Ketika Produk Haji Hanya Sebagai Label Dan Gengsi Sosial

Banyak orang Arab Saudi yang heran dan bingung dengan kondisi Indonesia. Di satu sisi mereka setiap tahunnya melihat jutaan orang Indonesia berkunjung ke tanah suci baik untuk berhaji maupun umroh. Padahal baik haji maupun umroh hanya diwajibkan bagi yang mampu. Menurut orang Arab Saudi melihat fenomena membludaknya jamaah haji dan umroh, maka secara materi orang Indonesia adalah orang kaya. Maka menjadi pertanyaan dikalangan orang Arab, mengapa Indonesia justru banyak mengirimkan TKW dan TKI nya ke Arab Saudi. Pertanyaan yang sebenarnya gampang dijawab, namun tetap sulit dipahami oleh orang Arab Saudi.

Kebingungan orang Arab Saudi tentu juga menjadi kebingungan banyak pihak di Indonesia. Di tengah antrian panjang calon jamaah haji yang mencapai 5-15 tahun, justru terpampang dengan jelas kemiskinan dan kejahatan korupsi. Membludaknya Pak Haji dan Bu Haji serta calon Pak Haji dan Bu Haji yang jumlahnya mencapai jutaan orang ternyata tak berbanding lurus dengan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Lebih miris lagi ternyata membludaknya Pak Haji dan Bu Haji serta calon Pak Haji dan Bu Haji yang jumlahnya mencapai jutaan orang tersebut ternyata tak berbanding lurus dengan moralitas, kesalehan sosial dan masyarakat madani yang berkeadilan.


Justru berita yang kita dengar dan kita baca adalah tertangkapnya pejabat korup, hakim korup, jaksa korup, polisi korup, ustadz korup, anggota legislative korup dan koruptor-koruptor lainnya yang sebagian diantaranya adalah Pak Haji dan Bu Haji. Justru berita yang kita dengar dan kita baca adalah kemiskinan dan kemelaratan dimana-mana, anak kekurangan gizi, aksi biadab premanisme, saling bunuh sesama saudara, rebutan jabatan dan aksi-aksi kriminal lainnya. Lantas di mana keberadaan jutaan Pak Haji dan Bu Haji serta calon Pak Haji dan callon Bu Haji.


Melihat fenomena yang telah dengan terang benderang digambarkan di atas, maka menjadi pertanyaan kita semua mengapa ibadah haji tidak memberikan perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat. Jawabannya bisa jadi karena adanya perubahan paradigma di masyarakat bahwa berhaji hanya untuk memenuhi rukun Islam yang ke lima semata. Tidak lebih dan tidak kurang. Paradigma yang lebih mengutamakan meraih gelar haji daripada esensi dan implikasi produk dari berhaji. Selain itu adanya orang yang berhaji tanpa ilmu dan hanya modal nekad juga hanya melahirkan Pak Haji dan Bu Haji tanpa makna. Bisa jadi ada di antara mereka yang berhaji karena hanya ingin mendapatkan label Pak Haji dan Bu Haji untuk meingkatkan gengsi sosial di masyarakat. Dan bisa jadi ada pula yang berhaji hanya karena ingin menikmati wisata spiritual ke tanah suci semata.

Jika sudah demikian niat dan paradigma yang tertanam di kalangan Pak Haji dan Bu Haji, maka jangan pernah berharap Pak Haji dan Bu Haji akan menjadi lokomotif perubahan menuju masyarakat madani yang sejahtera dan berkeadilan. Karena ketika berhaji hanya dipahami sebagai prosesi ritual dan wisata spiritual semata maka yang lahir dari produk haji hanyalah label haji semata, bukan haji mabrur. Sebab haji mabrur adalah haji yang dapat membawa dampak perubahan spiritual dan sosial di masyarakat. Seorang haji mabrur akan terlihat dari peningkatan kualitas akhlak dan moralitasnya tidak hanya pada saat berhaji tapi juga ketika pulang setelah berhaji. Karenanya balasan setimpal bagi haji mabrur adalah surga.


*Tulisan ini adalah salin ulang dari artikel milik teman Ken Hirai di Kompasiana, dengan judul yang sama yang mana artikelnya sudah tidak ada lagi.
Ketika Produk Haji Hanya Sebagai Label Dan Gengsi Sosial Ketika Produk Haji Hanya Sebagai Label Dan Gengsi Sosial Reviewed by Himam Miladi on September 10, 2016 Rating: 5

No comments:

Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini

Powered by Blogger.