Berita itu sampai juga ke telinga Ali.
Tentang gadis yang sungguh mempesonakannya. Baik
kesantunannya, ibadahnya, dan sudah tentu paras wajahnya. Benar-benar gadis yang
sungguh mengagumkan lelaki manapun di kota Mekkah.
Puteri kesayangan sepupunya itu dilamar oleh sahabat yang
paling akrab dengan Rasulullah. Lelaki yang berjuang dengan seluruh harta dan
jiwanya. Lelaki yang menginfakkan seluruh hartanya pada Perang Badar. Lelaki
yang pada hari pertamanya sebagai seorang muslim berhasil menarik 6 orang
sahabatnya untuk bersyahadah! Adakah iman dan akhlaqnya diragukan? Tentu tidak!
Ali sadar diri. Dari sisi ekonomi, Abu Bakar r.a saudagar
kaya, sementara dirinya hanya pemuda miskin dari keluarga miskin pula.
“Inilah persaudaraan dan cinta,” gumam Ali. “Aku
mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fatimah atas
cintaku.” Ali ikhlas seandainya pilihan putri sepupunya itu jatuh pada sosok
Abu Bakar.
Namun takdir Allah terus mengatasi segalanya. Lamaran Abu
Bakar ditolak sehingga Ali bisa terus menjaga api harapan tetap hangat menyala.
Sayangnya, ujian belum berakhir. Datang pula seorang sahabat
melamar Fatimah selepas Abu Bakar. Lelaki yang gagah dan perkasa, yang mendapat
hidayah selepas didoakan oleh Rasulullah. Lelaki yang dijuluki Al Faruq,
pembeda antara yang hak dan yang batil, Umar bin Khattab.
Ali kembali sadar diri. Umar adalah pembela agama Allah dan
Rasulullah yang gagah berani. Umar juga lebih bersedia daripadanya.
Sehingga bila dinilai dari semua segi dalam pandangan orang
ramai, Ali hanyalah pemuda yang belum bersedia untuk menikah. Umar jauh lebih
layak, maka Ali pun rela meniup api harapan terhadap Fatimah.
Namun, Allah ternyata punya rencana lain. Lamaran Umar
ditolak. Ali menjadi bingung sendiri, menantu seperti apa yang diidamkan
Rasulullah?
“Mengapa engkau tak mencobanya?”
Pertanyaan sahabat-sahabat Anshor itu membangunkan Ali dari
lamunannya.
“Aku?” tanya Ali tak percaya diri.
“Ya, engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Sandarkan semuanya pada Allah. Kami di belakangmu, kawan!
Semoga Allah menolongmu!”
Mendapat dukungan dan semangat dari sahabat-sahabatnya, Ali
memberanikan diri menghadap sepupunya yang mulia, Rasulullah SAW. Di hadapan beliau
Ali mengutarakan maksudnya untuk menikahi Fatimah, putri kesayangan Rasulullah.
Ya, menikahi. Meskipun Ali sendiri maklum, secara ekonomi
dia tidak bisa menjanjikan apa-apa. Di
rumahnya, hanya ada satu set baju besi serta persediaan tepung kasar untuk
makanannya.
Seandainya dia melamar lalu kemudian meminta waktu dua atau tiga
tahun lagi untuk menikah, itu sangat memalukan, meruntuhkan harga dirinya
sebagai pemuda Quraisy. Meminta Fatimah menanti hingga ia siap diri? Itu malah
sangat kekanak-kanakan.
Harga diri Ali menuntutnya untuk bersedia bertanggungjawab
atas rasa cintanya. Ali yakin, Allah Maha Kaya.
Begitulah, Ali pun menunggu jawaban Rasulullah.
“Ahlan wa sahlan,” kata Rasulullah sambil tersenyum, memecah
kekakuan sikap Ali.
Jawaban Rasulullah membuat Ali bertambah bingung. Apakah
maksudnya? Ucapan Ahlan wa sahlan, atau selamat datang, sukar ditafsirkan
sebagai satu penerimaan atau penolakan.
Hati Ali kembali diderap keraguan. Ali berusaha mencari arti
dari jawaban yang ia terima.
“Bagaimana jawaban Nabi, kawan? Bagaimana lamaranmu?” tanya
sahabat-sahabatnya
“Entahlah…” jawab Ali ragu.
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian, apakah ‘Ahlan Wasahlan’ itu sebuah jawaban?”
Serentak wajah para sahabatnya tersenyum cerah, secerah
matahari pagi yang terbit di langit biru.
“Ali, begitu tegangnya dirimu sampai tidak menangkap isyarat
Rasulullah. Satu saja sudah mencukupi dan kau malah mendapat dua!” kata salah
seorang sahabatnya.
“Maksudnya bagaimana?”
“Ahlan saja sudah berarti ‘Ya’. Sahlan juga artinya sama. Sementara
dirimu mendapatkan ‘Ahlan Wasahlan’. Dua-duanya berarti ‘Ya’!”
Maka di usianya yang baru 18 tahun, Ali menikahi Fatimah.
Dengan menggadaikan baju besi satu-satunya. Dengan rumah yang semula ingin
disumbangkan oleh kawan-kawannya, tapi Rasulullah berkeras agar ia membayar
cicilannya.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu
Bakar, Umar, dan Fatimah. Dengan keberanian untuk menikah. Waktu itu juga.
Bukan janji-janji, bukan nanti-nanti.
Ali tidak pergi menemui Fatimah hanya untuk menyatakan, “Aku
cinta padamu, maukah kamu menungguku?”
Ali adalah lelaki dengan harga diri. Ia temui orangtua sekaligus
wali Fatimah, sepupunya sendiri, manusia mulia Rasulullah SAW. Di hadapan
beliau, Ali menyatakan perasaannya, menyatakan keinginannya, menyatakan
kesanggupannya untuk menikahi Fatimah.
Itulah Ali bin Abi Thalib, laki-laki sejati. Tidak heran
apabila pemuda Arab meneriakkan namanya, “La Fatan Illa Alliyan!” Tiada pemuda selain
Ali!
Seindah Kisah Cinta Ali
Reviewed by Himam Miladi
on
January 22, 2020
Rating:

No comments:
Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini