Setiap muslimah tentunya berharap bisa mendapat pasangan hidup dan imam yang sempurna. Seorang lelaki yang tampan, rajin shalat berjamaah, pengetahuan agamanya
sangat mumpuni, menjaga pandangan mata dari hal-hal yang dilarang, sopan
santun. Pokoknya semua persyaratan seorang lelaki shalih ada pada dirinya.
"Aduhai, andai lelaki itu bisa menjadi imamku" begitu kira-kira kata hati
seorang dara muslimah. Dan bukan hanya seorang gadis saja yang membayangkan
lelaki shalih itu jadi imam. Yang sudah mempunyai suami pun tak jarang masih
pula berandai-andai, "Seandainya suamiku bisa seperti lelaki
itu".....
Berharap seperti ini memang tidak dilarang, justru baik dan dianjurkan. Namun, ketika
dia sudah mendapatkan seorang suami, apakah masih pantas dia membayangkan
lelaki lain untuk menjadi suaminya, meski dengan alasan lelaki lain itu –
menurut pandangan pribadinya – lebih baik dari suaminya? Kita khawatir perasaan
seperti ini akan menjadikan seseorang tidak mengalah pada takdirnya, setelah
sebelumnya dia sudah berikhtiar.
Dalam penilaian Nabi, lelaki shalih itu belum tentu menjadi
suami shalih. Dengan ujaran lain, tidak semua lelaki baik, dapat menjadi
suami yang baik!
Suami shalih, maknanya lebih luas dari pada lelaki shalih.
Lelaki shalih adalah orang yang selalu melaksanakan perintah Allah baik lahir
maupun batin. Misalnya, ia selalu berjama’ah di masjid, perilaku dan tutur
katanya islami, meninggalkan hal-hal yang haram.
Namun, dalam memberikan
penilaian tentang siapa lelaki shalih itu, yang bisa kita lakukan hanya
dari sisi lahiriahnya. Secara lahiriah seseorang dapat dinilai sebagai orang
beragama. Namun bisa saja dia ternyata tipe orang yang mudah marah,
sering menghina dan merendahkan orang, ucapannya pahit, dan sebagainya.
Hal ini tentu dapat menganggu ketenangan dan kebahagiaan rumah tangga.
Seseorang kelihatannya beragama dan berakhlaq baik. Namun ia memiliki beberapa
sifat yang tidak cocok bagi pasangannya. Sebaliknya, justru ia cocok untuk orang lain,
bukan untuk pasangan hidupnya sendiri.
Misalnya, lelaki itu bawaannya serius, sangat pendiam, melankonis, sulit tertawa, memiliki pergaulan sosial terbatas. Sedang pasangannya, memiliki karakter sebaliknya: seorang sosialita, aktifis muslimah yang senang bergaul dengan yang lain, suka humor, dan sebagainya.
Seorang tidak
mengatakan sifat lelaki tersebut jelek. Namun sifat itu bagi siapapun yang memiliki
sifat yang saya contohkan tadi, bisa membuatnya kurang nyaman dalam
mengarungi rumah tangga.
Karena itulah, Rasulullah saw mengatakan (yang artinya):“Jika
datang padamu lelaki yang kau ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia.
Jika tak kau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang
panjang.” (HR Turmudzi dan Ibnu Majah).
Perhatikan, Nabi tidak mengatakan “Jika datang padamu lelaki beragama dan akhlaknya baik”. Namun Nabi mengatakan, “Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai agama dan perangainya”.
Apa bedanya? Pernyataan pertama – dan itu tidak diucapkan Nabi – bermakna, orang tua harus menikahkan anaknya dengan lelaki shalih, dan bahwa lelaki shalih itu pasti akan menjadi suami shalih. Namun pernyataan kedua – yang diucapkan Nabi – memberikan pengertian pada kita bahwa orang tua dalam memilih calon menantu, syaratnya harus ridha terhadap agama dan perangainya!
Karena
memang tidak semua lelaki shalih, disetujui cara beragama dan perangainya oleh istrinya.
Jadi, ada unsur penilaian manusia di sini. Sedang penilaian manusia itu hanya
terbatas pada sesuatu yang lahiriah atau yang tampak.
Kisah Fathimah binti Qays akan menjelaskan hal ini. Suatu saat, ia
dilamar dua lelaki. Tak tanggung tanggung, yang melamar beliau adalah dua pembesar
sahabat, yaitu Mu’awiyah dan Abu al-Jahm. Setelah dikonsultasikan kepada
Rasulullah, apa yang terjadi?
Nabi menjelaskan, baik Mu’awiyah maupun Abu
al-Jahm, tidak cocok untuk menjadi suami Fathimah binti Qays. Apa yang kurang
dari Mu’awiyah dan Abu al-Jahm? Padahal keduanya adalah lelaki shalih dan
memiliki keyakinan agama yang baik. Namun Nabi tidak menjodohkan Fathimah
dengan salah satu dari keduanya, karena Nabi mengetahui karakter Fathimah,
juga karakter Mu’awiyah dan Abu al-Jahm.
Lebih lanjut, Nabi menawarkan agar
Fathimah menikah dengan Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang sebelumnya tidak
masuk “nominasi” Fathimah. Setelah Fathimah menikah dengan pilihan Nabi itu,
apa yang dikatakannya itu? Fathimah mengatakan, “Allah melimpahkan kebaikan yang
banyak pada pernikahan ini dan aku dapat mengambil manfaat yang baik darinya.”
Jadi, kepala rumah tangga yang ideal bagi seluruh wanita muslimah adalah: Pertama, lelaki shalih. Kedua, memiliki perangai yang sesuai dengan karakter istrinya dan ini nisbi atau relatif, yang tidak mungkin bisa dijawab kecuali oleh sang istri sendiri.
Keshalihan seorang lelaki memang menjadi syarat bagi wanita yang
ingin menikah. Namun, itu saja tak cukup. Perlu dilihat kemudian munasabah
(kesesuaian gaya hidup, meski tak harus sama), musyakalah (kesesuaian
kesenangan, meski tak harus sama), muwafaqah (kesesuaian tabiat dan
kebiasaan).
Sekali lagi, aspek kedua ini sifatnya relatif, tidak bisa dijawab
kecuali oleh wanita yang akan menikah dan keluarganya. Oleh karena itu wahai sahabat muslimah, kalau
ada yang datang melamar, tanyakanlah karakter dan perangainya pada orang-orang
yang mengetahuinya, baik dari kalangan keluarga atau teman-temannya.
Terakhir, bagi yang belum menikah dan sedang “mencari jodoh”, agama
mensyari’atkan adanya musyawarah dan istikharah. Lakukanlah keduanya!
Sementara
bagi yang sudah menikah, terimalah keberadaan suami apa adanya, karena
menikah itu “satu paket”: paket kelebihan dan paket kekurangan dari pasangan.
Tinggal bagaimana kita menyikapi kelebihan dan kekurangan itu.
Pandangan diatas pun berlaku bagi sahabat-sahabat lelaki muslim.
Seorang muslimah yang shalih, belum tentu akan jadi istri yang shalih pula.
Orang bijak menyikapi kelebihan dengan syukur, menyikapi kekurangan dengan sabar. Orang bijak itu “pandai mengubah kotoran yang tidak bermanfaat menjadi pupuk yang bermanfaat”. Sesuatu yang baik dari suami/istri, ajaklah dia untuk makin meningkatkannya. Sedang yang jelek darinya, bersama Anda, hilangkan dari lembar kehidupannya.
Janganlah
memikirkan orang lain. Karena boleh jadi orang lain itu dalam pandangan
Anda baik, namun ternyata ia tak baik dan tak cocok untuk menjadi suami/istri
Anda.
sumber: ceramah di Radio Malang, nama ustadnya lupa. Barokallohu, semoga bermanfaat
sumber: ceramah di Radio Malang, nama ustadnya lupa. Barokallohu, semoga bermanfaat
Ingat! Lelaki Shalih Belum Tentu Bisa Jadi Suami yang Shalih
Reviewed by Himam Miladi
on
February 04, 2019
Rating:
Panduan Taruhan Sabung Ayam S128
ReplyDeleteAgen Judi Online Sbobet
www.ayambakar.live