi kita sendiri, karena apa yang kita harapkan tidak beda dengan yang diharapkan sayyidina Umar, seandainya pedang Khalid tidak bertindak keras kita akan selalu mengulang-­ulangi ucapan Amirul Mu’minin yang berbunyi: “Tak seorang wanita pun akan sanggup melahirkan lagi laki-laki seperti Khalid … !”

Sewaktu ia meninggal dunia Umar menangis sejadi-jadinya. Kemudian umum dapat mengetahui, bahwa Umar bukan menangis hanya karena kehilangannya semata, tetapi yang beliau tangisi ialah lenyapnya kesempatan untuk mengangkatnya kembali memegang pucuk pimpinan tentara Islam, sesudah ber­kurangnya kefanatikan manusia yang berlebih-lebihan kepada­nya. Karena sebetulnya sudah agak lama Umar bertekad memu­lihkan kepemimpinannya itu dan menjernihkan sebab-sebab pemberhentiannya, kalau tidaklah maut datang menjemput pahlawan besar itu untuk bersegera pulang ke tempat kembali­nya di surga . . . . Bukankah ia tidak pernah beriatirahat seperti itu di bumi? Bukankah telah datang masanya bagi jasad yang selalu bekerja keras itu, untuk tidur sekejap? la lah pribadi yang sering dilukiskan oleh shahabat-shahabat maupun oleh musuh-­musuhnya, dengan kata-kata: “Orang yang tidak pernah tidur dan tidak membiarkan orang lain tidur …. !

Adapun ia sendiri, seandainya dibolehkan memilih, tentu ia akan memilih agar Allah menambah usianya agar dapat me­neruskan perjuangan meruntuhkan semua bangunan-bangunan lapuk, dan agar dapat menambah amal-amal dan jihadnya dalam Islam ….
Semangat juang dan keharuman namanya akan selalu di­kenang sepanjang masa, selama kuda-kuda perang masih me­ringkik, mata-mata pedang masih berkilatan, dan selama panji-­panji dan bendera tauhid masih berkibaran di atas pundak bala­ tentara Islam ….

Sungguh dia pernah berkata:
“Tak ada yang dapat menandingi kegembiraanku, bahkan lebih gembira dari saat malam pengantin, atau di saat di­karuniai bayi, yaitu suatu malam yang sangat genting, di mana aku dengan ekspedisi tentara bersama orang-orang Muhajirin menggempur kaum musyrikin di waktu shubuh . . .! “

Oleh karena itulah ada sesuatu yang selalu merisaukan fikirannya sewaktu masih hidup, yaitu kalau-kalau ia, mati di atas tempat tidur, padahal ia telah menghabiskan seluruh umurnya di atas punggung, kuda perangnya, dan di bawah kilatan pedangnya.
Ia lah orangnya yang pernah berperang bersama Rasulullah saw. Ia yang telah menundukkan kaum murtad. Ia yang telah membumi ratakan takhta kerajaan Persi dan Romawi. Ia yang telah melompat menjelajahi bumi di Irak langkah demi langkah .. .. hingga dimenangkannya untuk Islam dan di Syria setapak demi setapak pula, sampai semuanya dipersembahkannya ke haribaan Islam.
la adalah seorang panglima, dengan kesukaran hidup seorang prajurit serta rendah hatinya . . . . Sebaliknya seorang prajurit dengan tanggung jawab seorang panglima dengan teladannya! seorang pahlawan perang yang hatinya risau kalau-kalau ia mati di atas tempat tidurnya. Ketika itu ia berkata, sedang air mata­nya meleleh keluar:
“Aku telah ikut serta dalam pertempuran di mana-mana. seluruh tubuhku penuh dengan tebasan pedang, tusukan tombak serta tancapan panah ….
Kemudian inilah aku tidak sebagai yang kuingini, mati di atas tempat tidur, laksana matinya seekor unta! Maka tidak akan tertidur mata orang-orang pengecut”.

Itulah kata-katanya, yakni kata-kata yang tak akan diucap­kan seseorang dalam suasana demikian, kecuali seorang laki-laki jantan seperti dia! Di saat-saat ia hampir menghembuskan nafas­nya yang penghabisan, ia ucapkan wasiatnya itu ….
Tahukah anda kepada siapa la berwasiat?
Yaitu kepada Umar bin Khatthab sendiri …
Tahukah anda kekayaan apa yang ditinggalkannya? Hanya kuda perang dan pedangnya.
Kemudian apa lagi?
Yang lain tak ada lagi sesuatu barang berharga yang dapat dinikmati atau dimiliki orang.
Demikian itu, disebabkan seumur hidupnya tak pernah ia dipengaruhi keinginan, kecuali menikmati kemenangan dan berjaya mengalahkan musuh kebenaran.

