Dalam Islam, poligami itu
diperbolehkan, titik. Ada dasar hukum agamanya, ada dalilnya, titik. Bagi yang
tidak berkepentingan, tak perlu kiranya ikut serta memperdebatkannya.
Getty Images/time.com |
Lalu mengapa hingga sekarang masih
banyak yang mempermasalahkan poligami?
Saya melihat ada semacam pembelokan
opini, bahwa praktik poligami itu dianggap tidak adil. Setidaknya ada dua
ketidakadilan menurut mereka yang kontra poligami.
Pertama, letak ketidakadilan itu
menurut beberapa pria karena akan mengurangi kesempatan mereka untuk
mendapatkan cinta seorang wanita. Setiap pria harusnya diberi kesempatan yang
adil untuk menemukan seorang istri. Inilah yang dinamakan ketidakadilan
distributif.
Argumen keadilan distributif
didasarkan pada gagasan bahwa banyak wanita akan memilih untuk menjadi istri
pria kaya kedua, ketiga, dan keempat. Dengan begitu, kesempatan bagi pria yang berpenghasilan
menengah ke bawah akan semakin kecil, bahkan bisa jadi mereka akan dibiarkan
tanpa akses menuju jenjang pernikahan.
Alasan kedua datangnya dari para
wanita. Menurut pihak perempuan yang tidak mau dimadu, praktik poligami
mengurangi hak mereka untuk mendapatkan cinta suami seutuhnya. Inilah yang
dinamakan ketidakadilan cinta.
Padahal, Islam justru menjunjung
tinggi keadilan dalam praktik poligami. Islam mensyaratkan dengan ketat, bahwa
hanya pria “yang mampu berlaku adil” saja yang diperbolehkan, atau
dipersilahkan untuk poligami.
Masalahnya, “keadilan” dalam poligami itu seringkali
dilihat berdasarkan logika matematika.
Misalnya, wanita menganggap poligami
itu tidak adil karena mengurangi “hak cinta” mereka. Menurut logika matematika perempuan
yang kontra poligami, jika seorang pria memiliki dua istri atau lebih, cinta, perhatian
dan kasih sayangnya tentu akan terbagi pula.
Seandainya cinta suami itu 100%, bila
ia punya dua istri tentu cintanya akan terbelah, masing-masing istri hanya
kebagian cinta 50%. Karena itulah muncul istilah penolakan, “tidak mau diduakan
cintanya”. Pinginnya, seorang istri itu memiliki cinta suami sepenuhnya, murni
100% kadar cintanya.
Bagaimana dengan yang pro poligami?
Sama saja, mereka juga melihat
“keadilan” itu berdasarkan logika matematika. Bagi pria yang poligami, jika
istri pertama diberi uang belanja 5 juta, istri kedua juga harus diberi uang
belanja yang sama besarnya.
Jika istri pertama memperoleh jatah nafkah
batin dua hari, maka istri kedua juga harus dikunjungi dua hari pula. Inilah
makna “adil” versi logika matematika yang dianut banyak pria muslim pro
poligami.
Sayangnya, “adil” dalam berpoligami
tidak menganut logika matematika. Syarat berlaku adil bagi pria yang ingin
berpoligami ini menganut logika cinta.
Seorang pria bisa saja berlaku adil
secara fisik. Memberi nafkah lahir atau nafkah batin sama besarnya. Tapi
bagaimana dengan cintanya? Bagaimana dengan perhatian dan kasih sayangnya?
Nah, sekarang waktunya “keadilan”
versi logika cinta yang berbicara.
Kadar sebuah cinta itu tidak dapat
dibagi habis. Misalnya satu keluarga terdiri dari suami, istri dan satu anak.
Jika menuruti logika matematika, cinta suami yang kadarnya 100 persen tentu
akan dibagi dua: istri 50%, anak juga 50%. Sama seperti logika wanita yang “tidak
mau diduakan cintanya” tadi.
Logika cinta tidak seperti itu. Sang
suami mencintai istrinya 100 persen, demikian pula rasa cintanya pada sang
anak, sama 100 persen. Seandainya ada orang tuanya yang tinggal bersama, kadar
cinta suami pada ayah atau ibunya juga harus 100 persen.
Jadi, kalau dalam satu keluarga ada
suami, istri, satu anak dan dua orang tua, masing-masing memperoleh kadar cinta
yang sama besarnya, 100 persen. Bukan 100 habis dibagi 4, atau untuk istri,
anak dan kedua orang tua masing-masing kebagian seperempat rasa cintanya suami.
Logika cinta inilah yang harus
dipraktekkan dalam poligami. Bagi pria yang ingin menikah lagi, baik istri
pertama maupun kedua harus tetap memperoleh rasa cinta yang sama besarnya, 100
persen.
Pertanyaannya, mampukah seorang pria
berbuat adil seperti itu? Mampukah ia membagi cinta, kasih sayang dan perhatian
sama besarnya kepada setiap istrinya?
Rasanya kok hampir mustahil bagi pria
kebanyakan. Yang sering terjadi, seorang pria tentu memiliki rasa cinta yang
lebih besar kepada istri barunya. Seorang pria tentu akan lebih memperhatikan
istrinya yang lebih muda dan lebih cantik. Benar kan?
Seandainya para pria menyadari syarat
yang berat ini, tentu mereka akan berpikir dua kali bila ingin poligami.
Masalahnya, para pria sering meremehkan syarat poligami ini. Mereka menerapkan
asas “keadilan” yang disyaratkan Islam dalam poligami dengan logika matematika,
bukan berdasarkan logika cinta.
Poligami itu Memakai Logika Cinta, Bukan Logika Matematika
Reviewed by Himam Miladi
on
February 15, 2020
Rating:
No comments:
Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini