Allah sendiri memerintahkan kita untuk tidak meninggalkan generasi yang lemah, sebagaimana firman-Nya di dalam surah An-Nisa ayat 9 (dok.pri) |
Di era yang serba materialistis ini, kebanyakan orang tua
khawatir dengan masa depan dunia anaknya.
Apa yang akan mereka makan nanti?
Bagaimana dengan pekerjaan mereka kelak?
Kekhawatiran semacam ini akhirnya memicu orangtua memaksa
anak-anaknya untuk belajar ini dan itu, menguasai keterampilan ini dan itu.
Seolah-olah semua hal tentang masa depan anak-anak kita hanya tentang materi
dan harta untuknya. Inilah yang kemudian membuat anak-anak kita menjadi serba
materialistis, konsumtif dan cenderung hedonis.
Memang tidak salah bila kita mengkhawatirkan masa depan dunia
anak-anak. Allah sendiri memerintahkan kita untuk tidak meninggalkan generasi
yang lemah, sebagaimana firman-Nya di dalam surah An-Nisa ayat 9:
Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka (QS. An-Nisa, 4: 9).
Rasulullah Saw juga meminta para sahabatnya untuk jangan
sampai meninggalkan keluarganya dalam keadaan fakir miskin, karena hal ini akan
melemahkan iman mereka.
Anak-anak lemah, sebagaimana yang dimaksud di dalam surah
An-Nisa ayat 9 tersebut, bukan hanya lemah secara finansial. Kuat finansial
hanya akan mampu memenuhi kebutuhan dasar. Kuat finansial tidak akan dapat menjamin
kesejahteraan hidup apabila tidak ada dasar karakter yang kuat pula.
Maka, yang dimaksud dengan anak-anak lemah di sini adalah
generasi yang karakternya lemah. Generasi yang tidak memiliki akar keimanan
yang kuat dan menghujam dalam. Anak-anak yang akidahnya tidak lurus, akhlaknya
bobrok, dan setiap pemikirannya tidak didasari ilmu pengetahuan.
Inilah generasi yang sekarang ini sudah banyak kita saksikan
dengan mata kepala sendiri. Anak-anak yang kecanduan gim online, TikTok dan
YouTube. Para pemuda yang lebih mementingkan viralitas daripada adab dan
kesopanan. Anak-anak yang matang sebelum waktunya akibat paparan
tayangan-tayangan khusus dewasa.
Sebagai orangtua, tidakkah kita khawatir dengan degradasi
moral seperti ini?
Nabi Yakub pernah merasa khawatir akan masa depan
anak-anaknya. Ketika maut hendak menjemputnya, Nabi Yakub bertanya kepada
anak-anaknya, “ma ta’buduna min ba’di?”.
“Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” (QS. Al-Baqarah, 2: 133)
Nabi Yakub tidak mengkhawatirkan kesejahteraan finansial
anak-anaknya. Nabi Yakub tidak bertanya, “ma ta’kuluna min ba’di?” (Apa yang
kalian makan sepeninggalku?) atau “ma taf’aluna min ba’di?” (“Apa yang kalian
kerjakan sepeninggalku?”). Satu hal yang paling dikhawatirkan Nabi Yakub
terhadap anak-anaknya kelak adalah tentang Tauhid, keimanan mereka.
Pertanyaan “ma ta’buduna min ba’di?” (apa yang akan kalian
sembah setelah kematianku) dan bukan “ma ta’kuluna min ba’di?” (apa yang akan
kalian makan sesudahku), menggambarkan betapa ibadah dan pengabdian yang tulus
kepada Allah SWT merupakan sumber utama kesuksesan dan keselamatan hidup.
Ibadah yang benar akan meluruskan motivasi sekaligus akan membangun etos kerja
yang tinggi. Akan lahir pula kecintaan kepada ilmu pengetahuan yang bersumber
dari wahyu Allah SWT, sekaligus kecintaan kepada sesama umat manusia.
Inilah yang seharusnya kita khawatirkan pada anak-anak kita.
Jangan meninggalkan generasi yang lemah iman. Tujuan utama kita adalah
mengantarkan anak-anak menjadi generasi yang kuat, tak hanya dalam hal finansial
belaka, namun juga dalam Tauhid. Sehingga, apa pun peran yang akan mereka ambil
saat dewasa, baik menjadi guru, pedagang, dokter, petani atau pekerjaan dan
profesi lainnya bisa menjadi sarana mereka dalam menggapai ridho Allah SWT dan
jalan menuju surga-Nya.
No comments:
Terima kasih sudah meninggalkan komentar di artikel ini