60 Sahabat Nabi: Qeis bin Sa'ad bin 'Ubadah, Kalau Tidaklah Karena Islam, Maka Dialah Ahli Tipu Muslihat Arab Yang Paling Lihai
Walaupun usianya masih muda, orang-orang Anshar memandangnya
seperti seorang pemimpin …. Mereka mengatakan: “Seandainya kami dapat
membelikan janggut untuk Qeis dengan harta kami, niscaya akan kami lakukan”.
Sebabnya ia berwajah licin, tak ada suatu pun kekurangan dari sifat-sifat
kepemimpinannya yang lazim terdapat pada adat kebiasaan kaumnya, selain soal
janggut yang oleh para pria dijadikan sebagai tanda kejantanan pada
wajah-wajah mereka.
Nah, siapakah kiranya pemuda yang sangat dicintai kaumnya ini,
sampai-sampai mereka siap mengurbankan harta untuk membelikan janggut yang akan
menghiasi mukanya, sebagai penyempurnaan bentuk luarnya bagi kebesaran
hakiki dan kepemimpinan yang tinggi yang sudah dimilikinya …
?
Itulah dia Qeis bin Sa’ad bin ‘Ubadah!
Berasal dari keluarga Arab yang paling dermawan dari turunannya
yang mulia . . . . suatu keluarga yang Rasulullah saw. pernah berkata
terhadapnya:
“Kedermawanan menjadi tabi’at anggota keluarga ini!”
Ia adalah seorang lihai yang banyak tipu muslihat, seorang yang
mahir, licin dan cerdik, dan orang yang terus terang mengatakan secara jujur
tentang dirinya:
“Kalau bukan karena Islam, saya sanggup membikin tipu muslihat
yang tidak dapat ditandingi oleh orang Arab mana pun!” Sebabnya, karena ia
adalah seorang yang tinggi kecerdasannya, banyak akal dan encer otaknya.
Pada peristiwa Shiffin ia berdiri di fihak Ali menentang
Mu’awiyah . . . . Maka duduklah ia merencanakan sendiri tipu muslihat yang
mungkin akan membinasakan Mu’awiyah dan para pengikutnya di suatu hari atau
pada suatu ketika kelak. Namun ketika ia menyaring macam-macam muslihat yang
telah memeras kecerdasannya. Namun, ketika ia menyaring itu disadarinya bahwa
itu adalah suatu muslihat jahat yang membahayakan. Maka teringatlah ia akan
firman Allah swt.:
“Dan tipu daya jahat itu akan hembali menimpa orangnya
sendiri!” (Q.S. 35
al-Fathir:43)
Maka ia pun segera bangkit, lalu membatalkan cara-cara tersebut
sambil memohon ampun kepada Allah, serta mulutnya seakan-akan hendak
mengatakan: “Demi Allah, seandainya Mu’awiyah dapat mengalahkan kita nanti,
maka kemenangannya itu bukanlah karena kepintarannya, tetapi hanyalah karena
keshalehan dan ketaqwaan kita . . . . “.
Sesungguhnya pemuda Anshar suku Khazraj ini, adalah dari suatu
keluarga pemimpin besar, yang mewariskan sifat-sifat mulia dari seorang
pemimpin besar kepada pemimpin besar pula . . . . Ia anak dari Sa’ad bin ‘Ubadah,
seorang pemimpin Khazraj, yang akan kita temui riwayatnya di belakang kelak.
Sewaktu Sa’ad masuk Islam, ia membawa anaknya Qeis dan
menyerahkannya kepada Rasul sambil berkata: “Inilah khadam anda ya Rasulallah!”
Rasul dapat melihat pada diri Qeis segala tanda-tanda keutamaan dan ciri-ciri
kebaikan . . . Maka dirangkul dan didekatkannya ke dirinya dan
senantiasalah Qeis menempati kedudukan di sisi Nabi ….
Anas, shahabat Rasulullah pernah mengatakan: “Kedudukan
Qeis bin Sa’ad di sisi Nabi, tak ubah seperti ajudan”.
Selagi Qeis memperlakukan orang-orang lain sebelum ia masuk
Islam dengan segala kecerdikannya, mereka tak tahan akan kelihaiannya. Dan tak
ada seorang pun di kota Madinah dan sekitarnya yang tidak memperhitungkan
kelihaiannya ini secara hati-hati. Maka setelah ia memeluk Islam, Islam
mengajarkan kepadanya untuk memperlakukan manusia dengan kejujuran, tidak
dengan kelicikan. Ia adalah seorang anak muda yang banyak – amalnya untuk
Islam, karena itu di kesampingkannya kelihaiannya, dan tidak hendak mengulangi
lagi tindakan-tindakan liciknya masa silam. Setiap ia menghadapi suatu
kejadian yang sukar, ia ingat kepada prakteknya yang lama, segera sadarkan
diri lalu diucapkannyalah kata-katanya yang bersayap:
“Kalau bukan karena Islam, akan kubuat tipu muslihat yang tidak
dapat ditandingi oleh bangsa Arab!”
Tak ada perangai lain pada dirinya yang lebih menonjol dari
kecerdikannya kecuali kedermawanannya . . . . Dermawan dan pemurah bukanlah
merupakan perangai baru bagi Qeis, karena ia adalah dari keluarga yang
turun-temurun terkenal dermawan dan pemurah.
Bagi Qeis sebagai telah menjadi kebiasaan bagi orang-orang yang
paling dermawan dan suka membantu di antara suku-suku Arab, ada petugas yang sering berdiri di tempat ketinggian memanggil para tamu untuk makan siang
bersama mereka …. atau sengaja menyalakan api di malam hari untuk menjadi
petunjuk bagi para musafir yang lewat. Orang-orang di zaman itu mengatakan:
“Siapa yang ingin memakan lemak dan daging, silahkan mampir ke benteng
perkampungan Dulaim bin Haritsah . . . !” Dulaim bin Haritsah adalah kakek
kedua dari Qeis. Di rumah bangsawan inilah Qeis mendapat didikan kedermawanan
dan kepemurahan ….
Di suatu hari Umar dan Abu Bakar bercakap-cakap sekitar
kedermawanan dan kepemurahan Qeis sambil. berkata: “Kalau kita biarkan terus
pemuda ini dengan kepemurahannya, niscaya akan habis licin harta orang tuanya …
!” Pembicaraan tentang anaknya itu, sampai kepada Sa’ad bin ‘Ubadah, maka
serunya: “Siapa dapat membela diriku terhadap Abu Bakar dan Umar …?
Diajarnya anakku kikir dengan memperalat namaku … !”
Pada suatu hari pernah ia memberi pinjaman pada salah seorang
kawannya yang kesukaran dengan jumlah besar . . . . Pada hari yang telah
ditentukan guna melunasi utang, pergilah orang itu untuk membayarnya kepada
Qeis. Ternyata Qeis tidak bersedia menerimanya, ia hanya berkata: “Kami tak
hendak menerima kembali apa-apa yang telah kami berikan!”
Fithrah manusia mempunyai kebiasaan yang tak pernah berubah, dan
sunnah (hukum) yang jarang berganti-ganti yaitu.: di mana terdapat kepemurahan,
terdapat pula keberanian …. Benarlah . . – , sesungguhnya dermawan sejati dan
keberanian sejati adalah dua saudara kembar yang tak pernah berpisah satu dari
lainnya untuk selama-lamanya. Dan bila anda menemukan kedermawanan tanpa
keberanian, ketahuilah bahwa yang anda temukan itu bukanlah sebenarnya
kepemurahan …. tetapi suatu gejala kosong dan bohong dari gejala-gejala
melagakkan diri dan membusungkan dada. Demikian pula bila bertemu keberanian
yang tidak disertai kepemurahan, ketahuilah pula bahwa itu bukanlah keberanian
sejati, ia tak lain serpihan dari berani membabi buta dan kecerobohan!
Maka tatkala Qeis bin Sa’ad memegang teguh kendali kepemurahan
dengan tangan kanannya, ia pun memegang kuat tali keberanian dan kepeloporan
dengan tangan kirinya. Seolah-olah ialah yang dimaksud dengan ungkapan sya’ir:
“Apabila bendera kemuliaan telah dikibarkan. Maka segala
kekejian berubah menjadi kebaikan”.
