sumber gambar: muslimahblogger.com |
Ketika Nabi Ibrahim a.s selesai membangun Ka’bah, beliau langsung
mendapat perintah dari Allah untuk memberitahukan kewajiban ibadah Haji kepada
manusia.
“Kumandangkanlah panggilan kepada manusia untuk melaksanakan haji,”
demikian perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s.
“Bagaimana hamba menyerukannya? Suara hamba tidak akan dapat
terdengar oleh mereka, Ya Allah,” kata Nabi Ibrahim.
“Yang penting serukan panggilan itu, Aku yang akan
memperdengarkannya,” kata Allah mempertegas perintahNya.
Demikian dialog antara Allah dengan Nabi Ibrahim tentang perintah
melaksanakan haji, sebagaimana penafsiran para ulama tafsir terhadap surah Al Hajj
ayat 27.
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.”
Mahabenar Allah, semenjak Nabi Ibrahim menyerukan panggilan untuk
melaksanakan haji, tidak seorang manusia (muslim) pun yang tidak pernah
mendengar adanya panggilan itu. Seperti halnya kumandang adzan yang merupakan
panggilan untuk melaksanakan shalat, tidak seorang muslim pun yang tidak
mengetahui adanya kewajiban ibadah haji.
Beraneka ragam sikap yang ditunjukkan umat Islam dalam menanggapi
panggilan haji. Ada yang ingin memenuhi, mampu dan kemudian melaksanakannya.
Ada yang ingin dan mampu, tapi ada halangan sehingga keinginannya belum
tercapai.
Tak sedikit pula yang mampu, kesempatannya terbentang luas, tapi
hatinya tidak tergerak. Langkahnya justru semakin menjauh. Sebaliknya, ada yang
ingin memenuhi panggilan Allah tersebut, tapi apa daya tangan dan kaki mereka
tak sampai.
Terhadap hamba yang ingin memenuhi, tapi belum mampu pergi
melaksanakannya, Allah memberi permakluman.
"Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam" (QS. Ali Imran: 97).
Tapi bagaimana dengan hamba yang mampu dan tidak ada halangan
sesuatu apapun, namun tidak tergerak hatinya untuk memenuhi panggilan Allah
dengan alasan “Saya belum mendapat panggilan”?
Menurut pendapat Quraish Shihab, golongan umat Islam yang demikian
ini dikhawatirkan mendapat murka ganda dari Allah: pertama karena keengganannya
memenuhi panggilan, dan kedua karena dalihnya mengingkari panggilan itu sampai
kepadanya. Bukankah Allah sendiri yang memperdengarkan panggilan haji melalui
perantara seruan Nabi Ibrahim?
Karena itu, umat Islam yang melaksanakan ibadah haji memperoleh
kedudukan istimewa. Jamaah haji adalah tamu-tamu Allah, yang memperkenankan panggilan
Allah dengan segala kemampuan yang sudah dianugerahkan pada mereka.
Secara khusus, kepada hambaNya yang hendak bertamu ini Allah memberi pesan, “Datanglah dengan membawa bekal,” (QS. Al Baqarah: 197). Bekal inilah yang kelak akan menentukan seperti apa “layanan Tuan rumah” kepada para tamunya.
Sayangnya, banyak diantara tamu itu datang dengan membawa bekal
yang tidak diharapkan oleh Tuan rumah. Banyak diantara jamaah haji justru
membawa bekal duniawi.
Mereka berkunjung ke rumah Allah dan memperkenankan panggilanNya
dengan membawa ratusan bungkus rokok. Mereka bertamu dengan membawa uang saku
berlebihan supaya bisa membeli oleh-oleh yang banyak. Banyak juga yang datang
dengan maksud ingin meningkatkan gengsi sosial, supaya para tetangga memanggil
mereka dengan label Pak Haji dan Bu Hajjah. Dan bisa jadi pula ada yang
memperkenankan panggilan Allah ini hanya karena ingin menikmati wisata
spiritual ke tanah suci semata.
Bila bekal seperti ini yang dibawa jamaah haji, maka yang lahir
dari produk haji hanyalah label haji semata. Menurut seorang kyai di kampung
saya, bukan haji mabrur yang akan mereka dapatkan, melainkan haji “mabur”
(terbang).
“Bekal yang terbaik adalah takwa” (QS. Al Baqarah: 197), inilah pesan Allah menjelaskan jenis bekal yang harus dibawa para Tamu-Nya.
Takwa yang sering didefinisikan “mematuhi perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya” hakekatnya adalah nama bagi kumpulan simpul-simpul keagamaan yang
mencakup antara lain pengetahuan, ketabahan, keikhlasan, kesadaran akan jati
diri serta persamaan manusia dan kelemahannya di hadapan Allah SWT.
Bekal inilah yang kemudian direpresentasikan dalam bacaan berupa
kalimat talbiyah, “Labbaikalla humma, labbaik (Baik, hamba penuhi panggilan-Mu,
ya Allah).” Mereka datang ke Rumah Allah karena lillah, yakni bertujuan
memenuhi panggilan-Nya dengan membawa bekal terbaik sebagaimana yang dipesankan
oleh Allah, yakni takwa.
Dengan bekal takwa, para Tamu Allah akan bisa menanggalkan
atribut-atribut duniawi yang selalu mereka pakai dan kerap mereka banggakan
bersamaan saat mereka mengenakan pakaian ihram. Dengan bekal takwa akan tampak
bekas makna simbol-simbol amalan yang sudah mereka lakukan di Tanah Suci.
Makna yang terwujud dalam bentuk sikap dan tingkah laku mereka
sehari-hari usai mereka kembali dari bertamu ke Rumah Allah. Makna yang
terlihat dari peningkatan kualitas akhlak dan moralitasnya tidak hanya pada
saat berhaji tapi juga ketika pulang setelah berhaji.
Untuk para tamu yang datang dengan membawa bekal takwa ini, Allah
akan menyambut mereka dengan ganjaran berlipat yang sangat istimewa.
“Haji yang mabrur tidak ada ganjarannya kecuali surga,” demikian janji Rasulullah SAW.
Wahai Tamu Allah, Bawalah Bekal Terbaik Saat Memenuhi Panggilan-Nya
Reviewed by Himam Miladi
on
July 15, 2019
Rating: