Dia adalah salah seorang di antara dua bersaudara yang hidup
mengabdikan diri kepada Allah, dan telah mengikat janji dengan Rasulullah saw. Yang tumbuh dan berkembang bersama sama. Yang pertama bernama Anas bin Malik
khadam Rasulullah saw. Ibunya yang bernama Ummu Sulaim membawanya kepada Rasul,
sedang umurnya pada waktu itu baru sepuluh tahun, seraya katanya: “Ya
Rasulallah … ! Ini Anas, pelayan anda yang akan melayani anda, doakanlah ia
kepada Allah!”
Rasulullah mencium anak itu antara kedua matanya lalu
mendoakannya, doa mana tetap membimbing usianya yang panjang ke arah kebaikan
dan keberkahan . . . . Rasul telah mendoakannya dengan kata-kata berikut: — “Ya
Allah banyakkanlah harta dan anaknya, berkatilah ia dan masukkanlah ia ke
surga … !”
Ia hidup sampai usia 99 tahun dan diberi-Nya anak dan cucu yang
banyak, begitu pula Allah memberinya rizqi, berupa kebun yang luas dan subur,
yang dapat menghasilkan panen buah-buahan dua kali dalam setahun …
Yang kedua dari dua bersaudara itu ialah Barra’ bin Malik …. Ia
termasuk golongan terkemuka dan terhormat, menjalani kehidupannya dengan
bersemboyan “Allah dan surga. . . . “. Dan barang siapa melihatnya ia
sedang berperang mempertahankan Agama Allah, niscaya akan melihat hal ajaib di
balik ajaib … !
Ketika ia berhadapan pedang dengan orang-orang musyrik, Barra’
bukanlah orang yang hanya mencari kemenangan, sekalipun kemenangan termasuk
tujuan . . . ,tetapi tujuan akhirnya ialah mencari syahid Seluruh
cita-citanya mati syahid, menemui ajalnya di salah suatu gelanggang pertempuran
dalam mempertahankan haq dan melenyapkan bathil
Dia tak pernah ketinggalan dalam setiap peperangan baik bersama
Rasul ataupun tidak …. Pada suatu hari teman-temannya datang mengunjunginya,
ia sedang sakit, dibacanya air muka mereka lalu katanya: “Mungkin kalian takut
aku mati di atas tempat tidurku. Tidak, demi Allah, Tuhan tidak akan
menghalangiku mati syahid . . . !”
Allah benar-benar telah meluluskan harapannya, ia tidak mati di
atas tempat tidurnya, tetapi ia gugur menemui syahid dalam salah satu
pertempuran yang terdahsyat … !
Kepahlawanan Barra’ di medan perang Yamamah wajar dan cocok
dengan watak serta tabiatnya. Wajar untuk seorang pahlawan yang sampai-sampai
Umar mewasiatkan agar ia jangan jadi komandan pasukan, disebabkan keberaniannya
yang luar biasa, keperwiraan dan ketetapan hatinya menghadang maut …. Semua
sifatnya itu akan menyebabkan kepemimpinannya dalam pasukan membahayakan anak
buahnya dan dapat membawa kebinasaan . . . !
Barra’ berdiri di medan perang Yamamah, ketika balatentara islam yang berada di bawah komando Khalid, bersiap-siap untuk menyerbu. la
berdiri dan merasakan detik-detik itu, yakni saat sebelum panglimanya
memerintahkan maju, amat lama sekali, bertahun-tahun layaknya . . . . Kedua
matanya yang tajam bergerak-gerak dengan cepatnya menyelusuri seluruh medan
tempur, seolah-olah sedang mencari-cari tempat bersemayam yang sebaik-baiknya
untuk seorang pahlawan . . . . Memang tak ada yang menyibukkannya di antara
segala urusan dunia, kecuali tujuan yang satu ini!
Dimulai dengan berjatuhannya korban di pihak kaum musyrikin
penyeru kedhaliman dan kebathilan akibat ketajaman dan tebasan pedangnya
al-Barra’ yang ampuh . . . . Kemudian di akhir pertempuran, suatu pukulan
pedang mengenai tubuhnya dari tangan seorang musyrik, menyebabkan tubuh
kasarnya jatuh ke tanah, sementara tubuh halusnya menempuh jalannya membubung
ke tingkat yang tertinggi ke mahligai para syuhada tempat kembalinya
orang-orang yang beroleh berkah….Itulah khayalannya ketika ia menunggu komando Khalid mengumandangkan takbir “Allahu Akbar”, maka majulah
seluruh barisan yang bersatu-padu menuju sasarannya, dan maju pula peng’asyik
maut Barra’ bin Malik ….
Ia terus mengejar anak buah dan pengikut si pembohong Musailamah
dengan pedangnya, hingga mereka berjatuhan laksana daun kering di musim rontok
. . . . Tentara Musailamah bukanlah tentara yang lemah dan sedikit jumlahnya …
bahkan ia adalah tentara murtad yang paling berbahaya ….
Baik bilangan maupun perlawanan serta perjuangan mati-matian
prajuritnya, merupakan bahaya di atas semua bahaya. Mereka menjawab serangan Kaum Muslimin dengan perlawanan yang
mencapai puncak kekerasannya sehingga hampir-hampir mereka mengambil alih
kendali pertempuran dan merubah perlawanan mereka menjadi serangan balasan.
Waktu itulah kegelisahan terasa merembes ke dalam barisan Kaum
Muslimin. Melihat situasi ini, para komandan dan pimpinan pasukan sambil terus
bertempur berdiri di atas pelana, berseru dengan kalimat-kalimat yang
membangkitkan semangat dan. meneguhkan hati.
Barra’ bin Malik mempunyai suara indah dan keras …. Ia dipanggil
oleh panglima Khalid, dimintanya untuk buka suara .. .. Maka Barra’ pun
menyerukan kata-kata yang penuh gemblengan semangat dan kepahlawanan,
beralasan dan kuat . . . . "Wahai penduduk Madinah, tak ada Madinah bagi kalian
sekarang. Yang ada hanya Allah dan surga … !”
Ucapan itu menunjukkan jiwa pembicaranya, dan menjelaskan watak
akhlaqnya. Benarlah . . . yang tinggal hanyalah Allah dan surga! Karena di
dalam suasana dan tempat seperti ini, tidaklah wajar ada fikiran-fikiran kepada
yang lain walau kota Madinah, ibu kota Negara islam, tempat rumah tangga,
isteri dan anak-anak mereka! Sekarang tidak patut mereka berfikir ke sana!
Sebab bila mereka sampai dikalahkan, maka tak ada artinya kota Madinah lagi.
Kata-kata Barra’ ini meresap laksana . . . laksana apakah?
Setiap tamsil apapun tidaklah tepat, karena tidak sepadan dengan hasil yang
ditimbulkannya. Maka baiklah kita katakan saja, kata-kata Barra’ ini telah
meresap dan itu sudah cukup … ! Dan dalam waktu yang tidak lama, suasana
pertempuran pun kembali kepada keadaannya semula ….
Kaum Muslimin beroleh kemajuan sebagai pendahuluan bagi suatu
kemenangan yang gemilang. Dan orang-orang musyrikin tersungkur ke jurang
kekalahan yang amat pahit …. Pada saat itu Barra’ bersama kawan-kawannya
berjalan dengan bendera Muhammad saw. hendak mencapai tujuan yang utama . . . .
Orang-orang musyrik mundur dan melarikan diri ke belakang. Mereka berkumpul dan
berlindung di suatu perkebunan besar yang mereka ambil sebagai benteng
pertahanan.
Pertempuran menjadi reda, dan semangat Muslimin agak surut. Jika
begini naga-naganya, dengan siasat yang dipakai anak buah Serta tentara
Musailamah bertahan di perkebunan itu, mungkin suasana peperangan akan berbalik
dan berubah arah lagi.
Maka di saat yang genting itu, Barra’ naik ke suatu tempat yang
ketinggian, lalu berseru: “Wahai Kaum Muslimin, bawalah aku dan lemparkan
ke tengah-tengah mereka ke dalam kebun itu … !”
Bukankah sudah kukatakan kepada anda sekalian, bahwa ia tidak
mencari menang tetapi mencari syahid … ? la benar-benar telah membayangkan
bahwa langkah ini adalah penutup yang terbaik bagi kehidupannya, dan bentuk
yang terindah untuk kematiannya . . . ! Sewaktu ia dilemparkan ke dalam kebun
itu nanti, maka ia segera membukakan pintu bagi Kaum Muslimin, dan bersamaan
itu pedang-pedang orang musyrikin akan melukai dan mengoyak-ngoyak tubuhnya,
tetapi di waktu itu pula pintu-pintu surga akan terbuka lebar memperlihatkan
kemewahan dan keni’matannya untuk menyambut mempelai baru dan mulia . . .!
Barra’ rupanya tidak menunggu ia digotong dan dilemparkan,
malah, ia sendiri yang memanjat dinding dan melemparkan dirinya ke dalam kebun
dan langsung membuka pintu yang terus diserbu oleh tentara Iislam …. Akan
tetapi mimpi Barra’ belum lagi terlaksana, tak ada rupanya pedang-pedang
musyrikin yang sampai mencabut nyawanya, hingga tidak pula ia menemukan
kematian yang selama ini didambakan …. Benarlah apa yang dikatakan oleh Abu
Bakar r.a.: —
“Songsong dan carilah kematian, pasti akan mendapatkan kehidupan
… !”
Memang tubuh pahlawan itu mendapat lebih dari delapan puluh
tusukan dari pedang-pedang musyrikin menyebabkannya menderita luka lebih dari
delapan puluh lubang, sehingga sebulan sesudah perang berlalu masih juga
dideritanya, dan Khalid sendiri ikut merawatnya di waktu itu. Tetapi semua yang
menimpa dirinya ini belum lagi dapat mengantarkannya kepada apa yang
dicita-citakannya ….
Namun yang demikian itu tidak menyebabkan Barra’ berputus asa ….
Kafir dan musyrik masih menyerang …. Melintang menghalangi Agama
Allah berkembang. Seruan jihad tetap berkumandang ….
Jalan ke surga masih terbentang.
Dahulu Rasulullah meramalkan bahwa permintaan dan doanya akan
dikabulkan Allah. Tinggal baginya tetap berdoa . . . memohon dikaruniai mati
syahid, dan ia tak perlu buru-buru, karena setiap ajal sudah ada ketentuannya .
. .
Sekarang Barra’ telah sembuh dari luka-luka perang Yamamah . . .
. Dan kini ia maju lagi bersama pasukan tentara islam yang pergi hendak, menghalau semua kekuatan kedhaliman ke
jurang kehancurannya, yakni nun di sana di mana masih berdiri dua kerajaan
raksasa dan aniaya, yaitu Romawi dan Persi, yang dengan tentaranya yang ganas
menduduki negeri-negeri Allah, memperbudak hamba-hamba-Nya dan mengintip
kelengahan ummat Iislam . . . . Barra’ memukulkan pedangnya dan di setiap
tempat bekas pukulan itu berdiri dinding yang kukuh dalam membina islam
yang akan tumbuh di bawah bendera islam dengan cepat tak ubahnya
bagai timbulnya matahari menjelang siang . . .
Dalam salah satu peperangan di Irak, orang-orang Persi
mempergunakan setiap cara yang rendah dan biadab yang dapat mereka lakukan
sebagai perlindungan. Mereka menggunakan pengait-pengait yang diikatkan ke
ujung rantai yang dipanaskan dengan api, mereka lempar dari dalam benteng
mereka, hingga dapat menyambar Kaum Muslimin dan mengaitnya secara tiba-tiba
sedang korban tidak dapat melepaskan dirinya.
Adapun Barra’ dan abangnya Anas bin Malik mendapat tugas bersama
sekelompok Muslimin untuk merebut salah satu benteng-benteng itu. Tetapi
tiba-tiba salah satu pengait ini jatuh dan menyangkut ke tubuh Anas, sedang ia
tidak sanggup memegang rantai untuk melepaskan dirinya, karena masih panas dan
bernyala . . . . Barra’ menyaksikan peristiwa yang seram ini ….Dengan cepat ia
menuju saudaranya yang sedang ditarik ke atas oleh pengait dengan talinya yang
panas menuju lantai dinding benteng …. Dengan keberanian yang luar biasa
dipegangnya rantai itu dengan kedua tangannya, lalu direnggut dan
disentakkannya sekuat-kuatnya, hingga akhirnya ia dapat melepaskan diri dari
rantai itu, dan selamatlah Anas dari bahaya.
Bersama orang-orang sekelilingnya dilihatnya kedua telapak itu
tidak ada lagi di tempatnya . . . ! Dagingnya rupa-rupanya telah meleleh karena
terbakar dan yang tinggal hanyalah kerangkanya yang memerah coklat dan
terbakar hangus … !
Sang pahlawan kembali menghabiskan waktu yang cukup lama pula
untuk memulihkan luka bakarnya sampai sembuh betul … !
Apakah belum juga datang masanya bagi si pencinta maut itu untuk
mencapai maksudnya? Sudah, sekarang sudah datang masanya . . . ! Inilah dia
pertempuran Tutsur akan datang, dan di sinilah balatentara islam’ akan
berhadapan dengan bala tentara Persi, dan di sinilah pula Barra’ dapat
merayakan pestanya yang terbesar ….
Penduduk Ahwaz dan Persi telah berhimpun dalam suatu pasukan
tentara yang amat besar hendak menyerang Kaum Muslimin . . . . Amirul Mu’minin
Umar bin Khatthab menulis surat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash di Kufah agar
mengirimkan pasukan tentara ke Ahwaz .. . dan menulis surat pula kepada Abu
Musa al Asy’ari di Basrah agar mengirimkan juga pasukan ke Ahwaz, sambil
berpesan dalam surat itu: “Angkatlah sebagai komandan pasukan Suhail bin ‘Adi
dan hendaklah ia dampingi oleh Barra’ bin Malik … !”
Dan bertemulah pasukan yang datang dari Kufah dengan yang datang
dari Basrah untuk menghadapi tentara Persi di suatu pertempuran yang seru dan
seram. Di kalangan tentara islam terdapat dua orang bersaudara utama yaitu Anas
bin Malik dan Barra’ bin Malik . . . .
Pertempuran dimulai dengan perang tanding satu lawan satu;
Barra’ sendiri menjatuhkan sampai seratus penantang dari Persi . . . . Kemudian
berkecamuklah perang yang membaur di antara kedua pasukan dan dari kedua belah
pihak berjatuhan korban yang tak sedikit.
Sebagian shahabat mendekati Barra’ sementara perang sedang
berlangsung itu; mereka menghimbaunya sambil berkata; — “Masih ingatkah engkau,
hai Barra’ akan sabda Rasul tentang dirimu: Berapa banyak orang yang berambut
kusut masai dan berdebu dari punya hanya dua pakaian lapuk hingga tidak diperhatikan
orang sama sekali, padahal seandainya ia memohon kutukan kepada Allah bagi mereka,
pastilah akan diluluskannya … ! Dan di antara orang-orang itu ialah Barra’ bin
Malik … ! Wahai Barra’ bersumpahlah kamu kepada Tuhanmu, agar Ia mengalahkan
musuh dan menolong kita … !”
Maka Barra’ mengangkat kedua tangannya ke arah langit dengan
berendah diri lalu berdoa: “Ya Allah, kalahkan mereka . . . dan tolonglah
kami atas mereka dan pertemukanlah daku hari ini dengan Nabi-Mu . . . !”
Dilayangkannya pandangannya yang lama kepada saudaranya Anas
yang berperang berdampingan dengannya, seakan-akan hendak mengucapkan
selamat tinggal . – - – Dan menyerbulah Kaum Muslimin dengan keberanian yang
tak takut mati, suatu keberanian yang tak dikenal dunia kecuali dari mereka ….
Dan mereka pun beroleh kemenangan, suatu kemenangan yang nyata . . . !
Di tengah-tengah para syuhada yang jadi qurban pertempuran,
terdapatlah Barra’ dengan wajahnya menampilkan senyuman, senyum manis seperti
cahaya fajar. Tangan kanannya sedang menggenggam segumpal tanah berlumuran
darah, yaitu darahnya yang suci . . .. Dan pedangnya masih tergeletak di
sampingnya . . . . kuat tak terpatahkan, rata tanpa goresan …. Musafir itu
telah sampai ke kampungnya . . . . Bersama-sama temannya yang syahid ia telah
mencapai perjalanan hidup yang agung lagi mulia, dan mereka menerima panggilan
dari Ilahi;
“Itulah surga yang Kami wariskan untuk kalian, sebagai balasan atas amal perbuatan
kalian … !” (Q.S. 7
al-Aral: 43)
60 Sahabat Nabi: Al Barra Bin Malik, "Allah Dan Surga
Reviewed by Himam Miladi
on
May 23, 2014
Rating:
No comments:
Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini