Kota Malang adalah kota yang penuh
dengan kenangan sejarah. Dari sejak jaman kerajaan kuno seperti Tumapel,
Singosari, Kanjuruhan hingga pada era kolonial dan berlanjut jaman pendudukan
Jepang, jejak sejarah tersebut masih ada. Sumber-sumber sejarah baik itu
berbentuk literatur atau bangunan fisik bisa dengan mudah didapatkan.
Sayang sekali, dari sekian banyak
literatur sejarah yang membahas Malang, belum ada yang meneliti potret
olahraga, terutama sepakbola di masyarakat. Terutama pada era kolonial ketika
sepakbola pertama kali diperkenalkan di Indonesia. Pada umumnya, sejarawan
lebih senang membahas aspek sosial, seni budaya politik dan ekonomi masyarakat
Malang. Padahal, olahraga dan sepakbola bisa dikatakan termasuk salah satu
aspek yang mempengaruhi kehidupan masyarakat lokal.
Sejarah sepakbola di Kota Malang
dimulai pada akhir abad 19, tepatnya ketika terbentuk sebuah klub lokal bernama
Go Ahead pada tahun 1898. Nama ini merujuk pada klub
sepakbola yang ikut kompetisi KNVB di Belanda. Keberadaan klub sepakbola
Go Ahead di Malang ini terdapat dalam sebuah cuplikan berita yang dimuat di
beberapa surat kabar saat itu, seperti De Locomotive dan Soerabaijasch
handelsblad. Dalam surat kabar De Locomotive bertanggal 22 Juli 1898, Go Ahead
diberitakan bertanding melawan klub E.C.A dari Surabaya yang akhirnya
berkesudahan seri 2-2.[1]
Nama Go
Ahead ternyata tidak hanya digunakan di Malang saja. Tercatat, Go Ahead juga
menjadi cikal bakal sepakbola di Semarang, dengan tahun pendirian yang sama.
Setelah Go Ahead, menyusul kemudian terbentuk klub Voorwaarts (1902), M.O.T ( Moed Overwint
Tegenspoed, tahun 1904) dan klub sepakbola militer pertama, Wilhelmina pada
tahun 1909. Nama-nama tersebut adalah klub sepakbola yang dibentuk oleh
orang-orang Belanda di Malang.
Sebagai kawasan
perkebunan dan garnisun militer, Malang memang banyak dihuni orang-orang
Belanda. Letak geografis Malang yang dikelilingi pegunungan juga menjadikannya
sebagai tempat favorit untuk berwisata atau membangun rumah peristirahatan. Di
era kolonial, sebagaimana di semua koloni Belanda, komposisi penduduk kota
Malang terbagi dalam kelas: yaitu kelas paling atas adalah kulit putih ( Eropa, Amerika, Jepang ),
kelas kedua adalah Timur Asing ( Arab, India, Cina ), dan kelas ketiga adalah
pribumi ( masyarakat asli Indonesia ). Ini adalah konsekuensi dari kebijakan Regering
Regleement yaitu peraturan pemerintah yang membedakan kelompok masyarakat
menjadi tiga kelas di Hindia Belanda. Peraturan ini juga diikuti dengan
kebijakan Exhorbitante Rechten yakni hak bagi Gubernur Jenderal untuk
menentukan tempat tinggal bagi golongan-golongan penduduk Hindia Belanda atau
pribadi sendiri. [2]
Meski saat itu sepakbola identik
dengan permainan orang Eropa, bukan berarti tidak ada klub non orang Eropa di
Malang. Kam Soe Twie and Tjoe Kian Hwee adalah klub
sepakbola dari masyarakat Tionghoa pertama yang terbentuk di Malang, tepatnya
pada tahun 1913, menyusul kemudian klub Hak Sing Hwee di tahun 1914. Ketiga
klub ini kemudian melebur menjadi klub H.C.T.N.H pada tahun 1930. Hak Sing Hwee
sendiri adalah klub paling sukses di Malang dengan empat kali berturut-turut menjuarai
kompetisi lokal. Tradisi juara ini kemudian dilanjutkan H.C.T.N.H yang berhasil
menjadi juara sebanyak 7 kali berturut-turut, dari tahun 1933-1940. Salah satu
pemainnya, Bing Mo Heng terpilih sebagai penjaga gawang pada kesebelasan
NIVB/NIVU yang berlaga di Piala Dunia 1938.
Kota Malang mengalami
perkembangan pesat usai resmi menjadi Gemeente/kotapraja pada 1 April 1914.
Jika di tahun 1890 penduduk kota Malang berjumlah 12.040 jiwa, jumlah ini
melonjak drastis pada tahun 1940 menjadi 169.316 jiwa. Dari total jumlah
penduduk sebanyak itu, penduduk Eropa berjumlah 13. 867 jiwa.[3]
Kondisi ini tentu juga berpengaruh terhadap perkembangan sepakbola di Kota
Malang. Klub-klub sepakbola mulai bermunculan seperti jamur di musim hujan. Tak
hanya penduduk Eropa dan Tionghoa, penduduk pribumi juga tidak ketinggalan
membentuk klub sepakbola. Nama-nama klub seperti Ardjoeno, Garoeda, Anoman,
Tjehaja Oetama dan Minahasa menghiasi sepakbola kota Malang. Tidak ketinggalan klub dari etnis Arab bernama
Albad’r.[4]
Dilihat dari penamaan
klub, ada dua faktor yang melandasi terbentuknya klub-klub sepakbola di Malang.
Pertama adalah berdasarkan etnis/kesukuan, dan kedua adalah berdasarkan
profesi. Klub-klub yang dibentuk penduduk pribumi berlatar belakang etnis,
seperti Ardjoeno yang mewakili etnis Jawa dan Minahasa yang mewakili etnis
Sulawesi, serta klub-klub Tionghoa. Sementara klub-klub yang dibentuk orang
Eropa adalah berdasarkan profesi. Klub seperti Wilhelmina dan Sparta dibentuk
oleh anggota militer Belanda dan Politie S.V beranggotakan aparat kepolisian
pemerintah Hindia Belanda. Ada pula klub yang dibentuk oleh
perusahaan-perusahaan di Malang. Seperti klub sepakbola Faroka yang merupakan
pabrik rokok yang didirikan oleh orang Belgia.
Jika nama Go Ahead muncul
pula di kompetisi kota Semarang, nama klub Sparta muncul pula di kompetisi
sepakbola kota Bandung. Sementara nama klub Voorwaarts muncul di kompetisi kota
Medan. Nama-nama klub dari orang Eropa lainnya banyak merujuk pada klub yang
berkompetisi di KNVB seperti PSV (tanpa Eindhoven), dan Vitesse (tanpa
Arnheim). Ada pula yang mengambil nama dari klub sepakbola Brazil, yakni The Corinthians serta beberapa
nama merujuk pada mitologi Yunani seperti Xerxes.
Menjamurnya klub-klub
sepakbola di Kota Malang akhirnya menjadi pemicu dibentuknya federasi klub
sepakbola lokal. Tujuan pembentukan asosiasi klub sepakbola ini adalah untuk
mengorganisir dan menyelenggarakan kompetisi antar klub di Malang. Sayangnya,
federasi yang mewadahi klub sepakbola di Malang tidak hanya satu. Tahun 1917,
terbentuklah Malangsche Voetbal Bond (MVB) yang beranggotakan 4 klub, satu
diantaranya klub Tionghoa. MVB kemudian mengajukan permintaan untuk menjadi anggota NIVB, federasi
sepakbola Hindia Belanda, pada tahun 1919 namun ditolak. Pada tahun 1922,
muncul federasi sepakbola dengan nama yang sama (MVB) dan pada tahun 1926
berhasil berafiliasi dengan NIVB. Keberhasilan MVB menjadi anggota NIVB
mengalahkan dua federasi lain yang kebetulan bernama sama, yakni Unitas Voetbal
Bond (yang pertama didirikan dan dibubarkan pada tahun 1926, yang kedua
berlangsung dari tahun 1928 sampai 1929). Hingga tahun 1930, klub sepakbola di
Malang berjumlah 150 klub dengan 6 federasi sepakbola. [5]
MVB kemudian dibubarkan pada tahun
1933 dan digantikan oleh V.M.O. (Voetbalbond Malang en Omstreken). Satu tahun
kemudian, tiga klub lokal mengundurkan diri dari V.M.O. dan membentuk O.J.V.B.
(Obligasi Oost Java Voetbal). Semua klub disatukan lagi di bawah M.V.U.
(Malangsche Voetbal Unie), yang didirikan 11 Juli 1935.
Pertandingan sepakbola
klub-klub di Malang lebih banyak digelar di daerah Rampal. Di tempat ini memang
ada sebuah lapangan luas yang dikelilingi oleh barak-barak militer. Pada tahun 1925 dewan
kota praja malang mulai membangun stadion (sekarang Stadion Gajayana) di
sebelah barat kawasan Bergenburt (kawasan rumpun jalan gunung). Sebenarnya
lebih tepat disebut taman olahraga karena didalamnya ada kolam renang
(Zwembad), lapangan hockey, lapangan tenis serta lapangan sepakbola. Stadion
multiguna ini mulai digunakan pada tahun 1926 oleh Malangsche Zwembad, klub
renang yang saat itu menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Sementara lapangan
sepakbolanya mulai digunakan sejak tahun 1928 ketika MVB memutar kompetisi
antar klub sepakbola kota Malang.[6]
Meski pembentukan klub sepakbola lebih banyak didasari oleh persamaan etnis, tapi itu tidak berlaku
ketika federasi sepakbola Malang ikut kompetisi sepakbola antar kota.
Mulai tahun 1914, pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan kompetisi antar kota di Jawa (Stedenwedstrijden).
Kompetisi ini pertama kali diselenggarakan di Semarang, dengan nama Koloniale Tentoonstellin yang diorganisir oleh
sebuah komite ad hoc (Sport-comité der Koloniale Tentoonstelling) dari 4 kota besar yakni Batavia, Surabaya, Semarang dan Bandung.
Ketika NIVB terbentuk pada tahun 1919, penyelenggaraan stedenwedstrijden mulai diambil alih NIVB.
Kompetisi ini menggunakan sistem satu putaran, dengan tuan rumah bergantian antara 4 kota tersebut.[7]
Malang sendiri
mulai ikut Stedenwedstrijden
sejak tahun 1926 ketika kompetisi memberlakukan babak kualifikasi. Hal ini
dilakukan NIVB karena banyak federasi sepakbola kota-kota di Jawa yang ingin
ikut serta. Dalam keikutsertaannya tersebut, Malang harus mengakui keunggulan
tuan rumah Surabaya dengan skor 3-1.[8]
Berturut-turut kemudian kesebelasan
Malang selalu gagal lolos melaju ke putaran final. Mereka baru berhasil melaju
ke putaran final pada kompetisi tahun 1939 yang diselenggarakan di Jogja.
Namun, mereka harus menempati posisi juru kunci setelah tidak berhasil
memenangkan satu pun pertandingan melawan Bandung, Batavia, Semarang dan
Surabaya. Satu tahun kemudian, Malang kembali lolos ke putaran final. Tapi
sayangnya mereka juga harus kembali menempati posisi juru kunci. Pada tahun ini
kompetisi sudah diorganisir oleh NIVU, sebagai pengganti NIVB yang didirikan
pada 9 Juni 1935. Stedenwedstrijden masih digelar
hingga tahun 1942 sampai kemudian berhenti ketika Jepang mulai menginvasi
Indonesia.
Sementara itu Federasi "asli
pribumi" pertama di Malang nampaknya didirikan pada tahun 1933 dengan nama
P.S.I.M. (Persatoean Sepakbola Indonesia Malang), atau dalam bahasa Belandanya
disebut Districselftal van den Inlandschen Voetbalbond.[9]
Nama ini kemudian berganti menjadi P.S.T (Persatoean Sepakraga Toemapel pada
tanggal 8 Oktober 1934. P.S.T saat itu diberitakan sudah berafiliasi dengan
PSSI. Susunan pengurusnya adalah: Ketua R Soedarno; Sekretaris 1 R. Abdoel
Rachman; Sekretaris 2 R. Soewarno; Bendahara R. Soedomo dan komisioner R.
Koesno, Takim dan Soekaswati.[10]
Pada bulan Juni 1938, P.S.T mengutus bendahara R. Soedomo dan sejumlah
komisaris untuk mengikuti Kongres PSSI di Solo. Ketika itu PSSI memutuskan
untuk membatalkan perjanjian kerjasamanya dengan NIVU.[11]
Perjalanan P.S.T kemudian tidak
banyak diberitakan, kecuali permintaan mereka pada Dewan Kota untuk menggunakan
stadion, bergantian dengan M.V.U. Setelah itu, situasi Indonesia sudah mulai
bergolak seiring masuknya Jepang dan kemudian peristiwa Agresi Militer Belanda.
Nama federasi sepakbola pribumi kembali diberitakan dengan nama Persema pada
bulan Agustus 1951. Pemberitaan ini seakan meluruskan sejarah yang mengatakan
Persema lahir pada 20 Juni 1953. Atau jika dirunut lebih mundur, seharusnya
hari jadi Persema adalah 8 Oktober 1934, saat P.S.T sebagai federasi sepakbola
pribumi pertama di Malang terbentuk dan sudah menjadi anggota PSSI.
[2] 1Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan
Malang sejak Zaman Kolonial sampai Kemerdekaan, (Yogyakarta: Ombak, 2009),
hlm. 34
[3] Dr. A. van Schaik. Malang beeld van een stad. Purmerend Asia Maior. 1996
[6] Dr. A. van Schaik, op cit
[7] Armstrong, Gerry. Football Cultures and Identities.
Macmillan Press Ltd. 1999. Diakses dari Google Books
Melihat Potret Sepakbola Kota Malang Era Kolonial
Reviewed by Himam Miladi
on
March 02, 2018
Rating:
https://www.bolavita128.com/
ReplyDeleteMelihat Potret Sepakbola Kota Malang Era Kolonial
ReplyDeleteHobby main judi bola , sudah tepat bersama BOLAVITA
Kesempatan menang terbesar dan Bonus yang banyak dari BOLAVITA
judi bola terbaik
Untuk info lebih lanjut bisa melalui:
whatup : 08122222995
Wechat : Bolavita.
Line : Cs_bolavita.