“Bacalah,” perintah Malaikat Jibril pada Muhammad SAW yang sedang
berkhalwat (menyepi dan berdiam diri) di Gua Hira.
“Aku tidak bisa membaca. Apa yang harus aku baca”? tanya Muhammad
bingung. Sejak lahir beliau adalah seorang yang “ummiy”, buta huruf.
Malaikat Jibril lantas memeluk Muhammad hingga dadanya terasa
sesak.
“Bacalah”, kata Jibril setelah melepas pelukannya, tidak menjawab
pertanyaan Muhammad.
“Aku tidak bisa membaca”, kata Muhammad sekali lagi.
Kembali Jibril memeluk Muhammad dengan keras. Dan setelah
melepaskan pelukannya, dibacakannya 5 ayat pertama dari Al Qur’an:
“(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan.
(2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmu
adalah Maha Pemurah. (4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (alat
tulis) (5) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al
Alaq 1-5).
Kisah turunnya ayat Al Qur’an diatas dikutip dari sebuah hadist
yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.[1]
Turunnya wahyu pertama tersebut sekaligus menandai episode baru kehidupan
Muhammad SAW sebagai seorang Rasul utusan Allah.
Ada dua hikmat yang kita dapatkan peristiwa turunnya Al Qur’an yang
kita peringati setiap tanggal 17 Ramadan. Yang pertama adalah esensi tentang
pentingnya mencari ilmu melalui proses membaca. Iqra, iqra, iqra.....Baca,
baca dan baca.
Perintah Allah melalui malaikat Jibril yang pertama pada
Rasulullah adalah untuk membaca, bukan untuk langsung kerja, kerja, kerja.
Karena itu, setiap pekerjaan haruslah dilandasi dengan ilmu, Fa'alaihi bil
ilmi. Jangan sampai kita melakukan sebuah pekerjaan, tapi kita tidak tahu
apa yg sebenarnya kita kerjakan tersebut.
Membaca adalah bukti kecintaan kita
kepada Tuhan dan Rasul Nya. Itulah perintah pertama untuk jadi umat yang
beradab dan maju. Aneh rasanya, jika umat islam dapat perintah IQRA tetapi umat
lain yang melaksanakannya.
sumber ilustrasi: unsplash.com |
Hikmat yang kedua adalah pentingnya mencatat setiap ilmu yang kita
dapatkan. Ayat ke-4 surah Al Alaq secara eksplisit menyatakan Allah mengajar
manusia dengan perantaraan qalam, alat tulis. Rasulullah SAW sendiri
bersabda, “Ikatlah ilmu dengan dengan menulisnya”[2]
Bahkan beliau memerintahkan sebagian sahabatnya agar menulis ilmu.
Salah satunya adalah Abdullah bin ‘Amru. Beliau bersabda kepadanya, “
“Tulislah. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Tidaklah keluar
darinya melainkan kebenaran”[3]
Mengapa kita harus mencatat setiap ilmu yang didapatkan? Karena
kita bukanlah Imam Bukhari, dan karenanya kita harus mencontoh apa yang
dilakukan Imam Syafi’i.
Imam Bukhari adalah seorang yang sangat kuat hafalannya. Bahkan
saking kuatnya dalam menghafal Imam Bukhari ketika masih menjadi seorang
penuntut ilmu selalu hadir dalam majelis ilmu tanpa pernah mencatat satupun
penjelasan dari syaikhnya.
Suatu hari Imam Bukhari diuji oleh syaikhnya
(gurunya) tentang beberapa materi yang telah lewat dengan membandingkan antara
hafalannya dengan catatan dari teman-temannya yang senantiasa rajin mencatat
penjelasan gurunya. Saat itulah guru Imam Bukhari mendapati sebuah perbedaan
antara hafalan Imam Bukhari dan catatan teman-temannya. Dan setelah dicek
ulang, ternyata hafalan Imam Bukhori yang benar.[4]
Lalu, apa yang bisa dicontoh dari Imam Syafi’i? Salah satu Imam
Madzhab yang empat ini terkenal sebagai seorang penuntut ilmu yang sangat rajin
dan teliti dalam mencatat semua pengajaran gurunya, baik di kertas maupun kulit
dan pelepah tumbuhan.
Menurut Imam Syafi’i ilmu adalah binatang buruan dan
tinta adalah tali pengikatnya agar tidak lepas buruannya. Saking rajinnya
mencatat sampai-sampai rumah Imam Syafi’i yang sempit dipenuhi dengan
kertas-kertas catatannya.
Meski demikian Imam Syafi’i juga terkenal memiliki
hafalan yang sangat kuat sehingga ketika kamarnya telah penuh dengan kertas dan
tak ada lagi tempat untuk badannya melepas lelah, Imam Syafi’i lantas membuang
semua kertas catatannya dengan terlebih dahulu menyimpannya dalam hafalan di
kepala.[5]
Sebagian besar dari kita, termasuk saya mungkin, ternyata lebih
suka menjadi Imam Bukhari yaitu kalau mendengarkan ceramah agama tidak pernah
mencatat. Bukan karena hafalan kita sekuat Imam Bukhari, namun karena kita
sering meremehkan ilmu dan tidak menghargainya. Lebih parahnya lagi kita sering
menggampangkan dan merasa mudah ingat, padahal betapa buruknya hafalan kita.
Seharusnya kita menjadi Imam Syafi’i yang senantiasa tak pernah
jauh dari kertas dan tinta meskipun hanya sekedar kultum subuh hendaklah kita
selalu mencatat. Terlebih, ditunjang dengan teknologi masa kini, dimana kita
tak perlu repot membawa tinta dan kertas, namun cukup dengan sebuah gadget
dalam genggaman, kita bisa mencatat semua ilmu yang kita peroleh dari sebuah
pengajian/pengajaran. Siapa tahu, kelak, catatan-catatan ilmu kita akan berguna
bagi anak keturunan kita sendiri
[1] HR
Bukhari, hadist nomor 3
[3] HR. Ahmad 2/164 & 192, Al-Haakim 1/105-106, shahih
[4] Kitab
Hadist Shahih yang Enam, Muhammad Abu Syuhbah
[5] Diwan Syafi’I
Bacalah dan Ikatlah Ilmu yang Kau Dapat dengan Tulisan
Reviewed by Himam Miladi
on
January 29, 2019
Rating:
No comments:
Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini