Ingat! Lelaki Shalih Belum Tentu Bisa Jadi Suami yang Shalih


lelaki shalih,suami shalih,ciri-ciri lelaki shalih,ciri-ciri suami shalih,cerpen islam,cerpen islami,inspirasi islam,khasanah islam


Setiap muslimah tentunya berharap bisa mendapat pasangan hidup dan imam yang sempurna. Seorang lelaki yang tampan, rajin shalat berjamaah, pengetahuan agamanya sangat mumpuni, menjaga pandangan mata dari hal-hal yang dilarang, sopan santun. Pokoknya semua persyaratan seorang lelaki shalih ada pada dirinya. 
"Aduhai, andai lelaki itu bisa menjadi imamku" begitu kira-kira kata hati seorang dara muslimah. Dan bukan hanya seorang gadis saja yang membayangkan lelaki shalih itu jadi imam. Yang sudah mempunyai suami pun tak jarang masih pula berandai-andai, "Seandainya suamiku bisa seperti lelaki itu".....

Berharap seperti ini memang tidak dilarang, justru baik dan dianjurkan. Namun, ketika dia sudah mendapatkan seorang suami, apakah masih pantas dia membayangkan lelaki lain untuk menjadi suaminya, meski dengan alasan lelaki lain itu – menurut pandangan pribadinya – lebih baik dari suaminya? Kita khawatir perasaan seperti ini akan menjadikan seseorang tidak mengalah pada takdirnya, setelah sebelumnya dia sudah berikhtiar. 

Dalam penilaian Nabi, lelaki shalih itu belum tentu menjadi suami shalih. Dengan ujaran lain, tidak semua lelaki baik, dapat menjadi suami yang baik! 
Suami shalih, maknanya lebih luas dari pada lelaki shalih. Lelaki shalih adalah orang yang selalu melaksanakan perintah Allah baik lahir maupun batin. Misalnya, ia selalu berjama’ah di masjid, perilaku dan tutur katanya islami, meninggalkan hal-hal yang haram. 
Namun, dalam memberikan penilaian tentang siapa lelaki shalih itu, yang bisa kita lakukan hanya dari sisi lahiriahnya. Secara lahiriah seseorang dapat dinilai sebagai orang beragama. Namun bisa saja dia ternyata tipe orang yang mudah marah, sering menghina dan merendahkan orang, ucapannya pahit, dan sebagainya. 
Hal ini tentu dapat menganggu ketenangan dan kebahagiaan rumah tangga. Seseorang kelihatannya beragama dan berakhlaq baik. Namun ia memiliki beberapa sifat yang tidak cocok bagi pasangannya. Sebaliknya, justru ia cocok untuk orang lain, bukan untuk pasangan hidupnya sendiri. 

Misalnya, lelaki itu bawaannya serius, sangat pendiam, melankonis, sulit tertawa, memiliki pergaulan sosial terbatas. Sedang pasangannya, memiliki karakter sebaliknya: seorang sosialita, aktifis muslimah yang senang bergaul dengan yang lain, suka humor, dan sebagainya. 
Seorang tidak mengatakan sifat lelaki tersebut jelek. Namun sifat itu bagi siapapun yang memiliki sifat yang saya contohkan tadi, bisa membuatnya kurang nyaman dalam mengarungi rumah tangga.

Karena itulah, Rasulullah saw mengatakan (yang artinya):“Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tak kau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang panjang.” (HR Turmudzi dan Ibnu Majah).

Perhatikan, Nabi tidak mengatakan “Jika datang padamu lelaki beragama dan akhlaknya baik”. Namun Nabi mengatakan, “Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai agama dan perangainya”. 

Apa bedanya? Pernyataan pertama – dan itu tidak diucapkan Nabi – bermakna, orang tua harus menikahkan anaknya dengan lelaki shalih, dan bahwa lelaki shalih itu pasti akan menjadi suami shalih. Namun pernyataan kedua – yang diucapkan Nabi – memberikan pengertian pada kita bahwa orang tua dalam memilih calon menantu, syaratnya harus ridha terhadap agama dan perangainya!

Karena memang tidak semua lelaki shalih,  disetujui cara beragama dan perangainya oleh istrinya. Jadi, ada unsur penilaian manusia di sini. Sedang penilaian manusia itu hanya terbatas pada sesuatu yang lahiriah atau yang tampak.

Kisah Fathimah binti Qays akan menjelaskan hal ini. Suatu saat, ia dilamar dua lelaki. Tak tanggung tanggung, yang melamar beliau adalah dua pembesar sahabat, yaitu Mu’awiyah dan Abu al-Jahm. Setelah dikonsultasikan kepada Rasulullah, apa yang terjadi? 
Nabi menjelaskan, baik Mu’awiyah maupun Abu al-Jahm, tidak cocok untuk menjadi suami Fathimah binti Qays. Apa yang kurang dari Mu’awiyah dan Abu al-Jahm? Padahal keduanya adalah lelaki shalih dan memiliki keyakinan agama yang baik. Namun Nabi tidak menjodohkan Fathimah dengan salah satu dari keduanya, karena Nabi mengetahui karakter Fathimah, juga karakter Mu’awiyah dan Abu al-Jahm. 
Lebih lanjut, Nabi menawarkan agar Fathimah menikah dengan Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang sebelumnya tidak masuk “nominasi” Fathimah. Setelah Fathimah menikah dengan pilihan Nabi itu, apa yang dikatakannya itu? Fathimah mengatakan, “Allah melimpahkan kebaikan yang banyak pada pernikahan ini dan aku dapat mengambil manfaat yang baik darinya.”

Jadi, kepala rumah tangga yang ideal bagi seluruh wanita muslimah adalah: Pertama, lelaki shalih. Kedua, memiliki perangai yang sesuai dengan karakter istrinya dan ini nisbi atau relatif, yang tidak mungkin bisa dijawab kecuali oleh sang istri sendiri. 
Keshalihan seorang lelaki memang menjadi syarat bagi wanita yang ingin menikah. Namun, itu saja tak cukup. Perlu dilihat kemudian munasabah (kesesuaian gaya hidup, meski tak harus sama), musyakalah (kesesuaian kesenangan, meski tak harus sama), muwafaqah (kesesuaian tabiat dan kebiasaan). 
Sekali lagi, aspek kedua ini sifatnya relatif, tidak bisa dijawab kecuali oleh wanita yang akan menikah dan keluarganya. Oleh karena itu wahai sahabat muslimah, kalau ada yang datang melamar, tanyakanlah karakter dan perangainya pada orang-orang yang  mengetahuinya, baik dari kalangan keluarga atau teman-temannya. 
Terakhir, bagi yang belum menikah dan sedang “mencari jodoh”, agama mensyari’atkan adanya musyawarah dan istikharah. Lakukanlah keduanya! 
Sementara bagi yang sudah menikah, terimalah keberadaan suami apa adanya, karena menikah itu “satu paket”: paket kelebihan dan paket kekurangan dari pasangan. Tinggal bagaimana kita menyikapi kelebihan dan kekurangan itu. 

Pandangan diatas pun berlaku bagi sahabat-sahabat lelaki muslim. Seorang muslimah yang shalih, belum tentu akan jadi istri yang shalih pula.

Orang bijak menyikapi kelebihan dengan syukur, menyikapi kekurangan dengan sabar. Orang bijak itu “pandai mengubah kotoran yang tidak bermanfaat menjadi pupuk yang bermanfaat”. Sesuatu yang baik dari suami/istri, ajaklah dia untuk makin meningkatkannya. Sedang yang jelek darinya, bersama Anda, hilangkan dari lembar kehidupannya. 
Janganlah memikirkan orang lain. Karena boleh jadi orang lain itu dalam pandangan Anda baik, namun ternyata ia tak baik dan tak cocok untuk menjadi suami/istri Anda.

sumber: ceramah di Radio Malang, nama ustadnya lupa. Barokallohu, semoga bermanfaat


Ingat! Lelaki Shalih Belum Tentu Bisa Jadi Suami yang Shalih Ingat! Lelaki Shalih Belum Tentu Bisa Jadi Suami yang Shalih Reviewed by Himam Miladi on February 04, 2019 Rating: 5

1 comment:

Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini

Powered by Blogger.