Keberaniannya telah termashur pada semua medan tempur yang
dialaminya beserta Rasulullah saw. selagi beliau masih hidup …. Dan kemasyhuran
itu bersambung pada pertempuran-pertempuran yang diterjuninya sesudah Rasul
meninggal dunia. Keberanian yang selalu berlandaskan kebenaran dan kejujuran
sebagai ganti kelihaian dan kelicikan … dengan mempergunakan cara terbuka dan
terus terang secara berhadap-hadapan, bukan dengan menyebarkan isyu dari
belakang dan tidak pula dengan tipu muslihat busuk, tentu saja membebani
dirinya dengan kesukaran dan kesulitan yang menekan. Semenjak Qeis membuang
jauh kemampuannya yang luar biasa dalam berdiplomasi licik dan bersilat lidah
curang, dan ia membawakan diri dengan perangai berani secara terbuka dan terus
terang, maka ia merasa puas dengan pembawaan yang baru ini, dan bersedia
memikul akibat dan kesukaran yang silih berganti dengan hati yang rela ….
Sesungguhnya keberanian sejati memancar dari kepuasan pribadi
orang itu sendiri . . . . Kepuasan ini bukan karena dorongan hawa nafsu dan
keuntungan tertentu, tetapi disebabkan oleh ketulusan diri pribadi dan
kejujuran terhadap kebenaran.
Demikianlah, sewaktu timbul pertikaian di antara Ali dan
Mu’awiyah, kita lihat Qeis bersunyi-sunyi memencilkan dirinya. Dan terus
berusaha mencari kebenaran dari celah-celah kepuasannya itu. Hingga akhirnya
demi dilihatnya kebenaran itu berada pada pihak Ali, bangkitlah ia dan tampil
ke sampingnya dengan gagah berani, teguh hati dan berjuang secara mati-matian.
Di medan perang Shiffin, Jamal dan Nahrawan, Qeis merupakan salah seorang
pahlawannya yang berperang tanpa takut mati …. Dialah yang membawa bendera
Anshar dengan meneriakkan:
“Bendera inilah bendera persatuan ….
Berjuang bersama Nabi dan Jibril pembawa bantuan.
Tiada gentar andaikan hanya Anshar pengibarnya.
Dan tiada orang lain menjadi pendukungnya”.
Berjuang bersama Nabi dan Jibril pembawa bantuan.
Tiada gentar andaikan hanya Anshar pengibarnya.
Dan tiada orang lain menjadi pendukungnya”.
Dan sesungguhnya Qeis telah diangkat oleh Imam Ali sebagai
gubernur Mesir . . . . Tapi sudah semenjak lama Mu’awiyah selalu mengincerkan
matanya ke wilayah ini. la memandangnya sebagai permata berlian yang paling
berharga pada suatu mahkota yang amat didambakannya . . . . Oleh karena itu
tidak lama setelah Qeis memangku jabatan sebagai Kepala Daerah itu, hampir
terbit gilanya karena takut Qeis akan menjadi halangan bagi cita-citanya
terhadap Mesir sepanjang masa, bahkan sekalipun ia beroleh kemenangan nanti atas
Imam Ali dengan kemenangan yang menentukan ….
Begitulah Mu’awiyah berusaha dengan tipu daya dan muslihat yang
tidak terbatas pada suatu corak saja, membangkitkan kemarahan yang tidak
terbatas dari Imam Ali terhadap Qeis, sampai akhirnya Imam Ali memanggilnya
dari Mesir ….
Di sini Qeis memperoleh kesempatan yang menguntungkan untuk
mempergunakan kecerdasannya dengan berencana. la telah mengetahui berkat
kecerdasannya bahwa Mu’awiyahlah yang memegang peranan dalam memfitnahnya,
setelah ia gagal menarik Qeis ke pihaknya untuk memusuhi Imam Ali dan
mempergunakan kepemimpinannya untuk membantunya.
Maka untuk mematahkan tipu daya tersebut, Qeis memperkuat
sokongannya terhadap Ali dan terhadap kebenaran yang diwakili Ali. seorang
pemimpin yang saat itu tempat tersangkutnya kesetiaan dan kepercayaan teguh
dari Qeis bin Sa’ad bin 'Ubadah . . . .
Demikianlah, tidak sedikit pun dirasakannya bahwa Imam Ali telah
memecatnya dari Mesir …. Bagi Qeis, tak ada artinya wilayah kekuasaan, tak ada
artinya pangkat kepemimpinan dan jabatan. Semuanya itu baginya hanyalah sekedar
sarana guna mengabdikan diri bagi aqidah dan Agamanya . . . . Sekalipun jabatan
Kepala Daerah di Mesir itu merupakan suatu jalan untuk mengabdikan diri kepada
yang haq, namun kedudukan di dekat Imam Ali di medan laga adalah suatu jalan
lain yang tak kurang penting dan menggairahkan ….
Keberanian Qeis mencapai puncak kejujurannya dan kematangannya
sesudah syahidnya Ali dan dibai’atnya Hassan . . . Sesungguhnya Qeis memandang
Hassan r.a. sebagai tokoh yang cocok menurut syari’at untuk jadi Imam (Kepala
Negara), maka berjanji setialah ia kepadanya, dan berdiri di sampingnya sebagai
pembela, tanpa memperdulikan bahaya yang akan menimpa.
Dan di kala Mu’awiyah memaksa mereka untuk menghunus pedang,
bangkitlah Qeis memimpin lima ribu prajurit dari orang-orang yang telah
mencukur kepala mereka sebagai tanda berkabung atas wafatnya Ali. Hassan
mengalah dan lebih suka membalut luka-luka Muslimin yang telah sedemikian
parah, maka disuruhnya menghentikan perang yang telah menghabiskan nyawa dan
harta itu, lalu berunding dengan Mu’awiyah dan kemudian bai’at kepadanya.
Di sinilah Qeis mulai merenungkan lagi masalah tersebut, maka
menurut pendapatnya, sekalipun pendirian Hassan adalah benar, maka pasukan Qeis
tetap menjadi tanggung jawabnya dan pilihan terakhir terletak atas hasil
keputusan musyawarah. Maka semua mereka dikumpulkannya, lalu ia berpidato di
hadapan mereka sambil berkata:
“Jika kalian menginginkan perang, aku akan tabah berjuang
bersama kalian sampai salah satu di antara kita diambil maut lebih dulu! Tapi
jika kalian memilih perdamaian maka aku akan mengambil langkah-langkah untuk
itu . . . “.
Pasukan tentaranya memilih yang kedua maka dimintanya keamanan
dari Mu’awiyah yang memberikannya dengan penuh sukacita, karena dilihatnya
taqdir telah membebaskannya dari musuhnya yang terkuat, paling gigih serta
berbahaya … !
Pada tahun 59 H. di kota Madinah al-Munawwarah, telah pulang ke
Rahmatullah seorang pahlawan, yang dengan keislamannya dapat mengendalikan
kecerdikan dan keahlian tipu muslihatnya serta menjadikannya obat penawar bisa.
Telah berpulang tokoh yang pernah berkata:
“Kalau tidaklah aku pernah mendengar Rasulullah, bersabda:
“Tipu daya dan muslihat licik itu di dalam neraka”
Niscaya akulah yang paling lihai di antara ummat ini …
“Kalau tidaklah aku pernah mendengar Rasulullah, bersabda:
“Tipu daya dan muslihat licik itu di dalam neraka”
Niscaya akulah yang paling lihai di antara ummat ini …
Ia telah tiada dalam kedamaian, dengan meninggalkan nama harum
sebagai seorang laki-laki yang jujur, terus terang, dermawan dan berani ….
Benar . .. , ia telah berpulang dengan mewariskan pusaka nama
baik seorang laki-laki yang terpercaya, baik tentang watak keislamannya maupun
tentang tanggung jawab dan menepati janji…
60 Sahabat Nabi: Qeis bin Sa'ad bin 'Ubadah, Kalau Tidaklah Karena Islam, Maka Dialah Ahli Tipu Muslihat Arab Yang Paling Lihai
Reviewed by Himam Miladi
on
May 05, 2014
Rating:
No comments:
Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini