Seindah Kisah Cinta Ali


seindah kisah cinta Ali


Berita itu sampai juga ke telinga Ali.
Tentang gadis yang sungguh mempesonakannya. Baik kesantunannya, ibadahnya, dan sudah tentu paras wajahnya. Benar-benar gadis yang sungguh mengagumkan lelaki manapun di kota Mekkah.

Puteri kesayangan sepupunya itu dilamar oleh sahabat yang paling akrab dengan Rasulullah. Lelaki yang berjuang dengan seluruh harta dan jiwanya. Lelaki yang menginfakkan seluruh hartanya pada Perang Badar. Lelaki yang pada hari pertamanya sebagai seorang muslim berhasil menarik 6 orang sahabatnya untuk bersyahadah! Adakah iman dan akhlaqnya diragukan? Tentu tidak!

Ali sadar diri. Dari sisi ekonomi, Abu Bakar r.a saudagar kaya, sementara dirinya hanya pemuda miskin dari keluarga miskin pula.

“Inilah persaudaraan dan cinta,” gumam Ali. “Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fatimah atas cintaku.” Ali ikhlas seandainya pilihan putri sepupunya itu jatuh pada sosok Abu Bakar.

Namun takdir Allah terus mengatasi segalanya. Lamaran Abu Bakar ditolak sehingga Ali bisa terus menjaga api harapan tetap hangat menyala.  

Sayangnya, ujian belum berakhir. Datang pula seorang sahabat melamar Fatimah selepas Abu Bakar. Lelaki yang gagah dan perkasa, yang mendapat hidayah selepas didoakan oleh Rasulullah.  Lelaki yang dijuluki Al Faruq, pembeda antara yang hak dan yang batil, Umar bin Khattab.

Ali kembali sadar diri. Umar adalah pembela agama Allah dan Rasulullah yang gagah berani. Umar juga lebih bersedia daripadanya.
Sehingga bila dinilai dari semua segi dalam pandangan orang ramai, Ali hanyalah pemuda yang belum bersedia untuk menikah. Umar jauh lebih layak, maka Ali pun rela meniup api harapan terhadap Fatimah.

Namun, Allah ternyata punya rencana lain. Lamaran Umar ditolak. Ali menjadi bingung sendiri, menantu seperti apa yang diidamkan Rasulullah?

“Mengapa engkau tak mencobanya?”
Pertanyaan sahabat-sahabat Anshor itu membangunkan Ali dari lamunannya.

“Aku?” tanya Ali tak percaya diri.
“Ya, engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Sandarkan semuanya pada Allah. Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

Mendapat dukungan dan semangat dari sahabat-sahabatnya, Ali memberanikan diri menghadap sepupunya yang mulia, Rasulullah SAW. Di hadapan beliau Ali mengutarakan maksudnya untuk menikahi Fatimah, putri kesayangan Rasulullah.

Ya, menikahi. Meskipun Ali sendiri maklum, secara ekonomi dia tidak bisa menjanjikan apa-apa.  Di rumahnya, hanya ada satu set baju besi serta persediaan tepung kasar untuk makanannya.

Seandainya dia melamar  lalu kemudian meminta waktu dua atau tiga tahun lagi untuk menikah, itu sangat memalukan, meruntuhkan harga dirinya sebagai pemuda Quraisy. Meminta Fatimah menanti hingga ia siap diri? Itu malah sangat kekanak-kanakan.

Harga diri Ali menuntutnya untuk bersedia bertanggungjawab atas rasa cintanya. Ali yakin, Allah Maha Kaya.

Begitulah, Ali pun menunggu jawaban Rasulullah.
“Ahlan wa sahlan,” kata Rasulullah sambil tersenyum, memecah kekakuan sikap Ali.

Jawaban Rasulullah membuat Ali bertambah bingung. Apakah maksudnya? Ucapan Ahlan wa sahlan, atau selamat datang, sukar ditafsirkan sebagai satu penerimaan atau penolakan.
Hati Ali kembali diderap keraguan. Ali berusaha mencari arti dari jawaban yang ia terima.

“Bagaimana jawaban Nabi, kawan? Bagaimana lamaranmu?” tanya sahabat-sahabatnya
“Entahlah…” jawab Ali ragu.
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian, apakah ‘Ahlan Wasahlan’ itu sebuah jawaban?”

Serentak wajah para sahabatnya tersenyum cerah, secerah matahari pagi yang terbit di langit biru.
“Ali, begitu tegangnya dirimu sampai tidak menangkap isyarat Rasulullah. Satu saja sudah mencukupi dan kau malah mendapat dua!” kata salah seorang sahabatnya.

“Maksudnya bagaimana?”
“Ahlan saja sudah berarti ‘Ya’. Sahlan juga artinya sama. Sementara dirimu mendapatkan ‘Ahlan Wasahlan’. Dua-duanya berarti ‘Ya’!”

Maka di usianya yang baru 18 tahun, Ali menikahi Fatimah. Dengan menggadaikan baju besi satu-satunya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan oleh kawan-kawannya, tapi Rasulullah berkeras agar ia membayar cicilannya.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar, dan Fatimah. Dengan keberanian untuk menikah. Waktu itu juga. Bukan janji-janji, bukan nanti-nanti.

Ali tidak pergi menemui Fatimah hanya untuk menyatakan, “Aku cinta padamu, maukah kamu menungguku?”

Ali adalah lelaki dengan harga diri. Ia temui orangtua sekaligus wali Fatimah, sepupunya sendiri, manusia mulia Rasulullah SAW. Di hadapan beliau, Ali menyatakan perasaannya, menyatakan keinginannya, menyatakan kesanggupannya untuk menikahi Fatimah.

Itulah Ali bin Abi Thalib, laki-laki sejati. Tidak heran apabila pemuda Arab meneriakkan namanya,  “La Fatan Illa Alliyan!” Tiada pemuda selain Ali!







Seindah Kisah Cinta Ali Seindah Kisah Cinta Ali Reviewed by Himam Miladi on January 22, 2020 Rating: 5

No comments:

Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini

Powered by Blogger.