Di perang Badar ia termasuk salah seorang pemimpin Quraisy yang
menghunus pedangnya untuk menumpas Islam. la seorang yang tajam penglihatan dan
teliti perhitungannya. Oleh karena itulah ia diutus kaumnya untuk menyelidiki
jumlah Kaum Muslimin yang ikut pergi berperang dengan Rasul, dan untuk
mengamat-amati apakah di belakang itu ada balabantuan atau yang masih
bersembunyi ….
Umeir bin Wahab al-Jambi pun berangkatlah, dan dengan kudanya ia
dapat mengamati sekeliling perkemahan pasukan Muslimin, kemudian kembalilah ia
memberi laporan kepada kaumnya, bahwa kekuatan mereka kurang lebih tigaratus
orang dan perkiraannya itu
ternyata benar.
Lalu mereka menanyainya, apakah di belakang itu ada bala
bantuan, yang dijawabnya: “Aku tidak melihat apa-apa lagi dibelakang mereka …
tetapi wahai kaum Quraisy, terbayang di hadapanku pusara-pusara menganga yang menantikan jasad mereka
. . . ! Mereka adalah kaum yang tidak mempunyai peranan dan perlindungan
kecuali pedang mereka sandiri … ! Demi Allah, tidak mungkin salah seorang di
antara mereka terbunuh, tanpa terbunuhnya seorang di antara kita sebagai imbalannya!
Maka apabila jumlah kita yang tewas sama dengan jumlah mereka, kehidupan mana lagi yang lebih baik setelah itu…!” … ? Nah, cobalah kamu fikirkan baik-baik …
Kata-kata dan buah fikirannya itu berkesan dan berpengaruh
kepada sebagian di antara pemimpin-pemimpin Quraisy, dan hampir saja mereka
menghimpun laki-laki mereka untuk kembali pulang ke Mekah tanpa perang,
seandainya Abu Jahal tidak merusakkan fikiran tersebut. Dikobarkannyalah api
kebencian ke dalam jiwa mereka, tegasnya api peperangan di mana ia sendiri
tewas sebagai korbannya yang pertama …
Penduduk Mekah memberinya gelar dengan “Jagoan Quraisy”. Di
perang Badar itu, benar-benar si Jagoan ini mendapat pukulan hebat, karena
usahanya menemui kegagalan total. Orang-orang Quraisy kembali ke Mekah dengan
kekuatan yang telah hancur berantakan. Umeir bin Wahab telah pula meninggalkan
darah dagingnya sendiri di Madinah . karena anaknya jatuh menjadi tawanan Kaum
Muslimin ….
Pada suatu hari kebetulan ia terlibat dalam percakapan dengan
pamannya Shafwan bin Umaiyah …. Shafwan ini sejak lama memendam rasa dendam dan
bencinya dengan getir, karena ayahnya Umaiyah bin Khalaf menemui ajalnya tewas
di perang Badar, sedang tulang belulangnya telah mendekam di sumur tua.
Shafwan dan Umeir duduk berbincang-bincang sama-sama
melampiaskan kebenciannya. Marilah kita panggil ‘Urwah bin Zubeir untuk
memaparkan percakapan panjang mereka kepada kita:
Kata Shafwan: “Demi Allah, tak ada lagi gunanya hidup kita
setelah peristiwa itu “‘ Dan berkata pula Umeir:
“Kau benar, dan demi Allah, kalau karena utang yang belum sempat kubayar, dan
keluarga yang kukhawatirkan akan tersia-sia sepeninggalku, niscaya aku
berangkat mencari Muhammad saw. untuk membunuhnya . . . !” “Aku mempunyai
alasan kuat untuk berbicara dengannya, akan kukatakan, bahwa aku datang untuk
membicarakan anakku yang tertawan itu”. Shafwan segera menanggapi dan katanya pula: “Biarlah aku yang menanggung utangmu .. . , akan kulunasi semua dan
keluargamu hidup bersama keluargaku, akan kujaga mereka seperti keluargaku!”
Maka kata Umeir lagi: “Nah, kalau begitu marilah kita simpan
rahasia kita ini . . . !” Kemudian Umeir meminta pedangnya, yang sudah
disuruhnya asah dan diberi racun. Maka berangkatlah ia hingga sampai di
Madinah ….
