Pelajaran dari Kisah Cinta Zainab binti Muhammad SAW


Ilustrasi


Zainab adalah putri sulung Nabi Muhammad S.A.W dari pernikahannya dengan Khadijah ra. Sebelum diangkat sebagai rasul, suatu ketika Nabi Muhammad didatangi oleh seorang pemuda bernama Abul Ash bin Rabi’. Kepada beliau, Abul Ash berkata,
 “Saya ingin menikahi Zainab, putri sulung Anda”
Sikap Abul Ash adalah contoh kesantunan dan tatakrama. Meskipun bangsa Arab waktu itu dikenal sebagai bangsa yang barbar, tapi sopan santun dan tatakrama mereka tetap terjaga.
Nabi Muhammad saw. Lalu menjawab, “Aku tak mau melakukannya sebelum meminta izin padanya”.
Jawaban Nabi Muhammad ini sesuai dengan syariat Islam yang kelak akan diwahyukan kepadanya.
Nabi Muhammad lalu menemui Zainab dan menyampaikan lamaran Abul Ash, “Anak pamanmu mendatangiku dan menyebut-nyebut namamu. Apakah engkau rela ia menjadi suamimu?”
Zainab terdiam. Wajahnya memerah dan ia tersenyum malu pertanda setuju.
Nabi Muhammad saw. kemudian menikahkan Zainab dengan Abul Ash. Rumah tangga mereka berdua dipenuhi kebahagiaan seiring kelahiran dua putra kesayangan, Ali dan Umamah.
Hingga kemudian tibalah cobaan yang berat menimpa pasangan muda ini.
Ayahanda Zainab, yakni Muhammad bin Abdullah diangkat dan diutus menjadi Rasul Allah untuk menyebarkan agama Islam sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya.
Disebarkannya ajaran Islam pada keluarga dan sahabat-sahabatnya sendiri. Kemudian diajaknya penduduk Mekkah, kaum Quraisy untuk memeluk dan melaksanakan syariat Islam dengan penuh ketundukan dan ketakwaan. Ketika itu, menantunya, Abul Ash sedang bepergian beberapa waktu lamanya.
Saat Abul Ash datang kembali, ia mendapati istrinya Zainab sudah memeluk Islam dan mengimani risalah yang dibawa ayahnya.
Zainab berkata pada suaminya, “Aku punya sebuah berita besar untukmu”.
Abul Ash yang sudah tahu hanya terdiam, kemudian ia berdiri, lalu meninggalkan istrinya.
Zainab yang tidak puas dengan sikap diam suaminya itu mengejar, kemudian ia berkata:
“Ayahku diutus sebagai nabi dan aku telah memeluk Islam.”
Abul Ash menjawab, “Bagaimana sikapmu? Beritahu aku!”
Zainab menimpali, “Aku takkan mendustakan ayahku. Karena ia bukan pendusta. Ia adalah orang jujur dan sangat dipercaya. Bukan hanya aku yang berislam kepadanya. Ibuku dan saudara-saudaraku juga melakukannya. Ali bin Abi Thalib sepupuku juga beriman. Anak bibimu, Usman bin Affan juga memeluk Islam. Sahabatmu Abu Bakar juga menyatakan Islam”.
Abul Ash berkata, “Aku tak mau nanti orang-orang mengatakan Abul Ash menghinakan kaumnya, kafir dengan nenek moyangnya demi istrinya. Ayahmu pasti akan tertuduh. Mohon maaf. Hargailah sikapku.”

Inilah contoh sebuah dialog antar suam istri yang saling mencintai, yang jauh dari memperturutkan ego dan gengsi.
Menanggapi jawaban suaminya tersebut, Zainab tersenyum dan berkata, “Jika bukan aku, siapa lagi yang akan memaklumimu? Tapi suamiku, aku adalah istrimu. Aku ingin membantumu dalam kebaikan hingga engkau bisa memutuskannya dengan benar.”
Zainab membuktikan kata-katanya selama 20 tahun. Ia bersabar. Setia dengan cintanya. Sekaligus setia dengan akidahnya.
Sementara Abul Ash tetap berada dalam sikapnya. Hingga sampailah saat hijrah nabawi. Zainab menghadap ayahnya.
“Ya Rasulallah, mohon izin aku ingin menetap bersama suamiku.” Bukti cintanya yang sangat dalam. Dan Nabi saw mengizinkannya dengan penuh sayang.
Zainab menetap di Mekah. Saat terjadi Perang Badar, suaminya memutuskan bergabung berperang bersama pasukan Quraisy. Menarget Nabi Muhammad dan kaum muslimin.
Suaminya memerangi ayahnya.
Bermalam-malam ia menangis dan merintih, tenggelam dalam duka. Ia panjatkan doa dan bermunajat penuh kepasrahan.
“Ya Allah… aku takut jika setiap matahari terbit akan menerima kenyataan bahwa anakku menjadi yatim atau aku kehilangan ayahku…”
Abul Ash bertempur masih dengan keyakinannya. Meski ia sendiri tak benar-benar yakin akan sikapnya.
Usailah pertempuran Badar. Abul Ash tertawan. Beritanya sampai ke Mekah dan telinga Zainab.
Dengan penuh cemas ia menanyakan tentang kabar ayahnya.
“Kaum Muslimin menang” kata kabar yang sampai kepada Zainab.

Zainab bersujud pada Allah, mensyukuri karunia-Nya yang memenangkan kaum muslimin.
Namun, ia juga khawatir akan nasib suaminya. Zainab lalu bertanya tentang kabar suaminya.
Mereka menjawab, “Ia ditawan oleh mertuanya.”

Zainab gundah. Bergegas ingin menebus suaminya. Tapi ia tak punya apa-apa yang berharga selain perhiasan dari ibunya yang ia kenakan. Perhiasan yang selalu melekat di dadanya. Kalung itu kemudian dibawa saudara kandung Abul Ash menghadap Rasulullah saw.
Nabi Muhammad saw terhenyak ketika melihat kalung istrinya, Khadijah yg sangat dikenalnya.
“Tebusan untuk siapa ini?”
“Tebusan Abul Ash bin Rabi,” kata utusan itu.
Tetesan air mata mengalir dari pelupuk mata beliau, seraya berbisik pelan, ”Ini adalah kalung Khadijah.”
Sebuah ungkapan kesetiaan yang terpatri dalam hati Rasulullah. Yang tak luntur meski jasad pemiliknya sudah bertahun-tahun terpendam dalam tanah.
Beliau kemudian berdiri dan berkata pada sahabat, “Wahai manusia… Lelaki ini tidak aku cela sebagai menantu.”
Ini adalah sebuah narasi pengakuan dan sikap adil yang nyata.
“Mengapa kalian tak bebaskan ia dari tawanan? Mengapa kalian tak mengembalikan kalung tebusannya kepada Zainab?”
Para sahabat menjawab , “Labbaik, wahai Rasulullah”
Inilah bentuk sesantunan dan ketaatan tertulis dalam sejarah.
Nabi saw kemudian memberikan kalung tersebut kepada Abul Ash dan berkata, “Sampaikan kepada Zainab agar jangan mengabaikan kalung Ibunya, Khadijah.”
Nabi saw. Berkata lagi, “Wahai Abul Ash aku akan sampaikan sebuah rahasia.”
Kemudian Abul Ash mendekati Rasulullah saw.
“Sesungguhnya Allah sudah memerintahkan kepadaku untuk memisahkan antara perempuan muslimah dan orang kafir. Maka, kembalikanlah putriku kepadaku!”
Dengan penuh penghormatan Abil Ash berkata, “Siap. Aku akan melakukannya!”
Di kota Mekah, Zainab keluar rumah menuju gerbang kota hendak menyambut jantung hatinya. Dengan penuh kesaabaran ia menunggu kedatangan suaminya.
Dari kejauhan Abul Ash terlihat. Tak lama kemudian ia mendekat. Suaminya lalu membisikinya, “Aku akan pergi”
“Ke mana?” pendar mata binar Zainab kembali meredup
“Bukan aku, tapi Engkau yg pergi. Aku berjanji menyerahkanmu pada ayahmu!”
“Mengapa?”
“Untuk memisahkan aku dan dirimu. Kembalilah pada ayahmu!”
Abul Ash menepati janjinya.
“Mengapa engkau tak membersamaiku saja. Masuklah Islam” Zainab membujuk penuh harap, penuh cinta.
Namun Abul Ash tetap pada pendiriannya. Akhirnya Zainab berpasrah diri, mengalah dan meninggalkan Mekah. Meninggalkan suaminya. Menaati perintah Allah dan ayahnya. Ia hijrah ke Madinah membawa anak-anaknya.
Sejak saat itu, selama 6 tahun silih berganti para lelaki melamarnya. Namun, Zainab tak pernah berkenan menerima. Ia tetap setia menunggu cintanya yang tertinggal di Mekah. Bersama sekeping harap agar mantan suaminya datang menghadap ayahnya dan mendampinginya kembali seperti sedia kala.
Menjelang terjadinya Fathu Makkah, Abul Ash sebagaimana biasa melakukan perjalanan, berdagang ke negeri Syam.
Dalam perjalanan pulang ke Mekah ia bersama kafilah dagang Quraisy membawa 100 ekor unta dengan 170 orang. Rombongan mereka terendus oleh pasukan mata-mata umat Islam. Mereka pun akhirnya ditawan. Namun, Abul Ash berhasil kabur, lenyap dan menghilang.
Abul Ash berlindung di balik kegelapan malam yang semakin gelap serta larut. Ia mengendap-endap memasuki kota Madinah. Bersembunyi beberapa saat.
Menjelang fajar ia semakin mendekat. Rumah Zainab yang ditujunya. Inilah tsiqoh, sebuah kepercayaan.
Ketika bertemu, Zainab bertanya, “Apakah Engkau datang dalam keadaan muslim?”
Abul Ash menjawab, “Bukan. Aku berhasil kabur dari sergapan!”
“Mengapa engkau tidak masuk Islam saja”
“Tidak,” kata Abul Ash tetap kukuh dengan pendiriannya.
Abul Ash lalu meminta jaminan dan perlindungan. Dan Zainab bersedia melindungi mantan suaminya itu.
“Jangan takut, anak bibiku. Selamat datang wahai Abu Ali dan Abu Umamah”
Pagi harinya, Rasulullah saw. berdiri di mihrab, mengimami kaum muslimin Shalat Fajar berjamaah. Beliau mengucapkan takbiratul ihram, para makmum di belakang beliau juga bertakbir. Saat itu dari shaf jamaah perempuan, Zainab mengangkat suaranya. Ia berkata, “Aku Zainab binti Muhammad, telah memberi jaminan kepada Abul Ash, maka lindungilah dia.”
Ketika selesai shalat, Nabi Muhammad saw. menoleh kepada para jamaah dan bertanya, “Apakah kalian semua mendengar seperti yang aku dengar?”
Mereka menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.”
Nabi Muhammad saw bersabda, “Demi Dzat yang diriku ada dalam genggaman-Nya. Aku tidak tahu kecuali apa yang aku dengar, seperti yang kalian dengar. Sungguh orang yang paling lemah di antara kaum muslimin telah memberi perlindungan.”
Nabi Saw berdiri menyeru, “Wahai para manusia. Sungguh terhadap lelaki ini sebagai menantu saya tidaklah mencelanya. Menantuku ini telah berbicara denganku dan ia membenarkanku, ia memberi janji dan ia menunaikan janjinya terhadapku”.
Penuh khidmat dan hening para sahabat Nabi saw mendengarkannya.
“Bila kalian setuju untuk mengembalikan hartanya dan membiarkannya pulang ke negerinya, maka ini lebih aku sukai. Tetapi bila kalian menolak, maka semua urusan kuserahkan kepada kalian, keputusan ada di tangan kalian. Saya takkan memprotesnya.”
Inilah musyawarah. Beliau tidak menggunakan otoritas kepemimpinannya.
“Kami bersedia menyerahkan kembali hartanya” para sahabat menyetujui Rasulullah saw. Dan inilah adab dan kesantunan sebagai balasan keteladanan dan tawadhu pemimpin.
Lalu Nabi Saw bersabda, “Wahai Zainab, kami telah memberi perlindungan kepada orang yang engkau beri perlindungan dan jaminan.”
Lalu Rasulullah mengiringi putrinya kembali ke rumahnya, “Wahai Zainab! Hormatilah Abul Ash. Dia itu putra bibimu, dia adalah ayah dari anak-anakmu. Tetapi jangan dekati dia, itu tidak halal bagimu.”
Syariat dipraktekkan dan dipadu dengan akhlak mulia serta kasih sayang.
Zainab menganggukkan kepala, “Labbaik, wahai Rasulullah.”
Zainab kemudian menemui Abul Ash bin Rabi’ dan berkata, “Perceraian kita telah menyulitkan kita sendiri. Maukah engkau masuk Islam dan tinggal bersama kami?”
Harapan dan cinta menyatu, keluar dari bibir putri manusia termulia. Namun, Allah belum mengabulkannya.
Abul Ash lalu mengambil hartanya dan pulang menuju Mekah. Sesampai di kota Mekah ia berkata kepada penduduk Mekah, “Wahai penduduk Mekah, terimalah harta kalian. Apakah masih ada yang kurang?”
Mereka menjawab, “Semoga Allah membalas kebaikan kepadamu. Engkau telah menunaikan amanah dengan sangat baik.”
Abul Ash berkata, “Aku sungguh bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya.”
Bergegas, Ia pun pergi berhijrah menuju Madinah. Menjemput hidayahnya. Menyusun kembali kepingan cinta dan kesetiaannya.
Ketika waktu fajar, ia memasuki kota Madinah. Ia bergegas menghadap Nabi Saw.
Abul Ash berkata, “Wahai Rasulullah, kemarin Engkau memberi perlindungan kepadaku. Kini, saksikanlah aku datang dan bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya.”
Abul Ash melanjutkan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memberi izin kepadaku untuk kembali (ruju’) kepada Zainab?”
Nabi saw. memegang pundak Abul Ash dan berkata, “Mari berjalan bersamaku.”
Beliau ke rumah Zainab, mengetuk pintu dengan penuh bahagia, “Anakku, Zainab. Ini anak bibimu datang kepadaku. Dia meminta izin kepadaku untuk kembali kepadamu. Bersediakah engkau?”
Maka, nampak muka Zainab kemerahan seraya tersenyum. Malu-malu. Pertanda rela, ungkapan persetujuannya.
Seisi Madinah gegap gempita, menyambut bahagia. Merayakan pertemuan cinta dan kesetiaan. Langit cerah, seputih ketulusan cinta Zainab.
Namun, ini bukan akhir sebuah kisah…
Setahun kemudian, Zainab putri Rasulullah saw. dipanggil oleh Allah. Ajalnya telah sampai.
Isak tangis kesedihan Abul Ash terdengar. Menyayat siapa saja yang mendengarnya. Para sahabat menyaksikan Rasulullah saw mengusapnya. Turut merasakan kesedihan yang mendalam. Menerima takdir Allah dengan penuh keimanan.
Suara berat Abul Ash menyeruak, “Wahai Rasulullah aku tak mampu hidup tanpa Zainab”
Dan benar, setahun kemudian ia menyusul kekasihnya. Menghadap Allah subhânahu wa ta’âlâ.
Itulah kisah tentang cinta dan kesetiaan.
Wahai pemuda, bersyukurlah apabila Allah telah karuniakan perempuan baik untuk mendampingimu. Rawatlah cintanya. Ajaklah membangun istana cinta di dunia. Kelak Allah akan membalasmu dengan karunia cinta yang abadi, kesetiaan yang tak pernah luntur oleh masa.

Wahai para muslimah, contohlah keteguhan iman Zainab. Yang tak luntur oleh cinta. Jangan mudah terbujuk dengan rayuan hingga engkau meninggalkan nikmat iman dan islam dari Allah.

Dialih bahasakan oleh _al-faqîr ilâ ‘afwi rabbih_ *Dr. Saiful Bahri* dengan beberapa perubahan redaksi dan penambahan.
Sumber tulisan: 
1. https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=208173 atau di tautan: https://al-maktaba.org/book/31615/34748 
2. Beberapa redaksi diambil dari At-Tarikh al-Islamiy karya Mahmud Syakir, Siyar a’lâm an-Nubalâ karya Imam al-Hafizh Syamsuddin adz-Dzahabiy. 
3. Hadis jaminan Zainab kepada Abul Ash juga diriwayatkan oleh ath-Thabraniy, al-Hakim dan al-Baihaqi dari riwayat Ummu Salamah ra.



Pelajaran dari Kisah Cinta Zainab binti Muhammad SAW Pelajaran dari Kisah Cinta Zainab binti Muhammad SAW Reviewed by Himam Miladi on January 25, 2019 Rating: 5

1 comment:

  1. numpang share ya min ^^
    Hayyy guys...
    sedang bosan di rumah tanpa ada yang bisa di kerjakan
    dari pada bosan hanya duduk sambil nonton tv sebaiknya segera bergabung dengan kami
    di DEWAPK agen terpercaya di add ya pin bb kami D87604A1 di tunggu lo ^_^

    ReplyDelete

Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini

Powered by Blogger.