Tak suatu pun kesenangan dunia yang mempengaruhi ke­inginan nafsunya. Oh, ada satu, yaitu suatu barang yang sangat hati-hati sekali dan mati-matian ia memeliharanva. Barang itu berupa kopiah. Pernah suatu ketika, kopiah itu terjatuh dalam perang Yarmuk lalu ia menyusahkan dirinya dan orang lain untuk mencarinya. Ketika orang lain mencelanya karena itu, maka ujarnya: “Di dalamnya terdapat beberapa helai rambut dari ubun-ubun Rasulullah”,
Dan akhirnya jenazah pahlawan besar ini keluar dari rumah­nya diusung oleh para shahabatnya. Ibu dari sang pahlawan memandangnya dengan kedua mata yang bercahaya memper­lihatkan kekerasan hati tapi disaput awan dukacita, lalu melepas­nya dengan kata-kata:
“Jutaan orang tidak dapat melebihi keutamaanmu …. Mereka gagah perkasa tapi tunduk di ujung pedangmu …. Engkau pemberani melebihi singa betina ….
Yang sedang mengamuk melindungi anaknya …. Engkau lebih dahsyat dari air bah ….
Yang terjun dari celah bukit curam ke lembah ….

Umar mendengar ucapan tersebut, maka hatinya bertambah duka dan terharu, dan air mata beliau semakin jatuh berderai, lalu katanya: “Benar ucapannya itu . . . ! Demi Allah sungguh­-sungguh demikian ……

Dan tinggallah pahlawan itu di pembaringannya. Para sha­habatnya tegak berdiri dengan khusuknya; dunia sekeliling mereka hening, tenang dan sepi . . . . Keheningan yang mengharukan itu, tiba-tiba dipecahkan oleh bunyi ringkik dan dengus kuda yang datang, sebagaimana yang dapat kita bayangkan, sesudah melepaskan tali kekangnya, segera mendompak dan melompat lalu berlari melintasi jalan-jalan kota Madinah menyusul dari belakang jenazah tuannya, pemilik dan penunggang­nya, sementara keharuman dan kewangian jenazah itu semerbak membawanya ke arah tujuan ….

Sewaktu kuda itu sampai ke dekat kumpulan orang-orang yang sedang termenung menghadapi permukaan kubur yang masih basah, digerak-gerakkannya kepalanya bagaikan mengibarkan panji perang, disertai dengan dengusan yang merendah .. . tak ubahnya seperti yang dilakukannya selagi pahlawannya masih hidup menaiki punggungnya, pergi bertempur meng­goncangkan istana-istana dan takhta kerajaan Persi dan Romawi, menghilangkan segala angan-angan keberhalaan dan kedurhakaan, dan mengikis habis segala kekuatan kemusyrikan dan kemundur­an yang merintangi jalan Islam ….
Ia terhenti sembari matanya nanap menatap kubur tak berkisar sedikit pun. Digoyang-goyangkannya kepalanya naik turun, seakan-akan melambai-lambaikan kepada tuan dan pah­lawannya, memberi hormat dan menyampaikan salam perpisahan ….
Kemudian ia tertegun pula, dengan kepala terangkat ke atas disertai kening meninggi . . . , dan dari cekuk di bawahnya mengalirlah air matanya yang deras tak terbendung lagi.

Kuda ini telah diwakafkan Khalid bersama pedangnya untuk jalan Allah. Tetapi adakah orang berkuda lainnya yang sanggup menungganginya sesudah Khalid … ? Maukah ia merendahkan punggungnya bagi orang lain? Hai, pahlawan yang selalu jaya, wahai fajar di setiap malam … !

Sesungguhnya kamu mengangkat tinggi moral pasukanmu, dengan ucapan setiap bergerak maju:
“Di kala shubuh datang menjelma, pejalan-pejalan malam memuji suka”. (Hendak mencapai kesenangan, haruslah dengan bersusah payah lebih dahulu).
Hingga kata-katamu itu telah menjadi kata-kata bersayap Nah, inilah kamu, telah kamu selesaikan perjalanan malam­mu! Maka puji-pujianlah untuk waktu pagi-pagimu, wahai Abu Sulaiman! Sebutan namamu amat mulia, harum mewangi, kekal abadi, wahai Khalid! Dan biarkanlah kami . . . mengulang-ulangi bersama Amirul Mu’minin ucapan kata-katanya yang sedap, manis dan indah yang digunakannya untuk meratapi dan melepas kepergianmu:
“Rahmat Allah bagi Abu Sulaiman”.
‘Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada yang di dunia”. “Ia hidup terpuji dan berbahagia setelah mati”.


60 Sahabat Nabi: Khalid Ibnul Walid, Ia Selalu Waspada, Dan Tidak Membiarkan Orang Lengah Dan Alpa 60 Sahabat Nabi: Khalid Ibnul Walid, Ia Selalu Waspada, Dan Tidak Membiarkan Orang Lengah Dan Alpa Reviewed by Himam Miladi on May 04, 2014 Rating: 5

No comments:

Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini

Powered by Blogger.