Di Madinah selagi Umar bin Khatthab bercakap-cakap dengan
sekelompok Muslimin tentang perang Badar dan mereka menyebut-nyebut pertolongan
Allah kepada mereka, sewaktu ia menoleh, tampaklah olehnya Umeir bin Wahab yang
baru saja menambatkan tunggangannya di muka mesjid, siap mempergunakan
pedangnya, maka kata Umar:
“Itu si Umeir bin Wahab anjing musuh Allah! Demi Allah, pastilah
kedatangannya untuk maksud jahat . . . ! Dialah yang telah menghasut orang
banyak dan mengerahkan mereka untuk memerangi kita di perang Badar … !”
Lalu Umar masuk menghadap Rasulullah saw. dan lantas berkata:
“Ya Nabi Allah, itu si Umeir musuh Allah, ia telah datang siap menghunus
pedangnya … !
Jawab Rasulullah saw.: “Suruhlah ia masuk menghadapku …
Umar pun pergi mengambil pedangnya dan menimang-nimangnya di
tangan, sembari mengatakan kepada orang-orang Anshar yang ada di sana, agar
mereka masuk semua dan duduk dekat Rasulullah sambil mengawasi tindak tanduk
bajingan itu terhadap Rasul, karena ia tidak dapat dipercaya. Lalu Umar membawa
masuk Umeir menghadap Nabi, sambil membawa pedangnya yang tersandang di
pundaknya, dan sewaktu hal ini dilihat oleh Rasul, beliau berkata: “Biarkanlah
ia wahai Umar, dan anda wahai Umeir …. dekatlah ke mari!”
Umeir pun mendekat seraya berkata: “Selamat pagi!” suatu ucapan
jahiliyah, maka jawab Nabi saw.: “Sesungguhnya Allah telah memuliakan kami
dengan suatu ucapan kehormatan yang lebih baik dari ucapanmu hai Umeir, yaitu
salaam . . . penghormatan ahli surga!”
Ujar Umeir Pula: “Demi Allah, aku masih hijau tentang hal itu!”
Tanya Rasulullah Pula: “Apa maksudmu datang ke sini, hai Umeir?”
Jawabnya: “Kedatanganku ke sini sehubungan dengan tawanan yang berada di tangan
anda”.
Tukas Nabi Pula: “Apa maksud pedangmu yang tersandang itu?”
Jawab Umeir: “Pedang-pedang keparat! Menurut anda apakah ada manfa’atnya pedang
itu bagi kami?”
Berkata Pula Rasulullah: “Berkatalah terus terang hai Umeir, apa
maksud kedatanganmu yang sebenarnya?”
Ujar Umeir Pula: “Tak ada maksudku yang lain, hanyalah yang
kusebutkan tadi”.
Kata Rasulullah saw. lagi: “Bukankah kamu telah duduk bersama
Shafwan bin Umaiyah di atas batu, lalu kamu berbincang-bincang tentang
orang-orang Quraisy yang tewas di sumur Badar, kemudian katamu: “Kalau bukan
karena utang dan keluargaku, niscaya aku akan pergi membunuh Muhammad. Lalu
Shafwan menjamin akan membayar utangmu dan menanggung keluargamu, asal kamu
membunuhku, padahal Allah telah menjadi penghalang bagi maksudmu itu . . . !”
Waktu itu berserulah Umeir: “Asyhadu alla ilaha illallah, wa
asyhadu annaka Rasulullah . . . . Urusan ini tak ada yang menghadirinya selain
aku dengan Shafwan saja. Demi Allah, tak ada yang memberi kabar kepadamu selain
Allah! Maka puji syukur kepada Allah yang telah menunjuki aku kepada Islam!”
Maka berkatalah Rasulullah kepada shahabat-shahabatnya: “Ajarilah saudaramu ini
soal Agama, bacakan kepadanya Al Quran dan bebaskanlah tawanan itu serta
serahkanlah kepadanya!”
Begitulah Umeir bin Wahab masuk Islam ….
Dan demiikianlah masuk Islamnya Jagoan Quraisy! Ia telah
diliputi oleh nur Rasul dan nur Islam seluruhnya, hingga tiba-tiba dalam
sekajap saat ia telah berbalik menjadi pembela Islam yang gigih. Berkatalah
Umar bin Khatthab r.a.: “Demi Allah yang diriku di Tangan-Nya! Sesungguhnya aku
lebih suka melihat babi daripada si Umeir sewaktu mula-mula muncul di hadapan
kita . . . ! Tetapi sekarang aku lebih suka kepadanya daripada sebagian anakku
sendiri …
Umeir duduk merenungkan dengan mendalam toleransi atau
kelapangan dada dan sifat pema’af Agama ini serta kebesaran Rasul-Nya. Ia
teringat akan masa-masa. silamnya di Mekah, sewaktu ia merencanakan tipu
muslihat busuk dan memerangi Islam, yakni sebelum hijrah Rasul dan
shahabat-shahabatnya ke Madinah. Kemudian ia teringat pula usaha dan
perjuangannya di pedang Badar . . . . Dan kini, ia datang dengan menimang-nimang
pedang di tangan.hendak membunuh Rasul. Dan semua itu dengan sekejap
mata habis dikikis dengan ucapannya: “La ilaha illallah, Muhammadur-Rasulullah
Alangkah pema’af dan sucinya, serta teguhnya kepercayaan diri, ajaran yang
dibawa oleh Agama besar ini …!
Beginikah kiranya Islam dalam sekejap saja sedia menghapuskan
segala kesalahannya yang lalu, sementara orang-orang Islam melupakan segala
dosa dan kejahatannya serta permusuhannya yang lampau, dan membukakan dasar
hati mereka untuknya, bahkan sedia merangkul dan memeluknya ke haribaan
mereka?
Beginikah jadinya, pedang yang tergenggam kuat untuk suatu niat
yang jahat, dan kekejaman keji, yang kilatannya masih membayang di muka mereka,
semuanya sudah dilupakan, dan sekarang tak ada yang diingat lagi, kecuali
Islamnya Umeir, dan dalam waktu sekejap ia telah menjadi salah seorang dari
Kaum Muslimin, shahabat Rasul, yang mempunyai hak seperti hak-hak mereka, dan
memikul kewajiban dan tanggung jawab seperti mereka pula?
Dan beginikah akhirnya, seorang yang hampir dibunuh oleh Umar
bin Khatthab beberapa saat sebelumnya, sekarang jadi dicintainya melebihi
cintanya kepada anak cucunya sendiri?
Kalaulah salah satu saat dari keberanian yakni saat Umeir
menyatakan keislamannya, telah membawa keberuntungan bagi Umeir berupa
penghargaan, kemuliaan, ganjaran dan penghormatan dari Islam, maka tak ada
penilaian lain, bahwa benar-benarlah Islam itu suatu Agama yang maka luhur … !
Tidak berapa lama antaranya Umeir sudah mengenal tugas
kewajibannya terhadap Islam . . . . Bahwa ia akan berbakti kepadanya, seimbang
dengan usahanya memeranginya di masa lampau. Dan bahwa ia akan mengajak orang
kepada Islam setaraf dengan ajakannya memusuhinya di masa silam. Dan bahwa ia
akan memperlihatkan kepada Allah dan Rasul-Nya apa yang dicintai Allah dan
Rasul-Nya itu berupa kejujuran, perjuangan dan ketaatan. Dan begitulah, ia
datang menghadap Rasulullah pada suatu hari, sembari berkata: “Wahai
Rasulullah! Dahulu aku berusaha memadamkan cahaya Allah, sangat jahat terhadap orang
yang memeluk Agama Allah ‘Azza wajalla, maka sekarang aku ingin agar anda
idzinkan aku pergi ke Mekah!
Aku akan menyeru mereka kepada Allah dan kepada RasulNya, serta
kepada Islam, semoga mereka diberi hidayah oleh Allah! Kalau tidak, aku akan
menyakiti mereka karena agama mereka, sebagaimana dulu aku menyakiti
shahabat-shahabatmu karena agama yang diikuti mereka . .
.
Pada hari-hari itu, semenjak Umeir meninggalkan kota Mekah
menuju Madinah, maka Shafwan bin Umaiyah yang telah menghasut Umeir pergi membunuh
Rasul, sering mundar-mandir di jalan-jalan kota Mekah dengan sombong, dan ia
selalu menumpahkan kegembiraannya yang meluap di semua majlis dan tempat-tempat
pertemuannya … !
Dan setiap ia ditanyai kaum dan sanak saudaranya sebab-sebab
kegembiraannya itu, padahal tulang-belulang ayah masih terjemur di panas terik
matahari padang Badar, ia lalu menepukkan kedua telapak tangannya dengan
bangga sambil berkata kepada orang-orang itu: “Bersenang hatilah kalian karena
bakal ada satu kejadian yang akan datang beritanya dalam beberapa hari lagi,
yang akan menghapus malu kita di perang Badar … !
Setiap pagi ia keluar ke tempat ketinggian di pinggiran kota
Mekah, menanyai kafilah-kafilah dan para penunggang kalau-kalau ada peristiwa
penting terjadi di Madinah. Tapi jawaban mereka tidak ada yang menyenangkan dan
menggembirakannya, karena tak ada seorang pun yang mendengar atau melihat
suatu kejadian penting di Madinah. Shafwan tidak berputus asa, bahkan ia tetap
shabar menanyai rombongan demi rombongan, hingga akhirnya ia menemukan sebagian
mereka yang waktu ditanyainya: “Apa tak ada suatu kejadian di Madinah?”,
mendapat jawaban dari musafir itu: “Benar, telah terjadi suatu kejadian besar –
- – !”
Air muka Shafwan berseri-seri, seluruh kegembiraannya meluap dan
melimpah ruah. Ia kembali menanyai orang itu dengan bergegas karena dorongan
ingin tabu: “Apa sebenarnya yang terjadi, tolong ceriterakan kepadaku”. Jawab
orang itu: “Umeir bin Wahab telah memeluk Islam, ia di sana sedang memperdalam
Agama dan mempelajari al-Qur’an … !”
Bumi rasa berputar bagi Shafwan . . . . Peristiwa yang
diharap-harapkannya akan dapat menggembirakan kaumnya, dan selalu dinantikannya
untuk melupakan kejadian perang Badar, tahu-tahu hari itu berita itu yang
datang kepadanya, yang bagaikan petir menyambarnya.
Pada suatu hari sampailah sang musafir di kampung halamannya .
. . . Umeir telah kembali ke Mekah, tak lupa membawa pedangnya dan siap untuk
bertempur. Dan orang yang mula-mula menjumpainya ialah Shafwan bin ‘Umaiyah .
. . . Baru saja Shafwan melihatnya, bermaksudlah ia hendak menyerang Umeir.
Akan tetapi melihat pedang yang siaga di tangan Umeir ia pun mengurungkan
maksudnya, dan merasa puas dengan melontarkan caci maki padanya kemudian
berlalu . . . .
Sekarang Umeir bin Wahab masuk ke kota Mekah sebagai seorang
Muslim, sedang sewaktu meninggalkannya ia adalah seorang musyrik. Dimasukinya
kota itu dan dalam ingatannya tergambar sikap Umar bin Khatthab mula ia masuk
Islam, yang setelah Islamnya itu menyerukan: “Demi Allah, tidak akan kubiarkan
satu tempat pun yang pernah kududuki dengan kekafiran, melainkan akan kududuki
lagi dengan keimanan … !
Seolah-olah Umeir hendak menjadikan kata itu sebagai lambang dan
pendirian ini. menjadi
contoh teladan. Ia telah bertekad bulat hendak menyerahkan hidupnya untuk
berbakti kepada Islam, yang sekian lama diperanginya. Dan ia mempunyai
kemampuan dan kesempatan untuk membalas setiap kejahatan yang hendak ditimpakan
kepadanya!
Demikianlah ia mengganti dan mengimbangi apa-apa yang telah
luput pada masa silamnya, berpacu dengan waktu mengejar tujuannya. Ia berda’wah
menyebarkan Agama Islam, baik siang maupun malam, secara terang-terangan dan
terbuka . . . Keimanan yang telah terhunjam di hatinya, telah melimpahkan rasa
aman, petunjuk dan cahaya. Dari lidah dan ucapannya keluar kalimat dan
kata-kata yang haq, yang digunakannya untuk menyeru orang kepada keadilan,
kebaikan dan kebajikan. Sedang di tangan kanannya tergenggam teguh pedangnya
yang akan mengecutkan hati setiap penghalang jalan menuju kebaikan, yakni
mereka yang selalu mengganggu orang-orang beriman dan hendak membawa mereka ke
jalan yang bengkok.
Dalam beberapa minggu saja, orang-orang yang mendapat petunjuk
masuk Islam berkat usaha Umeir bin Wahab melebihi perkiraan yang melintas dalam
angan-angan Umeir. Umeir pergi membawa mereka dalam satu barisan yang panjang
dan terang-terangan ke Madinah. Padang pasir yang mereka lalui dalam
perjalanan itu, seolah-olah tak dapat menyembunyikan ketakjuban dan
keheranannya, terhadap pria yang belum lama berselang melintasi dengan pedang
terhunus menggerakkan setiap langkahnya ke Madinah untuk membunuh Rasul . . . .
Kemudian laki-laki itu pula yang melintasinya sekali lagi dari Madinah, tetapi
wajahnya berlainan dengan wajah semula ketika ia pergi; sekarang ia membaca
al-Quran dari atas punggung untanya yang ikut gembira ….
Dan kini, laki-laki itulah juga telah mengarungi padang pasir
yang sama untuk ketiga kalinya, mengepalai suatu rombongan iring-iringan yang
panjang dari orang-orang yang beriman yang suara tahlil dan takbir mereka
bergema memenuhi angkasa….
Sungguh benar, ia merupakan suatu berita besar …. berita tentang
seorang Jagoan Quraisy dengan hidayah Allah telah merubahnya menjadi seorang
pembela berani mati di antara pembela-pembela Islam lainnya. Ia yang selalu
siap sedia di samping Rasul pada setiap peperangan dan pertempuran, dan yang
kesetiaan serta baktinya kepada Agama Allah tetap teguh tidak berubah setelah
Rasul wafat!
Di hari pembebasan kota Mekah, Umeir tak hendak melupakan
shahabat dan karibnya Shafwan bin ‘Umaiyah, ia pergi untuk menyampaikan
kepadanya kebaikan Islam dan mengajaknya untuk memeluknya, setelah ternyata
tak ada lagi kesangsian terhadap kebenaran Rasul dan risalat. Tapi Shafwan
telah bersiap-siap dengan kendaraannya menuju Jeddah untuk berlayar ke Yaman ….
Umeir sangat kecewa dan merasa kasihan melihat sikap Shafwan,
maka dibulatkannya tekad hendak menyelamatkan shahabatnya itu dari jalan
kesesatan. Ia pun segera pergi kepada Rasulullah saw., lalu berkata kepadanya:
“Ya Nabi Allah, sesungguhnya Shafwan itu adalah penghulu kaumnya, ia hendak
pergi melarikan diri dengan menerjuni laut karena takut daripada anda. Maka
mohon anda beri ia keamanan dan perlindungan, semoga Allah melimpahkan
karunia-Nya kepada anda!”
Jawab Nabi: “Dia aman!”
Kata Umeir Pula: “Ya Rasul Allah, berilah aku suatu tanda
sebagai bukti keamanan dari anda!” Maka Rasulullah saw. memberikan sorbannya
yang dipakainya sewaktu memasuki kota Mekah.
Sekarang mari kita serahkan kepada ‘Urwah bin Zuber untuk menceriterakan
kejadian itu selengkapnya:
“Umeir pun pergilah dengan sorban itu mendapatkan Shafwan yang
ketika itu sudah hendak berlayar. Serunya kepadanya: “Ayah dan ibuku menjadi
jaminan bagimu! Ingatlah kepada Allah, janganlah engkau silap dan berputus asa!
Inilah tanda keamanan dari Rasulullah saw. yang sengaja aku bawa untukmu!”
Ujar Shafwan, “Nyahlah engkau tak perlu bercakap denganku!”
Jawab Umeir Pula: “Benar Shafwan, jaminanmu ayah dan ibuku, sesungguhnya
Rasulullah saw. itu adalah manusia yang paling utama, paling banyak
kebajikannya, paling penyantun dan paling baik. Kemuliaannya kemuliaanmu,
martabatnya martabatmu … !”
Kata Shafwan: “Aku takut terhadap diriku …
Kata Umeir: “Beliau orang yang paling penyantun dan paling
mulia, lebih dari apa yang engkau duga!”
Maka akhirnya Shafwan bersedia ikut kembali. Mereka berdiri di
muka Rasulullah saw., lalu kata Shafwan: “Kawan ini mengatakan bahwa anda telah
memberiku jaminan keamanan!” Jawab Rasul: “Betul!”
Kata Shafwan lagi: “Berilah aku kesempatan memilih selama dua
bulan!”
Balas, Rasul Pula: “Engkau diberi kebebasan memilih selama empat
bulan!” Kemudian Shafwan pun Islamlah. Dan tak terkirakan bahagianya Umeir
dengan Islamnya Shafwan shahabatnya itu.
Umeir bin Wahab pun melanjutkan perjalanan hidupnya yang penuh
berkah menuju Allah Ta’ala mengikuti jejak Rasul’Besar yang diutus Allah kepada
ummat manusia untuk melepaskan mereka dari kesesatan dan mengeluarkan mereka
dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang ….
60 Sahabat Nabi: Umeir bin Wahab, Jagoan Quraisy Yang Berbalik Menjadi Pembela Islam Yang Gigih
Reviewed by Himam Miladi
on
May 06, 2014
Rating:
No comments:
Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini