Bila anda membawa al-Quran dengan tangan kanan anda, dan
menghadapkan wajah anda kepada-Nya dengan sepenuh hati, dan selanjutnya menelusuri
lembaran demi lembaran, surat demi surat atau ayat demi ayat, maka ketahuilah
bahwa di antara orang-orang yang telah berjasa besar terhadap anda, hingga anda
dapat bersyukur dan mengenal karya besar ini, adalah seorang manusia utama
namanya Zaid bin Tsabit.
Dan dalam mengikuti peristiwa-peristiwa pengumpulan al-Quran
sampai menjadi satu mushaf (buku), akan selalulah diingat orang bahkan tak
dapat dilupakan nama shahabat besar ini.
Dan di kala diadakan penaburan bunga sebagai penghormatan dan
kenang-kenangan terhadap mereka yang mendapat berkat karena jasa mereka yang
tak ternilai dalam menghimpun, menyusun, menertibkan dan memelihara kesucian
al-Quran, maka Zaid bin Tsabit merupakan pribadi yang mempunyai hak atau jatah
terbesar dalam menerima bunga-bunga penghormatan dan penghargaan itu.
Ia adalah seorang Anshar dari Madinah …. Sewaktu Rasulullah
saw. datang berhijrah ke Madinah, umurnya baru 11 tahun. Anak kecil ini ikut
masuk Islam bersama-sama keluarganya yang lain yang menganut Islam, dan ia mendapat
berkat karena didoakan oleh Rasulullah saw.
Ia dibawa oleh orang tuanya berangkat bersama-sama ke perang
Badar tapi Rasulullah menolaknya ikut, karena umur dan tubuhnya yang masih
kecil.
Di perang Uhud ia menghadap lagi bersama teman-teman sebayanya
kepada Rasul. Dengan berhiba-hiba, mereka memohon agar dapat diterima Rasul
dalam barisan Mujahidin, bahkan para keluarga anak-anak ini menyokong
permintaan itu dengan gigih, penuh pengharapan . . . .
Rasul melayangkan pandangannya ke pasukan berkuda cilik itu
dengan pandangan terima kasih. Tapi kelihatannya beliau masih keberatan untuk
membawa mereka dalam barisan membela dan mempertahankan Agama Allah.
Tetapi salah seorang di antara mereka yaitu Rafi’ bin Khudaij
tampil ke hadapan Rasulullah saw. dengan membawa tombaknya serta
mempermainkannya dengan gerakan yang mengagumkan, lalu katanya kepada
Rasulullah saw.: “Sebagaimana anda lihat ya Rasulullah, aku adalah seorang
pelempar tombak yang mahir, maka mohon aku diidzinkan untuk ikut … !”
Rasul mengucapkan selamat terhadap pahlawan muda yang baru naik
ini dengan satu senyuman manis dan ramah, lalu mengidzinkannya turut.
Melihat itu teman-temannya yang lain pun bangkit semangatnya. Maka tampil lagi ke depan anak
muda yang kedua, namanya Samurah bin Jundub, dan dengan penuh sopan
diperlihatkannya kedua lengannya yang kuat kekar, sementara sebagian keluarganya
mengatakan kepada Rasul: “Samurah mampu merebahkan badan orang yang tinggi
sekalipun … !”
Rasul pun berkenan pula melontarkan senyumannya yang menawan dan
menerimanya dalam barisan . . .. Kedua anak muda itu masing-masing telah
berumur lima belas tahun di samping mempunyai pertumbuhan badan yang kuat.
Dari kelompok anak-anak itu masih tinggal enam orang lagi, di
antaranya Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar …. Mereka terus saja berusaha
dengan segala upaya minta ikut, kadang-kadang dengan merendah-rendah dan
mengharap, kadang-kadang dengan menangis dan lain kali dengan memamerkan
otot-otot lengan mereka. Tetapi karena umur mereka yang masih terlalu muda dan
tulang tubuh mereka yang masih lemah, Rasul lalu menjanjikan mereka untuk
pertahanan di masa mendatang….
Begitulah Zaid bersama kawan-kawannya baru mendapat giliran
mengikuti barisan Rasulullah sebagai prajurit pembela Agama Allah dalam perang
Khandaq, yakni pada tahun yang kelima dari hijrah.
Kepribadiannya selaku seorang Muslim yang beriman terus tumbuh
dengan cepat dan menakjubkan. Ia bukan hanya terampil sebagai pejuang, tapi
juga sebagai ilmuwan dengan bermacam-macam bakat dan kelebihan. Ia tak henti-hentinya
menghapal al-Quran, menuliskan wahyu untuk Rasulnya, dan meningkatkan diri
dalam ilmu dan hikmat. Dan sewaktu Rasul mulai menyampaikan da’wahnya ke luar
negeri secara merata, dan mengirimkan surat-surat kepada raja-raja dan
kaisar-kaisar dunia, maka diperintahkannyalah Zaid mempelajari sebagian bahasa
asing itu yang berhasil dilaksanakannya dalam waktu yang singkat . . . .
Demikianlah kepribadian Zaid bin Tsabit menjadi cemerlang, dan
ia dapat menempatkan diri dalam lingkungan pergaulan yang baru pada kedudukan
yang tinggi, hingga ia pun jadi tumpuan penghormatan dan penghargaan masyarakat
Islam. Berkata Sya’bi:
“Pada suatu kali Zaid hendak pergi berkendaraan, maka Ibnu Abbas
lalu memegangkan tali kendali kudanya . . . . Kata Zaid kepadanya: “Tak
usahlah, wahai putera paman Rasulullah . . . !” yang segera dijawab oleh Ibnu
Abbas: “Tidak, memang beginilah seharusnya kami lakukan terhadap ulama kami!”
Berkata pula Qabishah:
“Zaid di Madinah mengepalai peradilan urusan fatwa, qira’at dan
soal pembagian pusaka . . . . “. Dan berkata pula Tsabit bin Ubeid: “Jarang aku
melihat seseorang yang jenaka di rumahnya, tetapi paling disegani di majlisnya
seperti Zaid”. Dan kata Ibnu Abbas pula: “Tokoh-tokoh terkemuka dari
shahabat-shahabat Muhammad saw. tabu betul bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang
yang dalam ilmunya … !”
Puji-pujian tentang kelebihannya itu yang dikemukakan secara
berulang-ulang oleh shahabat-shahabatnya, dapatlah menambah pengertian kita
terhadap tokoh yang oleh taqdir telah disediakan baginya tugas terpenting di
antara semua tugas dalam sejarah Islam, yaitu tugas menghimpun al-Quran.
Semenjak wahyu mulai turun, dan mengambil tempat di hati Rasul
agar beliau termasuk golongan orang-orang yang menyampaikan peringatan dan
perhatian, mengemukakan dan melaksanakan al-Quran dengan menyampaikan ayat-ayat
yang mempesonakan ini:
“Bacalah dengan Nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang
telah mengajar dengan pena. Mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya …
!” (Q.S. 96 al-’Alaq: 1 — 5)
Sejak permulaan itu, wahyu turun menyertai Rasulullah saw.
setiap beliau berpaling menghadapkan wajahnya ke hadlirat Allah sambil
mengharapkan nur dan petunjuk-Nya. Wahyu turun berangsur-angsur sedikit demi
sedikit, seayat demi seayat . . . . Dan turunnya wahyu itu selama jangka waktu
kerasulan, di sela-sela peristiwa di mana Nabi selesai menghadapi suatu
peperangan, kembali menghadapi peperangan yang lain . ” di kala ia menggagalkan
suatu tipu muslihat perang musuh, beralih menghadapi muslihat mereka yang lain,
dan yang lain lagi. ‘ ” dan di saat beliau membina dunia baru, yakni baru
dengan arti seluas kata . . . wahyu itu tetap turun, sedang Rasul membacakan
dan menyampaikannya ….
Maka di sanalah ada satu kelompok yang diberkati yang
menumpahkan segala minat dan perhatian mereka terhadap al-Quran sejak hari-hari
pertama . . . . Sebagian tampil menghapalkannya sekuasanya, dan sebagian yang
lain mempunyai keterampilan menulis, memelihara ayat-ayat tersebut dengan
tulisan-tulisan mereka.
Dalam jangka waktu lebih kurang duapuluh satu tahun, di mana
al-Quran turun ayat demi ayat, atau beberapa ayat disusul oleh beberapa ayat,
sesuai dengan tuntutan keadaan dan sebab-sebabnya, maka mereka yang ahli
menghafal dan menuliskannya itu, dalam melaksanakan amal pekerjaan mereka, mendapat
taufik yang besar dari Allah Ta’ala ….
Al-Quran tidak turun sekaligus atau sekali onggok, karena ia
bukanlah kitab yang dikarang atau artikel yang disusun …. Sesungguhnya ia
adalah suatu dalil dan pedoman bagi suatu ummat baru yang dibangun secara
alamiah, sebingkaih demi sebingkaih dan hari demi hari, hingga bangkitlah
‘aqidah dan keyakinan, terbentuk perasaan hatinya, akal pikiran dan iradat
kemauannya menurut kehendak Ilahi. la tidak memerlukan alasan, tetapi menuntun
dan menggembleng manusia dari ummat ini untuk menempuh jalan ketaatan yang
sempurna menuruti kehendak Allah swt.
Oleh karena itu al-Quran datang secara berkala dan terbagi-bagi,
sesuai dengan keperluan yang terjadi dalam perjalanannya yang terus berkembang
dan situasi yang selalu berubah serta kendali yang berbeda arah ….
Sebagaimana telah kami utarakan dahulu, tidak sedikit ahli baca
dan ahli hafal al-Quran yang mencatat atau menuliskannya. Di antara
pemimpin-pemimpinnya ialah Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin
Mas’ud dan Abdullah bin Abbas, serta seorang yang mempunyai kepribadian yang
mulia yang sedang kita bicarakan sekarang ini, Zaid bin Tsabit, semoga Allah
ridla kepada mereka semua . . . .
Sesudah sempurna turun wahyu, dan pada masa-masa yang terakhir
dari turunnya Rasul mengulang membacakannya kepada Muslimin, dengan menertibkan
susunan Surat-Surat dan ayat-ayat nya . . . . Dan sesudah wafatnya Rasulullah saw, Kaum
Muslimin segera disibukkan oleh peperangan menghadapi kaum yang murtad …. Dalam
pertempuran Yamamah yang telah kita bicarakan dahulu, yakni di kala
membicarakan Khalid bin Walid dan Zaid bin Khatthab, banyak qurban berjatuhan
sebagai syuhada’ dari golongan ahli baca dan ahli hafal al-Quran . Keadaan itu
mengkhawatirkan. Dan belum lagi api kemurtadan padam, maka Umar dengan rasa
cemas, segera menghadap Khalifah Abu Bakar Shiddiq r.a. dan dengan gigih
memohon kepada beliau agar para qari’ dan huffadh segera diperintahkan
menghimpun al-Quran sebelum mereka keburu gugur atau mati syahid ….
Khalifah pun bershalat istikharah kepada Tuhannya . . . lalu
berunding dengan para shahabatnya dan kemudian memanggil Zaid bin Tsabit,
sembari berkata kepadanya: “Kamu adalah seorang anak muda yang cerdas, kami
tidak meragukan kamu . . . !” Lalu diperintahkannya untuk segera memulai untuk
menghimpun al-Quranul Karim, dengan meminta bantuan para ahli yang
berpengalaman dalam soal ini.
Maka bangkitlah Zaid melakukan amal bakti yang kepadanya
tergantung masa depan Islam seluruhnya sebagai suatu Agama…! Dalam melaksanakan
tugas yang sangat besar dan penting ini Zaid berhasil dengan amat gemilang.
Tiada henti-hentinya ia bekerja menghimpun ayat-ayat dan Surat-Surat dari dada
para penghafal dan dari catatan serta tulisan, dengan meneliti dan
mempersamakan serta memperbandingkan satu dengan lainnya, hingga akhirnya
dapatlah dihimpun al-Quran yang tersusun dan teratur rapi ….
Amal karyanya ini dinilai bersih oleh kata sepakat para shahabat
semoga ridla Allah kepada mereka yang hidup semasa dengan Rasul dan selalu
mendengarkannya dari beliau selama tahun-tahun kerasulan, teristimewa para
ulama, para penghafal dan penulisnya ….
Dan berkatalah Zaid di waktu ia melukiskan kesukaran besar yang
dihadapinya mengingat kesucian tugas dan kemuliaannya: “Demi Allah, seandainya
mereka memintaku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, akan lebih mudah
kurasa dari perintah mereka menghimpun al-Quran … !”
Benarlah . . . , sesungguhnya Zaid lebih suka memikul satu atau
beberapa gunung di atas pundaknya, daripada ia sampai tersalah bagaimanapun
kecilnya dalam menuliskan ayat atau menyusunnya menjadi Surat sesuai dengan
yang pernah dituntunkan oleh Rasulullah. Tak ada bahaya atau kecemasan yang
lebih besar menimpa hati nuraninya dan Agamanya . . . . melebihi kesalahan
seperti ini, bagaimanapun juga kecilnya dan tanpa disengaja olehnya ….
Tetapi taufik Allah mendampinginya, dan selain itu janji-Nya pun
bersamanya, firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami yang menurunkan peringatan (al‑Quran), dan
sesungguhnya Kamilah yang memeliharanya… !(Q.S. 15 al-Hijr: 9).
Maka berhasillah Zaid melaksanakan tugasnya yang penting itu,
dan telah diselesaikannya kewajiban dan tanggung jawabnya sebaik-baiknya ….
Ini merupakan tahap pertama menghimpun al-Quran Tetapi
penghimpunan kali ini masih tertulis dalam banyak mashaf. Dalam mashaf-mashaf
itu ada perbedaan-perbedaan tanda-tanda harakat yang merupakan formalitas belaka, namun pengalaman meyakinkan para shahabat Rasul saw. keharusan
mempersatukan semua dalam satu mashaf saja.
Maka di masa Khalifah Utsman r.a. di kala Kaum Muslimin
terus-menerus melanjutkan perjuangannya dalam membebaskan ummat manusia dari
penindasan penguasa di negeri-negeri lain, meninggalkan kota Madinah dan
merantau ke pelosok-pelosok yang jauh . . . di saat setiap harinya orang
berbondong-bondong masuk Islam dan berjanji setia kepadanya, waktu itu
tampaklah dengan jelas hal-hal yang berbahaya yang diakibatkan oleh berbilangnya
mashaf, yakni timbulnya perbedaan bacaan terhadap al-Quran, sampai-sampai di
kalangan para shahabat yang mula-mula dan angkatan pertama ….
Oleh karena itu, segolongan shahabat r.a. yang dikepalai oleh
Hudzaifah ibnul Yaman tampil menghadap Utsman, dan menjelaskan keperluan yang
mendesak untuk menyatukan mashaf. Khalifah pun melakukan shalat istikharah kepada Tuhannya dan
berunding dengan shahabat-shahabatnya. . . . Dan sebagaimana Abu Bakar dulu
meminta tenaga Zaid bin Tsabit, sekarang Utsman meminta bantuan tenaganya pula.
….
Zaid lalu mengumpulkan shahabat-shahabat dan orang-orang yang
dapat membantunya. Mereka ambil beberapa mashaf dari rumah Hafshah puteri Umar
r.a. yang selama ini dipelihara dengan baik di sana. Dan mulailah Zaid dan para
shahabatnya menggarap pekerjaan ini ….
Semua mereka yang membantu Zaid adalah penulis-penulis wahyu dan
penghafal-penghafal al-Quran …. Namun, bila terdapat perbedaan dan
ternyata sedikit sekali terdapat perbedaan. itu mereka selalu berpegang kepada
petunjuk dan. pendapat Zaid dan menjadikannya sebagai alasan kuat dan kata
putus!
Dan sekarang di kala kita dapat membaca al-Quranul Karim itu
dengan mudah . . . atau kita mendengarnya dibaca orang dengan dilagukan . . .
hampir-hampir tidak terbayang dalam pikiran kita kesukaran-kesukaran hebat yang
dialami oleh orangorang yang telah ditentukan Allah untuk menghimpun dan
memeliharanya… !
Sungguh, tak ada bedanya dengan kedahsyatan yang mereka alami
dan nyawa-nyawa yang mereka qurbankan, di kala mereka berjihad di jalan Allah, untuk
mengukuhkan berdirinya Agama yang
benar di muka bumi ini, dan melenyapkan kegelapan dengan cahayanya yang
benderang ….
60 Sahabat Nabi: Zaid bin Tsabit, Penghimpun Kitab Suci Al Quran
Reviewed by Himam Miladi
on
May 13, 2014
Rating:
No comments:
Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini