Pada suatu hari, kota Madinah sedang aman dan tenteram, terlihat
debu tebal yang mengepul ke udara, datang dari tempat ketinggian di pinggir
kota; debu itu semakin tinggi bergumpal-gumpal hingga hampir menutup ufuk
pandangan mata. Angin yang bertiup menyebabkan gumpalan debu kuning dari
butiran-butiran sahara yang lunak, terbawa menghampiri pintu-pintu kota, dan
berhembus dengan kuatnya di jalan-jalan raya.
Orang banyak menyangka ada angin ribut yang menyapu dan
menerbangkan pasir. Tetapi kemudian dari balik tirai debu itu segera mereka
dengar suara hiruk pikuk, yang memberi tahu tibanya suatu iringan kafilah besar
yang panjang.
Tidak lama kemudian, sampailah 700 kendaraan yang sarat dengan
muatannya memenuhi jalan-jalan kota Madinah dan menyibukkannya. Orang banyak
saling memanggil dan menghimbau menyaksikan keramaian ini Serta turut
bergembira dan bersukacita dengan datangnya harta dan rizqi yang dibawa kafilah
itu . . .
Ummul Mu’minin Aisyah r.a. demi mendengar suara hiruk pikuk itu
ia bertanya: “Apakah yang telah terjadi di kota Madinah . . . ?” Mendapat
jawaban, bahwa kafilah Abdurrahman bin ‘Auf baru datang dari Syam membawa
barang-barang dagangannya . . . . Kata Ummul Mu’minin lagi: “Kafilah yang
telah menyebabkan semua kesibukan ini?” “Benar, ya Ummal Mu’- minin .. . karena
ada 700 kendaraan … !”
Ummul Mu’minin menggeleng-gelengkan kepalanya, sembari
melayangkan pandangnya jauh menembus, seolah-olah hendak mengingat-ingat
kejadian yang pernah dilihat atau ucapan yang pernah didengarnya. Kemudian
katanya: “Ingat, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: —
“Kulihat Abdurrahman bin ‘Auf masuk surga dengan
perlahan-lahanl”
Abdurrahman bin ‘Auf masuk surga dengan perlahan-lahan. . . ?
Kenapa ia tidak memasukinya dengan melompat atau berlari kencang bersama
angkatan pertama para shahabat Rasul . . . ? Sebagian shahabat menyampaikan
ceritera Aisyah kepadanya, maka ia pun teringat pernah mendengar Nabi saw.
Hadits ini lebih dari satu kali dan dengan susunan kata yang berbeda-beda.
Dan sebelum tali-temali perniagaannya dilepaskannya,
ditujukannya langkah-langkahnya ke rumah Aisyah lalu berkata kepadanya: “Anda
telah mengingatkanku suatu Hadits yang tak pernah kulupakannya. Kemudian
ulasnya lagi: “Dengan ini aku mengharap dengan sangat agar anda menjadi saksi,
bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya,
ku persembahkan di jalan Allah ‘azza wajalla !” Dan dibagikannyalah seluruh
muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya sebagai
perbuatan baik yang maka besar ….
Peristiwa yang satu ini saja, melukiskan gambaran yang sempurna
tentang kehidupan shahabat Rasulullah, Abdurrahman bin ‘Auf. Dialah saudagar
yang berhasil. Keberhasilan yang paling besar dan lebih sempurna! Dia pulalah
orang yang kaya raya. Kekayaan yang paling banyak dan melimpah ruah . . . !
Dialah seorang Mu’min yang bijaksana yang tak sudi kehilangan bagian keuntungan
dunianya oleh karena keuntungan Agamanya, dan tidak suka harta benda
kekayaannya meninggalkannya dari kafilah iman dan pahala surga. Maka dialah
r.a. yang membaktikan harta kekayaannya dengan kedermawanan dan pemberian
yang tidak terkira, dengan hati yang puas dan rela …
Kapan dan bagaimana masuknya orang besar ini ke dalam Islam? Ia
masuk Islam sejak fajar menyingsing .. .. Ia telah memasukinya di saat-saat
permulaan da’wah, yakni sebelum Rasulullah saw. memasuki rumah Arqam dan
menjadikannya sebagai tempat pertemuan dengan para shahabatnya orangorang
Mu’min . . .
Dia adalah salah seorang dari delapan orang yang dahulu masuk
Islam …. Abu Bakar datang kepadanya menyampaikan Islam, begitu juga kepada
Utsman bin ‘Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubedillah, dan Sa’ad bin Abi
Waqqash. Maka tak ada persoalan yang tertutup bagi mereka, dan tak ada keraguraguan
yang menjadi penghalang, bahkan mereka segera pergi bersama Abu Bakar Shiddiq
menemui Rasulullah saw. menyatakan bai’at dan memikul bendera Islam . . . .
Dan semenjak keIslamannya sampai berpulang menemui Tuhannya
dalam umur tujuh puluh lima tahun, ia menjadi teladan yang cemerlang sebagai
seorang Mu’min yang besar. Hal ini menyebabkan Nabi saw. memasukkannya dalam
sepuluh orang yang telah diberi kabar gembira
sebagai ahli surga.
Dan Umar r.a. mengangkatnya pula sebagai anggota kelompok
musyawarah yang berenam yang merupakan calon khalifah yang akan dipilih sebagai
penggantinya, seraya katanya: “Rasulullah wafat dalam keadaan ridla kepada mereka!”
Segeralah Abdurrahman masuk Islam menyebabkannya menderitakan
nasib malang berupa penganiayaan dan penindasan dari Quraisy . . . . Dan
sewaktu Nabi saw., memerintahkan para shahabatnya hijrah ke Habsyi, Ibnu ‘Auf
ikut berhijrah kemudian kembali lagi ke Mekah, lalu hijrah untuk kedua kalinya
ke Habsyi dan kemudian hijrah ke Madinah . . . . ikut bertempur di perang
Badar, Uhud dan peperangan-peperangan lainnya . . . .
Keberuntungannya dalam perniagaan sampai suatu batas yang
membangkitkan dirinya pribadi ketakjuban dan keheranan, hingga katanya:
“Sungguh, kulihat diriku, seandainya aku mengangkat batu niacaya
kutemukan di bawahnya emas dan perak … !”
Perniagaan bagi Abdurrahman bin ‘Auf r.a. bukan berarti rakus
dan loba . . . . Bukan pula suka menumpuk harta atau hidup mewah dan ria! Malah
itu adalah suatu amal dan tugas kewajiban yang keberhasilannya akan menambah
dekatnya jiwa kepada Allah dan berqurban di jalan-Nya ….
Dan Abdurrahman bin ‘Auf seorang yang berwatak dinamis,
kesenangannya dalam amal yang mulia di mana juga adanya …. Apabila ia tidak
sedang shalat di mesjid, dan tidak sedang berjihad dalam mempertahankan Agama
tentulah ia sedang mengurus perniagaannya yang berkembang pesat,
kafilah-kafilahnya membawa ke Madinah dari Mesir dan Syria barang-barang
muatan yang dapat memenuhi kebutuhan seluruh jazirah Arab berupa pakaian dan
makanan.
Dan watak dinamisnya ini terlihat sangat menonjol, ketika Kaum
Muslimin hijrah ke Madinah …. Telah menjadi kebiasaan Rasul pada waktu itu
untuk mempersaudarakan dua orang shahabat, salah seorang dari muhajirin warga
Mekah dan yang lain dari Anshar penduduk Madinah.
Persaudaraan ini mencapai kesempurnaannya dengan cara yang
harmonis yang mempesonakan hati. Orang-orang Anshar penduduk Madinah membagi
dua seluruh kekayaan miliknya dengan saudaranya orang muhajirin . . . ,
sampai-sampai soal rumah tangga. Apabila ia beristeri dua orang diceraikannya
yang seorang untuk memperisteri saudaranya … !
Ketika itu Rasul yang mulia mempersaudarakan antara Abdurrahman
bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Rabi’ . . . Dan marilah kita dengarkan shahabat yang
mulia Anas bin Malik r.a. meriwayatkan kepada kita apa yang terjadi:
” . . . dan berkatalah Sa’ad kepada Abdurrahman: “Saudaraku,
aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silakan pilih separoh hartaku dan
ambillah! Dan aku mempunyai dua orang istri, coba perhatikan yang lebih menarik
perhatian anda, akan kuceraikan ia hingga anda dapat memperisterinya … !”
Jawab Abdurrahman bin ‘Auf: “Moga-moga Allah memberkati anda,
istri dan harta anda! Tunjukkanlah letaknya pasar agar aku dapat berniaga . . .
!”
Abdurrahman pergi ke pasar, dan berjual belilah di sana … ia pun
beroleh keuntungan … !
Kehidupan Abdurrahman bin ‘Auf di Madinah baik semasa Rasulullah
saw. maupun sesudah wafatnya terus meningkat …. Barang apa saja yang ia pegang
dan dijadikannya pokok perniagaan pasti menguntungkannya. Seluruh usahanya ini
ditujukan untuk mencapai ridla Allah semata, sebagai bekal di alam baqa kelak
… !
Yang menjadikan perniagaannya berhasil dan beroleh berkat karena
ia selalu bermodal dan berniaga barang yang halal dan menjauhkan diri dari
perbuatan haram bahkan yang syubhat …. Seterusnya yang menambah kejayaan dan
diperolehnya berkat, karena labanya bukan untuk Abdurrahman sendiri . . . tapi
di dalamnya terdapat bagian Allah yang ia penuhi dengan setepattepatnya, pula
digunakannya untuk memperkokoh hubungan kekeluargaan serta membiayai sanak
saudaranya, serta menyediakan perlengkapan yang diperlukan tentara Islam ….
Bila jumlah modal niaga dan harta kekayaan yang lainnya ditambah
keuntungannya yang diperolehnya, maka jumlah kekayaan Abdurrahman bin ‘Auf itu
dapat diperkirakan apabila kita memperhatikan nilai dan jumlah yang
dibelanjakannya pada jalan Allah Rabbul’alamin! Pada suatu hari ia mendengar Rasulullah
saw. bersabda:—
“Wahai Ibnu ‘Auf! anda termasuk golongan orang kaya … dan anda
akan masuk surge secara perlahan-lahan . . . ! Pinjamkanlah kekayaan itu kepada
Allah, pasti Allah mempermudah langkah anda … !
Semenjak ia mendengar nasihat Rasulullah ini dan ia menyediakan
bagi Allah pinjaman yang baik, maka Allah pun memberi ganjaran kepadanya dengan
berlipat ganda.
Di suatu hari ia menjual tanah seharga 40 ribu dinar, kemudian
uang itu dibagi-bagikannya semua untuk keluarganya dari Bani Zuhrah, untuk para
istri Nabi dan untuk kaum fakir miakin.
Diserahkannya pada suatu hari lima ratus ekor kuda untuk
perlengkapan bala tentara Islam . . . dan di hari yang lain seribu lima ratus
kendaraan. Menjelang wafatnya ia berwasiat limapuluh ribu dinar untuk jalan
Allah, lalu diwasiatkannya pula bagi setiap orang yang ikut perang Badar dan
masih hidup, masing-masing empat ratus dinar, hingga Utsman bin Affan r.a. yang
terbilang kaya juga mengambil bagiannya dari wasiat itu, serta katanya:
“Harta Abdurrahman bin ‘Auf halal lagi bersih, dan memakan harta
itu membawa selamat dan berkat”.
Ibnu ‘Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya,
bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya . . .. Sebagai buktinya, ia
tidak mau celaka dengan mengumpulkannya dan tidak pula dengan menyimpannya . .
. . Bahkan ia mengumpulkannya secara santai dan dari jalan yang halal ….
Kemudian ia tidak menikmati sendirian . . . . tapi ikut menikmatinya bersama
keluarga dan kaum kerabatnya serta saudara-saudaranya dan masyarakat
seluruhnya.
Dan karena begitu luas pemberian serta pertolongannya, pernah
dikatakan orang:
“Seluruh penduduk Madinah berserikat dengan Abdurrahman bin ‘Auf
pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya kepada mereka . . . . Sepertiga lagi
dipergunakannya untuk membayar hutang-hutang mereka. Dan sepertiga sisanya
diberikan dan dibagi-bagikannya kepada mereka”.Harta kekayaan ini tidak akan
mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya, selama tidak memungkinkannya
untuk membela Agama dan membantu kawan-kawannya. Adapun untuk lainnya, ia
selalu takut dan ragu . . . !
Pada suatu hari dihidangkan kepadanya makanan untuk berbuka,
karena waktu itu ia sedang shaum – . . . Sewaktu pandangannya jatuh pada
hidangan tersebut, timbul selera makannya, tetapi iapun menangis sambil
mengeluh:
“Mush’ab bin Umeir telah gugur sebagai syahid, ia seorang yang
jauh lebih baik daripadaku, ia hanya mendapat kafan sehelai burdah; jika
ditutupkan ke kepalanya maka kelihatan kakinya, dan jika ditutupkan kedua
kakinya terbuka kepalanya!
Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku, ia pun
gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya
sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah
diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami
khawatir kalau-kalau telah didahulukan pahala kebaikan kami … !”
Pada suatu peristiwa lain sebagian shahabatnya berkumpul
bersamanya menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama sesudah makanan diletakkan
di hadapan mereka, ia pun menangis karena itu mereka bertanya: “Apa sebabnya
anda menangis, wahai Abu Muhammad . .. ?”
Ujarnya: “Rasulullah saw. telah wafat dan tak pernah beliau
berikut ahli rumahnya sampai kenyang makan roti gandum, apa harapan kita
apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan bagi kita … ?”
Begitulah ia, kekayaannya yang melimpah-limpah, sedikit pun
tidak membangkitkan kesombongan dan takabur dalam dirinya, Sampai-sampai
dikatakan orang tentang dirinya: “Seandainya seorang asing yang belum pernah
mengenalnya, kebetulan melihatnya sedang duduk-duduk bersama pelayan-pelayannya,
niacaya ia tak akan sanggup membedakannya diantara mereka!”
Tetapi bila orang asing itu mengenal satu segi saja dari perjuangan
Ibnu ‘Auf dan jasa-jasanya, misalnya diketahui bahwa di badannya terdapat
duapuluh bekas luka di perang Uhud, dan bahwa salah satu dari bekas luka ini
meninggalkan cacad pincang yang tidak sembuh-sembuh pada salah satu kakinya . .
. sebagaimana pula
beberapa gigi seri rontok di perang Uhud, yang menyebabkan kecadelan yang jelas
pada ucapan dan pembicaraannya . . . . Di waktu itulah orang baru akan menyadari
bahwa laki-laki yang berperawakan tinggi dengan air muka berseri dan kulit
halus, pincang Serta cadel, sebagai tanda jasa dari perang Uhud, itulah orang
yang bernama Abdurrahman bin ‘Auf . . . ! Semoga Allah ridla kepadanya dan ia
pun ridla kepada Allah . . . !
Sudah menjadi kebiasaan pada tabi’at manusia bahwa harta
kekayaan mengundang kekuasaan . . . artinya bahwa orangorang kaya selalu
gandrung untuk memiliki pengaruh guna melindungi kekayaan mereka dan melipat
gandakan, dan untuk memuaskan nafsu, sombong, membanggakan dan mementingkan
diri sendiri, yakni sifat-sifat yang biasa dibangkitkan oleh kekayaan . . . !
Tetapi bila kita melihat Abdurrahman bin ‘Auf dengan kekayaannya
yang melimpah ini, kita akan menemukan manusia ajaib yang sanggup menguasai
tabi’at kemanusiaan dalam bidang ini dan melangkahinya ke puncak ketinggian
yang unik … !
Peristiwa ini terjadi sewaktu Umar bin Khatthab hendak berpisah
dengan ruhnya yang suci dan ia memilih enam orang tokoh dari para shahabat
Rasulullah saw. sebagai formateur agar mereka memilih salah seorang di antara
mereka untuk menjadi khalifah yang baru ….
Jari-jari tangan sama-sama menunjuk dan mengarah ke Ibnu ‘Auf .
. . . Bahkan sebagian shahabat telah menegaskan bahwa dialah orang yang lebih
berhak dengan khalifah di antara yang enam itu, maka ujarnya: “Demi Allah,
daripada aku menerima jabatan tersebut, lebih baik ambil pisau lalu taruh ke
atas leherku, kemudian kalian tusukkan sampai tembus ke sebelah . . . !”
Demikianlah, baru saja kelompok Enam formateur itu mengadakan
pertemuan untuk memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah
yang akan menggantikan al Faruk, Umar bin Khatthab maka kepada kawan-kawannya
yang lima dinyatakannya bahwa ia telah melepaskan haknya yang dilimpahkan Umar
kepadanya sebagai salah seorang dari enam orang colon yang akan dipilih menjadi
khalifah. Dan adalah kewajiban mereka untuk melakukan pemilihan itu terbatas di
antara mereka yang berlima saja ….
Sikap zuhudnya terhadap jabatan pangkat ini dengan cepat telah
menempatkan dirinya sebagai hakim di antara lima orang tokoh terkemuka itu.
Mereka menerima dengan senang hati agar Abdurrahman bin ‘Auf menetapkan pilihan
khalifah itu terhadap salah seorang di antara mereka yang berlima, sementara.
Imam Ali mengatakan:
“Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, bahwa anda
adalah orang yang dipercaya oleh penduduk langit, dan dipercaya pula oleh
penduduk bumi . . . !” Oleh Ibnu ‘Auf dipilihlah Utsman bin Affan untuk jabatan
khalifah dan yang lain pun menyetujui pilihannya.
Nah, inilah hakikat seorang laki-laki yang kaya raya dalam
Islam! Apakah sudah anda perhatikan bagaimana Islam telah mengangkat dirinya
jauh di atas kekayaan dengan segala godaan dan penyesatannya itu dan bagaimana
ia menempa kepribadiannya dengan sebaik-baiknya?
Dan pada tahun ketigapuluh dua Hijrah, tubuhnya berpisah dengan
ruhnya …. Ummul Mu’minin Aisyah ingin memberinya kemuliaan khusus yang tidak
diberikannya kepada orang lain, maka diusulkannya kepadanya sewaktu ia masih
terbaring di ranjang menuju kematian, agar ia bersedia dikuburkan di pekarangan
rumahnya berdekatan dengan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. . ..
Akan tetapi ia memang seorang Muslim yang telah dididik Islam
dengan sebaik-baiknya, ia merasa malu diangkat dirinya pada kedudukan tersebut
. . . !
Dahulu ia telah membuat janji dan ikrar yang kuat dengan Utsman
bin Madh’un, yakni bila salah seorang di antara mereka meninggal sesudah yang
lain maka hendaklah ia dikuburkan di dekat shahabatnya itu …Selagi ruhnya
bersiap-siap memulai perjalanannya yang baru, air matanya meleleh sedang
lidahnya bergerak-gerak mengucapkan kata-kata:
“Sesungguhnya aku khawatir dipisahkan dari shahabat shahabatku
karena kekayaanku yang melimpah ruah … !”
Tetapi sakinah dari Allah segera menyelimutinya, lalu satu
senyuman tipis menghiasi wajahnya disebabkan sukacita yang memberi cahaya Serta
kebahagiaan yang menenteramkan jiwa .. . . Ia memasang telinganya untuk
menangkap sesuatu . . . . seolah-olah ada suara yang lembut merdu yang datang
mendekat ….
Ia sedang mengenangkan kebenaran sabda Rasulullah saw. yang
pernah beliau ucapkan: “Abdurrahman bin ‘Auf dalam surga!”, lagi pula ia sedang
mengingat-ingat janji Allah dalam kitab-Nya:
“Orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah kemudian
mereka tidak mengiringi apa yang telah mereka nafqahkan itu dengan
membangkit-bangkit pemberiannya dan tidak pula kata-kata yang menyakitkan,
niacaya mereka beroleh pahala di sisi Tuhan mereka; mereka tidak usah merasa
takut dan tidak pula berdukacita … !”
(Q.S. 2
al-Baqarah: 262)
60 Sahabat Nabi: Abdurrahman bin Auf, "Apa Sebabnya Anda Menangis, Hai Abu Muhammad?
Reviewed by Himam Miladi
on
May 27, 2014
Rating:
No comments:
Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini