Ilmu penglaris yang saya ajarkan nanti sama sekali tidak melanggar aturan agama (foto: Tribuntravel/Ekayana) |
Sudah sebulan usaha warung kopi yang kujalani sepi terus. Sehari, paling banter hanya ada 5 orang yang datang. Sudah begitu, yang sudah datang tak pernah kembali. Seperti sore ini, baru ada 3 orang yang datang ke warung kopiku.
Aku jadi berpikir, apa yang kurang
dari warung kopiku. Lokasinya bagus, di tepi jalan raya provinsi. Tempatnya
juga lumayan, meski tidak mewah seperti kafe-kafe berkelas di tengah kota.
Menu kopinya bermacam-macam pula.
Kalau warung kopi lain biasanya hanya menyajikan kopi robusta, warung kopiku
lengkap. Selain robusta, ada arabika dan kopi yang aromanya menyengat seperti
nangka. Semua kopi itu aku peroleh dari petaninya langsung, di desa di lereng
gunung Kawi.
Selain minuman kopi, kusediakan juga
beberapa makanan ringan dan cemilan buatan istriku. Ada tahu brontak, weci,
sampai ceker pedas.Tapi, ini semua belum mampu membuat warung kopiku laris
manis.
“Kopinya satu, Mas.”
Seorang laki-laki berusia sekitar 40
tahunan ternyata sudah duduk di depan meja panjang tempat aku meladeni pembeli.
Pakaiannya rapi. Rambutnya disisir klimis.
“Kopinya satu, Mas,” ulang laki-laki
itu dengan tersenyum, sementara tangannya mengambil ceker pedas di piring.
“Oh iya, Pak. Maaf, saya tadi
melamun. Jadi tidak tahu kalau bapak sudah duduk. Bapak mau kopi apa?”
“Mas punya kopi apa saja?”
“Ini ada arabika, robusta, sama yang
beraroma nangka, Pak,” jawabku sambil menunjuk toples-toples bubuk kopi.
“Rasanya beda-beda to, Mas?”
“Ya beda, Pak. Kalau arabika itu
rasanya agak asam, seperti buah muda yang kecut. Kalau robusta rasanya agak
seperti coklat. Kalau kopi nangka, aromanya saja yang seperti buah nangka. Rasanya
hampir sama dengan arabika, cuma lebih eneg,” kataku menjelaskan.
“Coba yang arabika saja, Mas.”
“Seduhnya ditubruk atau disaring?”
Laki-laki itu sejenak berhenti makan
ceker, lalu menoleh dan tersenyum.
“Wah, kalau Mas banyak tanya seperti
ini, bisa-bisa pembelinya gak sabar dan malah gak jadi beli lho?”
“Ya memang harus seperti ini, Pak.
Kecuali kalau pembelinya sudah langganan dan tahu apa yang ingin dipesannya.
Nah, kalau Bapak ini kan belum pernah ke sini, jadi saya harus tanya-tanya
dulu,” jawabku.
“Oh begitu? Ya sudah, kopinya
ditubruk saja.”
Sementara aku menyiapkan kopi
pesanannya, laki-laki itu bertanya,
“Cekernya buatan sendiri, Mas?”
“Istri saya yang buat, Pak.”
“Enak, Mas. Pedasnya mantap, bumbunya
pas,” kata lak-laki itu memuji.
“Terima kasih, Pak,” kataku, lalu
mengangsurkan kopi yang sudah selesai kuseduh.
Laki-laki itu menghirup uap kopi,
kemudian menuangkan kopinya ke lepek, sedikit demi sedikit. Ditiupnya sebentar,
lalu diseruputnya hingga menyisakan ampas kopi.
“Nikmat kopinya. Gak terlalu manis,
juga gak terlalu pahit. Masamnya terasa di lidah. Wah, kalau orang-orang pada
ngerti kopi seduhanmu enak, ceker pedasmu mantap, warung kopimu bisa ramai lho,
Mas.”
“Pinginnya sih begitu, Pak. Tapi,
namanya juga rejeki tiap orang berbeda. Mungkin hanya Bapak saja yang
menganggap kopi dan ceker pedas saya enak. Tapi yang lain kan belum tentu.
Buktinya warung kopi saya masih sepi, kalah sama warung kopi di ujung pasar
sana,” kataku sambil tersenyum masam.
“Memang, rejeki tiap orang berbeda.
Tapi, pintu rejeki itu bisa kita buka lebar kalau kita mau berusaha lebih.”
“Maksudnya...pakai pesugihan gitu?”
tanyaku mencoba menebak.
“Ha ha ha ha. Ya enggak lah, Mas,”
jawab laki-laki itu.
“Kalau Bapak menyuruh saya pakai
pesugihan, saya gak mau, Pak. Saya gak mau ada keluarga yang jadi tumbal
pesugihan,” kataku serius.
“Lho, siapa yang nyuruh Mas, eh maaf
namanya siapa?”
“Ali, Pak.”
“Mas Ali, saya tidak menyuruh Mas Ali
pakai pesugihan. Yang saya maksud itu, kopi dan ceker buatan Mas Ali bisa jadi
jalan untuk membuka pintu rejeki lebih lebar lagi. Kopi dan ceker pedas Mas Ali
bisa jadi penglaris. Kalau Mas Ali mau, nanti bisa saya ajarkan.”
“Ya kan sama saja, Pak. Penglaris itu
ya pesugihan. Seperti warung makanan punya teman saya. Kata orang-orang,
warungnya laris karena pakai pesugihan.”
Laki-laki itu menuangkan kopinya ke
lepek. Setelah meminumnya, baru kemudian ia menjelaskan.
“Penglaris dengan pesugihan itu beda Mas Ali, meski keduanya bertujuan untuk mendapatkan kekayaan. Kalau pesugihan, tanpa bekerja atau berusaha apapun orang yang memilikinya bisa mendapatkan kekayaan. Sebagai imbal balik, dia harus menyiapkan tumbal, entah itu dirinya sendiri atau dari keluarganya.
Sementara penglaris, itu ilmu khusus agar dagangan kita laris, banyak yang membeli. Dan, tidak membutuhkan tumbal. Hanya amalan atau lelaku tertentu saja.
Melihat gaya bicaranya, aku sedikit
curiga laki-laki itu “orang pintar”. Tapi, biasanya “orang pintar”
penampilannya nyentrik. Sedangkan laki-laki ini penampilannya mirip orang
kantoran.
“Ilmu penglaris dari Bapak ini, apa
tidak dilarang agama?” tanyaku mulai tertarik, namun masih ragu-ragu.
“Oh enggak. Mas Ali jangan khawatir. Ilmu
penglaris yang saya ajarkan nanti sama sekali tidak melanggar aturan agama.
Beda dengan pesugihan yang digolongkan perbuatan syirik, menyekutukan Tuhan
karena kita meminta sesuatu bukan kepada-Nya. Dan perbuatan semacam ini dosanya
tidak terampuni.”
“Terus, saya nanti harus bayar berapa
ke Bapak?”
“Ha ha ha ha ha!” Laki-laki itu malah
tertawa keras. “Mas Ali gak usah bayar. Asalkan Mas Ali sanggup petunjuk yang
saya berikan. Bagaimana?”
“Ya, Pak. Saya sanggup. Yang penting
warung kopi saya laris, dan seperti yang Bapak katakan tadi, tidak memakai
tumbal pesugihan,” kataku dengan penuh keyakinan.
“Ok. Nah, syarat pertama, besok Mas
Ali bikin papan nama. Gak perlu yang besar, cukup ukuran tinggi 1,5 meter kali
1 meter dengan dua sisi. Buat aja dari triplek dengan penyangga kayu biasa.
Kemudian cat putih, dan beri tulisan “Kopi dan Ceker Penglaris” warna merah di
kedua sisinya.. Setelah jadi, letakkan di depan warung kopi ini, sejajar dengan
jalan raya biar bisa dilihat orang yang datang dari dua arah.”
Kemudian, selama Mas Ali berjualan,
pakaiannya harus rapi. Boleh pakai kaos oblong, asal jangan awut-awutan seperti
orang baru bangun tidur. Rambut disisir rapi. Dan jangan lupa pakai parfum atau
deodorant. Lusa, saya akan datang lagi buat melihat apakah Mas Ali mematuhi
syarat saya atau tidak.”
Aku menyimak penjelasan syarat ilmu
penglaris itu dengan seksama. Esoknya, warung kopi kututup sementara karena aku
sibuk membuat papan nama di rumah. Kuminta istriku menyeterika kaos, dan dengan
diam-diam kupakai deodorant-nya.
***
Ketika warung kopi kubuka lagi dengan
papan nama baru di depan, efeknya langsung terasa. Hingga siang hari, sudah ada
10 pembeli yang datang. Sore harinya, laki-laki itu datang diikuti dua orang
yang seumuran di belakangnya. Mungkin temannya, pikirku.
Kali ini, laki-laki itu tidak banyak
bicara. Dia terlihat menikmati ceker pedas, lalu menawarkannya ke dua orang
temannya yang langsung disambut dengan antusias. Sebaliknya, dua orang temannya
itu banyak bertanya-tanya seputar kopi yang kujual. Dengan sabar, aku
menjelaskan sebatas apa yang kutahu.
Ketika hendak pulang dan kedua
temannya agak menjauh, laki-laki itu mendekatiku.
“Bagus, Mas. Syarat pertama sudah
terpenuhi. Sekarang syarat keduanya, besok saya ingin melihat warung kopi ini
bersih. Lantainya disapu, jangan sampai ada sampah berserakan. Kalau ada
pembeli yang merokok, sediakan asbak, dasarnya dilapisi kertas tisu yang dibasahi
agar abu rokoknya tidak beterbangan.
Piring, lepek dan gelas harus dilap
bersih. Begitu pula dengan toples wadah kopinya. Untuk makanan atau jajanan
ditutup dengan tudung saji. Kalau tidak ada cukup pakai kain serbet yang
bersih. Biar gak dikerubungi lalat dan serangga lain.”
Karena sudah membuktikan sendiri,
esoknya aku bersemangat membersihkan warung kopi. Peralatan dan makanan yang
kujual kutata rapi, tidak semrawut lagi.
Baru saja warungnya kubuka, sudah ada
5 pembeli yang datang. Menjelang sore, warung kopiku semakin ramai. Beberapa
orang yang kukenali sudah pernah datang membeli kusapa dengan ramah.
Usai maghrib, laki-laki itu datang,
kali ini sendirian. Saat aku hendak menyiapkan kopinya, laki-laki itu menggelengkan
kepala sambil tersenyum.
“Gak usah, Mas. Saya kesini cuma
mampir sebentar,” katanya lalu mengambil tempat duduk.
“Bagaimana, Mas? Sudah mulai ramai
to?”
“Alhamdulillah, Pak. Baru dua syarat
saja warung kopi saya sudah ramai. Apalagi kalau nanti ilmu penglarisnya bapak
turunkan ke saya,” jawabku sumringah.
“Ha ha ha ha ha. Mas, ilmu
penglarisnya itu sudah saya turunkan ke sampeyan,” katanya sambil tertawa.
“Lho, masa sih, Pak? Kapan? Saya kok
enggak pernah merasa menerima?”
“Ilmu penglarisnya itu ya syarat yang
saya minta dipenuhi Mas Ali. Begini lho Mas, orang jualan itu harus bersih dan
rapi. Bersih tempatnya, rapi penjualnya.
Semua itu sarana agar pembeli tidak jijik dan tempat jualannya terlihat menyenangkan. Kalau yang jualan asal-asalan, tempatnya kotor, penampilannya kusut dan lecek, yang pingin mampir pasti jadi malas. Kalau sudah terlanjur belok, pasti dia kapok dan tidak bakal datang lagi.”
Mendengar penjelasannya, aku hanya
bisa melongo. Laki-laki itu tertawa lagi.
“He he he. Satu lagi syarat
penglarisnya, Mas. Kalau jualan itu juga harus punya akhlak. Orang jualan itu bukan
hanya tentang untung rugi, laku banyak atau sedikit. Jualan itu tentang mental
yang membutuhkan akhlak.
Coba bayangkan Mas Ali jadi pembeli.
Suka enggak sama penjual yang ketus, sombong dan melayani pembeli dengan
marah-marah? Gak suka, kan?
Sebagus apapun dagangan kita, semurah apapun barang yang kita jual, kalau akhlak kita saat berjualan tidak baik, tak akan ada orang yang mau membeli.
Saya lihat Mas Ali sudah menerapkan
syarat penglaris yang terakhir ini. Mas Ali melayani pembeli dengan baik. Ada
yang hanya bertanya-tanya masalah kopi, Mas Ali menjawabnya dengan sabar. Ada
orang yang datang kembali, Mas Ali menyapanya dengan ramah seperti teman lama.
Kalau Mas Ali bisa mempertahankan
sikap ini selama berjualan, insyaallah rejeki Mas Ali dari warung kopi ini bisa
mengalir dengan lancar. Inilah rahasia ilmu penglaris itu, yakni dengan mengetuk
pintu Sang Pemberi Rejeki melalui akhlak berjualan yang terpuji.”
No comments:
Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini